Shopee Affiliates Program

Salah Pikir Seputar Respons Regulasi BPA

Jakarta

Kontroversi air minum dalam kemasan (AMDK) dalam galon yang polikarbonat mengandung senyawa kimia berbahaya, Bisphenol A (BPA), masih bergulir. Sejumlah kalangan masih menyorot rancangan regulasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI yang akan mengatur penggunaan galon BPA pada Air Minum Dalam Kemasan (AMDK).

Lontaran respons sebagian akademisi juga beragam, salah satunya pembelaan bahwa galon BPA ‘aman.’ Salah seorang akademisi yang bersikukuh bahwa BPA ‘aman’ adalah pengajar biokimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor (IPB), Syaefudin. Ia berpendapat senyawa kimia BPA akan dikeluarkan lagi melalui urin dari dalam tubuh orang yang tidak sengaja mengkonsumsinya.

Namun, ia secara gamblang mengatakan setuju jika BPOM tetap melakukan pengawasan ketat terhadap konsentrasi BPA yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui air minum dalam kemasan galon plastik keras.


“Kita sebenarnya tidak tahu berapa konsentrasi BPA yang ada di sekeliling kita. Kalau tidak dibatasi, bisa saja ada yang nakal meningkatkan konsentrasi BPA,” katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (9/8/2022).

Syaefudin menyiratkan senyawa BPA memang berpotensi bahaya bila tidak diawasi oleh lembaga yang punya otoritas seperti BPOM.

BPA dan PET

Sejauh ini, faktanya hanya segelintir negara berkembang yang masih belum mengatur ketat kemasan galon BPA dengan regulasi, contohnya adalah Vietnam dan Indonesia. Sementara itu, di negara maju kemasan plastik BPA sudah dilarang melalui regulasi. Utamanya disebabkan karena dinilai bisa memicu gangguan jantung, ginjal, kanker, gangguan hormon pada laki-laki dan perempuan, hingga gangguan mental pada anak.

Galon BPA -berkode plastik buncit nomor 7 dinilai sulit didaur ulang serta sangat rentan terhadap gesekan dan sinar matahari dalam proses distribusinya dari pabrik hingga ke tangan konsumen. Hal tersebut sangat berpotensi melepaskan senyawa BPA hingga menyebabkan air di dalam kemasan terkontaminasi.

Belum lagi, tidak ada kontrol terhadap galon BPA di pasaran yang sudah berusia di atas lima tahun atau galon isi ulang yang dicuci dengan deterjen di pinggir jalan selama bertahun-tahun.

Meski diklaim tahan panas, tidak ada yang mengontrol sejauh mana kontaminasi terus menerus terjadi pada air dalam kemasan galon BPA. Baik kontaminasi yang terjadi karena kenaikan suhu temperatur maupun karena sebab lain, seperti gesekan atau perlakukan saat pembersihan galon.

Galon BPA pastinya sangat berbeda dari plastik berbahan Polyethylene Terephthalate berkode plastik nomor 1, atau disingkat PET, yang dikenal relatif aman dan digunakan di seluruh dunia.

Sebagai contoh, Jepang sudah beralih 100 persen ke plastik PET untuk kebutuhan kemasan di negeri itu. Namun, kenapa di Indonesia masih ada informasi keliru tentang galon PET? Alih-alih melihat PET sebagai alternatif yang lebih aman dibanding galon BPA, isu yang digulirkan kemudian justru beralih ke galon plastik PET sekali pakai yang justru relatif aman untuk kesehatan manusia.

“Tipe masyarakat di Indonesia itu cenderung bersumbu pendek, yang langsung menggunakan informasi yang diterima tanpa pikir panjang. Informasi dari youtube atau media sosial lainnya misalnya, bisa langsung dipercaya sebagai kebenaran. Di sisi lain, ada juga budaya paternalistik dengan kecenderungan lebih percaya kepada informasi dari orang atau institusi yang lebih berpengaruh. Lalu, ada pula peran pihak-pihak tertentu yang punya kepentingan,” tegas Ahli Teknologi Polimer Fakultas Teknik Universitas Indonesia Mochamad Chalid.

