Tiga Hal Fundamental Sektor TIK Dalam UU Ciptaker Menurut Menteri Kominfo

Jakarta, – Dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), pada bab 15 yang mengatur Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran, mengubah tiga ketentuan aturan, yaitu pada undang-undang yaitu, UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan UU No. 38 Tahun 2009 tentang Pos.
Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate ada tiga hal fundamental yang dapat mempengaruhi Indonesia di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) melalui UU Ciptaker, yang pertama ini dinilai telah menembus kebuntuan regulasi bidang Penyiaran yang telah belasan tahun tidak terealisasi.
“Dengan terealisasinya dasar hukum migrasi penyiaran TV analog ke digital dan kepastian tenggat waktu Analog Switch Off (ASO), Indonesia dapat segera mengejar ketertinggalan dari negara lain dalam pemanfaatan digital dividend spektrum frekuensi radio di pita 700MHz yang dapat digunakan untuk kepentingan pendidikan, kesehatan, dan penanganan kebencanaan, serta kepentingan Digitalisasi Nasional,” jelasnya, dalam dalam Konferensi Pers Virtual tentang ‘Kontribusi Legislasi Cipta Kerja Sektor Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran terhadap Transformasi Digital, Penciptaan Lapangan Pekerjaan Baru, dan Pertumbuhan Ekonomi Digital’.
ASO juga dinilai dapat menghilangkan potensi interferensi frekuensi antara negara yang berbatasan, khususnya di ASEAN yang telah sepakat untuk seluruhnya migrasi siaran TV analog ke digital. “Seperti diketahui bahwa saat ini Indonesia sangat tertinggal dari negara lain di bidang siaran TV digital, yang diamana hampir 90 persen negara di dunia telah menghentikan siaran TV analog yang sangat boros pita frekuensi radio, energi dan tampilan serta fiturnya yang kurang optimal,” ungkapnya
Hal fundamental kedua, menurut Menteri Johnny, berkaitan dengan pembahasan dan pemikiran terkait migrasi TV analog yang telah berlangsung sejak tahun 2004. Menurutnya, pembentukan Tim Nasional Migrasi TV Digital dan standar Digital Video Broadcasting Terrestrial (DVBT) juga telah dilakukan pada tahun 2007, namun terus kandas karena gagalnya kehadiran legislasi berupa Undang-Undang di bidang penyiaran.
Baca juga : RUU Cipta Kerja Perkuat Pemanfaatan Infrastruktur Sharing
“Padahal kesepakatan internasional untuk dilakukannya ASO sudah sangat lama berlangsung. International Telecommunication Union (ITU) dalam konferensi ITU 2006 telah memutuskan bahwa 119 negara ITU Region-1 menuntaskan ASO paling lambat 2015,” tuturnya.
Menteri Kominfo mengungkap hasil Konferensi ITU 2007 dan 2012 mengenai pita spektrum frekuensi radio UHF (700 MHz) semula untuk TV terestrial ditetapkan menjadi layanan mobile broadband. “Kemudian di tingkat regional, terdapat Deklarasi ASEAN: Menuntaskan ASO di tahun 2020. Itupun kita sudah tertinggal 2 tahun, karena baru kita laksanakan dua tahun setelah pengesahan undang-undang ini. Semua hambatan itu akan berakhir seiring disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja dan kebuntuan itu diakhiri,” tegasnya.
Perubahan fundamental ketiga berkaitan dengan penetapan ASO paling lambat pada tahun 2022. Menteri Johnny meyakini hal itu akan membawa dampak luar biasa khususnya dalam penghematan pita frekuensi 700 MHz sebagai frekuensi yang sangat ideal untuk Transformasi Digital Nasional.
“Saat ini dengan menggunakan sistem analog seluruh kapasitas frekuensi 700 MHz sejumlah 328 MHz digunakan untuk siaran TV. Dengan ASO akan ada penghematan (digital dividend) sebesar 112 MHz yang dapat digunakan untuk kepentingan yang pertama pasti untuk transformasi digital,” tuturnya.
Baca juga : RUU PDP Dikebut, Tapi Ruang Pendidikan Berbasis Kurikulum Siber Belum Menjadi Prioritas?
Pemanfaatan frekuensi 700 MHz untuk mobile broadband akan memberikan manfaat ekonomi bagi Indonesia berupa penambahan kenaikan Produk domestik bruto (PDB), penambahan lapangan kerja baru, penambahan peluang usaha baru, dan penambahan penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). “Hal ini sesuai dengan data dari hasil kajian konsultan internasional Boston Consulting Group,” ungkapnya,.
Hal fundamental ketiga ini Menteri Johnny juga menyebut UU Ciptaker dapat menjadi dasar hukum dalam rangka mendukung percepatan transformasi digital. Bahkan, menurutnya dapat pula mencegah inefisiensi pemanfaatan sumberdaya terbatas seperti spektrum frekuensi dan infrastruktur pasif. “Fakta bahwa infrastruktur itu dibangun oleh masing-masing pelaku Industri selain telah menyebabkan biaya tinggi juga telah berdampak pada pembangunan tata kota, sehingga tampak seperti tidak ada kordinasi satu sama lain. Padahal dengan pendekatan infrastruktur sharing bahkan frekuensi sharing maka Industri dapat melakukan efisiensi optimal. Dengan kekuatan ini selayaknya industri Telekomunikasi dalam negeri dapat mampu bersiang dengan gobal player termasuk over the top (OTT),” tandasnya.