Saran Psikolog Agar Bocil Tak Keracunan Tren Sujud ‘Freestyle’ yang Viral

Jakarta –
Aksi viral bocah-bocah melakukan sujud ‘freestyle’, diduga saat salat tarawih, sungguh meresahkan. Tren yang membahayakan ini disebut-sebut terinspirasi emoji game online Free Fire.
Tak bisa dipungkiri, anak memang peniru yang andal, cepat sekali menangkap dan mencontoh apa yang ditontonnya. Namun jika aksi tersebut berbahaya bagi tubuhnya sendiri, apa yang harus dilakukan orang tua?
“Anak-anak itu meniru apa yang dia lihat. Apa lagi kalau yang dia lihat juga ditonton oleh teman-temannya. Anggapan lagi in, dianggap lagi terkenal itu otomatis anak-anak kecenderungannya untuk meniru menjadi lebih besar,” terang psikolog Rosdiana Setyaningrum, MPsi, MHPEd pada detikcom, Selasa (20/4/2021).
Menurutnya, fenomena viral ini tidak terlepas dari potensi minimnya pengawasan orang tua. Terlebih, aksi ini kebanyakan dilakukan oleh anak-anak kecil.
“Biasanya kalau medsos saja seperti IG (instagram), itu kan baru boleh 13 tahun. Kenapa? Karena di usia itu harusnya cara berpikir anak, perkembangan otak sudah mampu berpikir sebab-akibat secara hipotetikal,” imbuh Rosdiana.
Emoji game yang diduga menginspirasi gerakan sujud freestyle. Foto: Tangkapan layar viral
|
Pendapat senada juga disampaikan psikolog anak dan remaja Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi. Vera menyebut, penting untuk orang tua memperhatikan batasan usia yang tertera pada game. Orang tua perlu tahu benar apa yang ditonton dan dimainkan anak agar aksi meniru berbahaya semacam sujud ‘freestyle’ bisa dicegah.
“Terutama untuk anak-anak yang masih di bawah 12 tahun, mereka juga masih kesulitan menyadari bahwa yang dilihat bisa saja berbahaya di dunia realita jika ditiru,” jelas Vera.
Menanggapi viralnya fenomena sujud ‘freestyle’ tersebut di media sosial, Rosdiana dan Vera sama-sama tak membenarkan sikap atau omongan apa pun yang mengolok dan membully anak yang melakukan aksi tersebut. Alih-alih mengedukasi, sikap tersebut tidak akan berdampak baik pada anak.
“Anak-anak itu melakukan karena mereka tidak tahu kalau itu berbahaya, karena tidak ada yang kasih tahu. Sedangkan yang mem-bully tahu, jadi yang bully yang salah dong? Nggak pernah ada cara ngomong ke anak-anak dengan bully. Itu pasti salah,” tegas Rosdiana.
(vyp/up)