Mengapa warga di negara maju lebih mudah memilih plastik PET untuk kemasan makan dan minuman yang paling dominan di negeri mereka?

“Ada banyak pertimbangan, utamanya tentu pertimbangan teknologi. Tetapi, di samping itu, masyarakat di sana sudah terdidik dari awal, sehingga mereka sejak awal sudah sangat memahami kebijakan untuk memilih plastik PET,” lanjutnya.

Amannya, plastik PET bisa dilihat dari penggunaannya dalam skala masif di seluruh dunia. Termasuk oleh market leader pasar AMDK di Indonesia. Belum ada satu pun negara di dunia ini yang melarang penggunaan plastik PET untuk kemasan air minum.

Lebih jauh, Mochamad Chalid mengatakan sejauh riset yang ada sudah bisa dikonfirmasi kemasan plastik PET tidak ditemukan adanya pelepasan senyawa antimon berbahaya.

“tidak ditemukan pelepasan senyawa antimon berbahaya dalam kemasan plastik PET. Di sisi lain, juga belum ditemukan adanya indikasi munculnya endokrin disruptor (senyawa yang bisa mengganggu sistem hormon tubuh, seperti yang terkandung dalam plastik BPA) dalam penggunaan plastik PET,” imbuhnya.

Berdasarkan data, keunggulan plastik PET bahkan didukung riset yang menegaskan botol plastik PET aman digunakan. Adapun kesimpulan ini dipublikasikan oleh Council of Scientific and Industrial Research-Central Food Technological Research Institute (CSIR-CFTRI), Mysore, India.

Analisis CSIR-CFTRI menyimpulkan plastik PET yang terpapar temperatur tinggi pun tidak menyebabkan migrasi di dalam kemasan, semuanya masih di bawah batas deteksi (below detection limit). Batas ini juga masih berada di bawah regulasi Uni Eropa (UE) tentang ‘batas migrasi spesifik’.

Hal tersebut merupakan jumlah maksimum senyawa yang bisa bermigrasi dari kemasan ke dalam minuman di dalamnya. Secara keseluruhan, hasil riset ini menyimpulkan tidak ada senyawa kimia pada botol plastik PET yang melanggar batasan regulasi Uni Eropa.

“Regulasi pelabelan ini semata untuk perlindungan kesehatan masyarakat,” tegas Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito.

Ia menjelaskan regulasi pelabelan tersebut mengacu pada hasil kajian dan riset mutakhir di berbagai negara terkait risiko paparan BPA pada kesehatan publik.

“Semua kajian (scientific research) lebih kepada risiko yang sangat tinggi terhadap kesehatan akibat dari BPA,” katanya. Menurutnya, kehadiran pelabelan tersebut bisa memotivasi pelaku industri untuk berinovasi dalam menghadirkan kemasan air minum yang aman bagi masyarakat. “Dari sisi konsumen, pelabelan risiko BPA adalah hak masyarakat untuk teredukasi dan memilih apa yang aman untuk dikonsumsi,” tuturnya.

Rekan sekantor Penny, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Rita Endang juga menampik tudingan bahwa pelabelan BPA adalah vonis mati bagi industri air kemasan. Menurutnya, pandangan tersebut keliru karena pelabelan risiko BPA pada dasarnya hanya menyasar produk air galon bermerek alias punya izin edar.

“Regulasi pelabelan BPA tidak menyasar industri depot air minum. Sejauh ini sudah ada 6.700 izin edar air kemasan yang dikeluarkan BPOM,” kata Rita. Rita merinci, saat ini sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-harinya mengkonsumsi air kemasan bermerek. Dari total 21 miliar liter produksi industri air kemasan per tahunnya, 22 persen diantaranya beredar dalam bentuk galon isi ulang. Dari yang terakhir, 96,4 persen berupa galon berbahan plastik keras polikarbonat. “Artinya 96,4 persen itu mengandung BPA. Hanya 3,6 persen yang PET (Polietilena tereftalat). Inilah alasan kenapa BPOM memprioritaskan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang,” tandas Rita.


Terima kasih telah membaca artikel

Salah Pikir Seputar Respons Regulasi BPA