Tren Baru ‘Quiet Quitting’ Tandingi ‘Hustle Culture’, Benarkah Lebih Sehat?


Jakarta –
Tren ‘hustle culture‘ mendorong generasi muda untuk bekerja sepenuh jiwa, terkadang sampai mengorbankan mental health dan kehidupan pribadinya. Kini muncul tren baru sebagai tandingannya yakni ‘quiet quitting‘.
Berkebalikan dengan hustle culture, tren baru quiet quitting mendorong seseorang untuk bekerja dengan sangat minimalis. Hanya mengerjakan apa yang ditugaskan, menyelesaikannya tepat waktu, dan tidak menerima lembur.
Ada banyak definisi yang menjelaskan quiet quitting. Namun pada prinsipnya, quiet quitting adalah secara diam-diam mengambil jarak dengan pekerjaan dan memberikan prioritas lebih banyak pada kehidupan pribadi.
Tren ini menjadi pilihan bagi para pekerja yang merasa jenuh dengan lingkungan kerja, tetapi enggan untuk benar-benar berhenti kerja. Sejumlah konten viral di TikTok menyebut tren ini baik untuk kesehatan mental.
Benarkah menyehatkan?
Seorang psikolog Lee Chamber mengatakan, quet quitting dapat menjadi coping mechanism untuk mengatasi burnout atau rasa jenuh akibat overwork yang kronis. Terlebih saat seorang pekerja merasa kerja kerasnya kurang dihargai.
“Quiet quitting punya potensi meningkatkan batasan, sebagaimana juga membantu orang menjauhi produktivitas yang toksik,” jelas Chamber, dikutip dari Healthline.
“Ini mendorong pekerja untuk ambil kendali atas istirahat, bertumbuh, dan menciptakan ruang untuk refleksi dan bagaimana mereka melekatkan kesejahteraan dalam hidupnya,” lanjutnya.
Sementara itu, psikoterapis Tania Taylow menegaskan bahwa rumah dan pekerjaan memang tidak seharusnya menyatu. Dalam kaitannya dengan mental health, seseorang juga harus mengakui bahwa dirinya lebih berdaya daripada apa yang diberikan oleh pekerjaan.
Adanya jarak antara kehidupan pribadi dengan pekerjaan, menurutnya juga dapat memperkaya seseorang dengan hal lain seperti bersosialisasi. Secara tidak langsung, quiet quitting menurutnya dapat meningkatkan produktivitas.
“Menghabiskan quality time secara positif dengan teman dan keluarga adalah kunci untuk meningkatkan kesejahteraan mental,” kata Taylor.
“Memastikan Anda punya waktu untuk break dapat meningkatkan produktivitas dan motivasi saat bekerja,” jelasnya.
Dampak negatif quiet quitting
Tentunya manfaat sehat yang ditawarkan dalam tren quiet quitting bukan tanpa risiko. Ada kemungkinan, bos atau senior menyadari hal itu lalu menganggap seseorang tidak lagi punya motivasi untuk bekerja keras.
Di sisi lain, quiet quitting juga berisiko membuat seseorang kehilangan rasa terlibat, kehilangan tujuan, dan juga kepuasan dalam bekerja. Padahal, hal-hal tersebut juga penting dalam kaitannya dengan mental health.
“Penelitian menunjukkan bahwa kurang termotivasi dan kurang terlibat dalam pekerjaan dapat meningkatkan level depresi pada karyawan,” jelas Chamber.
Waduh, dilematis juga ya. Termasuk yang mana nih, kerja mati-matian atau diam-diam mengambil jarak dengan pekerjaan? Ceritakan pengalaman di komentar ya.
Tren Baru ‘Quiet Quitting’ Tandingi ‘Hustle Culture’, Benarkah Lebih Sehat?



