
Tensi Persaingan Teknologi China dan AS Tinggi, Pengamat: Tapi Mereka Saling Ketergantungan

Jakarta, – Perang dagang antara AS dan China yang merebak sejak 2015 nyatanya tak kunjung usai, meski kepemimpinan di Gedung Putih telah beralih dari Donald Trump ke Joe Biden. Alih-alih mereda, perselisihan kedua negara tersebut bahkan melebar menjadi pertarungan teknologi.
Didin Nasirudin, Managing Director Bening Communication dan Pemerhati Politik Amerika Serikat, dalam ajang Bincang Eksekutif Selular, yang mengangkat tema ‘Mengukur Dampak Perang Teknologi China dan Amerika Serikat?’ menceritakan perseteruan kedua negara tersebut sesuatu yang sangat unik.
“Meski saling berseteru antara China dan AS ada sesuatu yang agak unik, karena saling ketergantungan. Contohnya AS menguasai teknologi untuk semikonduktor, teknologi produk dan lain-lainya. Namun China menguasai manufacturing, dan usur bahan baku sumber daya logam tanah jarang (LTJ), yang diperlukan untuk membuat prosesor, pesawat, mobil listrik. Dan perlu Anda ketahui China itu merupakan pemasok LTJ 97 persen di dunia,” jelas Didin.
Kemudian meski AS mampu mendesain prosesor, namun sulit untuk mengembangkanya di dalam negerinya sendiri. “Satu unsurnya mereka tidak punya, dan selanjutnya pabrikasi komponen mereka kemampuanya sangat terbatas, Intel mungkin punya tapi AMD tidak demikian. Jadi AS ketergantungan agar bisa terus membuatnya baik itu di China ataupun di Taiwan,” sambungnya.
Dan persaingan pun kini bergerak semakin massif, dan kental dengan isu penguasaan teknologi di dalamnya. Didin dalam pengamatanya, dari persaingan kedua negara tersebut sejak tahun 90-an hingga kini ada banyak perubahan sekaligus perkembangan menarik.
“Yang dimana Motorola dulu sebagai pemain ponsel pertama, dan sempat sebagai market leader, yang terjadi sekarang malah diakuisisi oleh China. Kemudian di AS ada Amazon, eBay, dan lain sebagainya. Kini juga dimiliki China, melalui Alibaba, JD yang juga telah mengekspansi ecommerce di wilayah asia. Dan perlu diingat pula AS punya Google, Facebook, Twitter. Di China juga sama memiliki layanan tesebut, mereka punya sosial media sendiri, Search engine sendiri, artinya China selalu menghadiran persaingan berat,” papar Didin.
Dan ketika AS kalah bersaing baru lah muncul tindakan AS melakukan langkah embargo perusahaan teknolgi China, yang tercatat sebanyak 250 perusahan yang saat ini tidak bisa lagi menggunakna teknologi asal AS, terutama bidang semikonduktor, oprating system, artificial intelligence dan lain-lainya.
“Dan perusahaan yang terdampak dari persaingan teknologi China vs AS itu seperti Huawei, DJI, Hikvision, dan yang terbaru ada lagi 7 persuahaan China yang kembali di embargo, karena dinilai mengunakan teknologi AS untuk memperkuat basis militernya,” cerita Didin.
Dan untuk menaklukan China pun tidak mudah karena pada dasarnya mereka sudah biasa hidup mandiri melalui pemanfaatan teknologi dalam negerinya, dan terlebih mereka memiliki inisiatif yang sangat kuat yaitu Made in China 2025.
Kemudian dari sisi konsumen, dampaknya menurut Didin bisa dibedakan di setiap wilayah, baik itu untuk China, AS dan konsumen di luar dua negara tersebut.
“Di AS itu 50 persen lebih dividen berbais iOS menguasai pangsa pasar wilayahnya, mereka happy dengan capaian tersebut sepertinya. Dan China pun juga demikian yang telah terbiasa hidup tanpa layanan dari teknologi AS. Dua pasar itu konsumenya tidak saling ketergantungan, dan tidak terdampak. Di tengah-tengahnya misal untuk konsumen Indoneisa juga telah terbiasa mengunakan dua ponsel misal, satu untuk teknologi China satu AS. Tapi yang tidak terlepas baik konsumen China, AS, India, dan lain-lainya belanja teknologi akan lebih mahal, karena manufakturnya tidak di China maka harga iphone cenderung lebih mahal, apalagi untuk Indonesia,” tandasnya.
Tensi Persaingan Teknologi China dan AS Tinggi, Pengamat: Tapi Mereka Saling Ketergantungan
