Ratusan Sekolah di Jepang Tutup gegara Populasinya Anjlok


Jakarta –
Langkah kaki Eita Sato dan Aoi Hoshi bergema di aula yang pernah ramai dan ribut dengan siswa. Keduanya adalah satu-satunya lulusan SMP Yumoto di bagian pegunungan Jepang Utara dan terakhir. Sekolah berusia 76 tahun itu akan menutup pintunya untuk selamanya ketika tahun ajaran berakhir pada Jumat (31/3).
“Kami mendengar desas-desus tentang penutupan sekolah di tahun kedua kami, tetapi saya tidak membayangkan itu akan benar-benar terjadi. Saya terkejut,” sebut Eita kepada Reuters.
Sekolah Yumoto yang terletak di pusat distrik ini memiliki 50 lulusan per tahun selama masa kejayaannya di tahun 1960-an. Foto-foto setiap kelulusan tergantung di dekat pintu masuk, dari foto hitam putih hingga menjadi berwarna dengan jumlah siswa yang terlihat dan tiba-tiba menurun dari sekitar tahun 2000.
Eita dan Aoi, bersama-sama sejak umur tiga, berada di kelas berisi lima orang sampai sekolah dasar, tetapi hanya dua yang melanjutkan di Yumoto.
Bukan hanya SMP Yumoto, menurut data pemerintah, sekitar 450 sekolah tutup setiap tahun, antara tahun 2002 dan 2020, hampir 9 ribu sekolah menutup pintu mereka selamanya sehingga sulit bagi daerah terpencil untuk memikat penduduk baru dan lebih muda.
Buntut Populasi Anjlok
Angka kelahiran di Jepang anjlok lebih cepat dari yang diperkirakan. Penutupan sekolah meningkat di daerah pedesaan seperti Ten-ei, area ski pegunungan dan mata air panas di prefektur Fukushima.
Perdana Menteri Fumio Kishida menyebut pihaknya menempatkan prioritas tertinggi pada upaya mengatasi anjloknya angka kelahiran. Pasalnya ia memprediksi pada 2030 mendatang, jumlah anak muda di Jepang hanya akan ada setengah dari jumlah saat ini.
“Pada tahun 2030-an, populasi muda di Jepang akan menurun dua kali lipat dari angka saat ini. Enam hingga tujuh tahun ke depan akan menjadi kesempatan terakhir untuk membalikkan angka kelahiran yang menurun,” ungkap Kishida.
Diketahui, jumlah bayi yang lahir di Jepang pada 2022 turun ke rekor terendah baru selama tujuh tahun berturut-turut, mencapai di bawah 800 ribu kelahiran untuk pertama kalinya sejak pencatatan dimulai pada 1899.
Anjloknya kelahiran ini tiba delapan tahun lebih awal dari yang diharapkan, memberikan pukulan telak bagi sekolah umum yang lebih kecil yang seringkali menjadi jantung kota dan pedesaan.
Kishida telah menjanjikan ‘langkah-langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya’ untuk meningkatkan angka kelahiran, termasuk menggandakan anggaran terkait kebijakan anak dan mengatakan menjaga lingkungan pendidikan menjadi sangat penting.