Vaksin Pfizer: Ini Sejarah, Fakta dan Asal Negaranya

Jakarta

Perusahaan farmasi terbesar di Amerika Serikat (AS) Pfizer mengumumkan vaksin yang dikembangkannya efektif 90% mencegah penularan virus Corona (COVID-19). Vaksin pfizer menggunakan teknologi rekayasa genetika yang bertujuan melihat genom RNA virus.

Vaksin ini teruji untuk usia 16-85 tahun. Uji klinis telah dilakukan dengan menyuntikkan vaksin pada 43.500 orang di enam negara dan diklaim tidak ada masalah serius pada fase akhir uji coba.

1. Sejarah Vaksin Pfizer

Pfizer bekerja sama dengan perusahaan Jerman, BioNTech. BioNTech didirikan oleh pasangan suami istri dokter Ugur Sahin dan Ozlem Tureci.

Keduanya disebut-sebut sebagai otak keberhasilan produksi vaksin Pfizer. Profesor Sahin berusia 55 tahun dan istrinya Dr Tureci berumur 53 tahun.

Keduanya berasal dari keluarga imigran. Sahin yang adalah CEO BioNTech, lahir di kota Iskenderun, Turki. Sedangkan sang istri, Dr Tureci, lahir di Jerman, tapi ayahnya adalah dokter asal Turki yang bermigrasi dari Istanbul. Tureci berstatus sebagai Chief Medical Officer BioNTech.

BioNTech didirikan tahun 2008 untuk menemukan lebih banyak metode terapi imun melawan kanker. Yayasan Bill & Melinda Gates Foundation adalah salah satu pemberi dana buat mereka.

Sejarah dimulainya vaksin Pfizer ini yakni pada Januari 2020, profesor Sahin membaca jurnal ilmiah tentang merebaknya virus Corona baru di Wuhan. Setelah diteliti, ternyata obat mRNA anti kanker bisa menjadi basis vaksin Corona.

BioNTech pun langsung membuat tim yang terdiri dari 500 orang untuk mengembangkannya.

Tak berapa lama, Pfizer dan perusahaan obat China, Fosun, setuju menjadi mitra BioNTech. Hasil dari trial Pfizer menunjukkan vaksin Corona itu memicu tubuh menghasilkan antibodi melawan Corona dengan efektivitas 90%.

2. Fakta Vaksin Pfizer

Vaksin Pfizer dinamakan BNT162b2 dan berbasis teknologi messenger RNA (nRNA). Vaksin ini Menggunakan gen sintetis yang lebih mudah diciptakan, sehingga bisa diproduksi lebih cepat dibanding teknologi biasa.

Virus yang tidak aktif ini tidak menyebabkan sakit tetapi mengajari sistem imun untuk memberikan respons perlawanan.

Selain itu, dengan mRNA, tubuh tidak disuntik virus mati maupun dilemahkan, melainkan disuntik kode genetik dari virus tersebut. Hasilnya, tubuh akan memproduksi protein yang merangsang respons imun.

Nah, dari 43.500 relawan, beberapa di antaranya merasakan efek samping seperti sakit kepala dan nyeri otot yang mirip dengan vaksin flu.

Salah satu relawan yang bernama Glenn Deshields (44) asal Austin, Texas, menggambarkan efek samping vaksin yaitu ‘pengar yang parah’ dan seperti mabuk. Namun efek samping ini menghilang dengan cepat.

Relawan lainnya, Carrie (45) asal Missouri seperti dilansir Express UK, mengatakan dirinya mengalami sakit kepala, nyeri tubuh, hingga demam. Hal ini dirasakan setelah ia mendapat suntikan pertamanya pada September lalu.

Lalu efek samping tampak meningkat setelah dosis kedua bulan Oktober.

Perlindungan atau antibodi yang didapat tercapai setelah 28 hari dimulainya vaksinasi dan 7 hari usai menerima dosis kedua. Saat studi berlanjut persentase kemanjuran vaksin akhir bisa bervariasi, seperti dilansir situs resmi Pfizer.

Namun dikutip dari Businessinsider, analisis ini belum menguji apakah vaksin tersebut juga mencegah infeksi asimtomatis atau tanpa gejala. Partisipan dites hanya ketika bergejala.

Belum bisa dipastikan seberapa efektif vaksin mencegah seseorang jadi carrier asimptomatis.

Rencananya Pfizer akan meminta izin penggunaan vaksin darurat vaksin COVID-19 yang dikembangkannya pada Badan Pengawas Obat dan Makanan AS. Permohonan itu akan dilakukan segera, setelah sukarelawan vaksinasi COVID-19 dipantau selama dua bulan dari penyuntikan dosis kedua vaksin tersebut.

Mereka sekarang berharap dapat memproduksi hingga 50 juta dosis untuk melindungi 25 juta orang tahun ini. Pfizer mengatakan akan memproduksi hingga 1,3 miliar dosis vaksin pada tahun 2021.

Terima kasih telah membaca artikel

Vaksin Pfizer: Ini Sejarah, Fakta dan Asal Negaranya