Pro Kontra Larangan Terhadap Huawei Terus Menggema

Jakarta, – Sebuah kelompok bisnis yang mewakili penantang operator telekomunikasi di Eropa bersuara keras terhadap gelombang pelarangan vendor peralatan China. Mereka memperingatkan bahwa aksi pembatasan demi alasan politik akan memunculkan tambahan biaya dan menunda peningkatan jaringan.
Dalam satu pernyataan tegas, Asosiasi Telekomunikasi Kompetitif Eropa (ECTA), “mencela setiap larangan pemasok 5G China karena alasan geopolitik dan menekankan bahwa keputusan semacam itu hanya dapat dibenarkan atas dasar fakta yang mapan”.
Seperti dilaporkan Reuters, ECTA beranggotakan operator telekomunikasi alternatif seperti Jerman 1 & 1 Drillisch, Iliad dari Prancis, dan Masmovil Spanyol. Huawei Technologies China, pemimpin pasar jaringan global, juga ikut serta dalam kelompok itu.
Posisi Huawei di Eropa telah mendapat tekanan dari AS sejak beberapa tahun terakhir. Negeri adi daya itu meminta negara-negara Eropa untuk membersihkan peralatan jaringan dari generasi berikutnya yang menurut Washington dapat digunakan untuk memata-matai – klaim yang tegas dibantah oleh perusahaan China itu.
Pernyataan ECTA muncul setelah Prancis memberlakukan pembatasan pada peralatan Huawei pada September lalu. Menurut sumber yang mengetahui masalah tersebut, pembatasan terhadap Huawei oleh otoritas Perancis sesungguhnya merupakan larangan de-facto.
Tekanan politik juga membayangi keputusan yang diambil oleh Orange dan Proximus belum lama ini. Kedua operator selular itu, sepakat untuk menggantikan Huawei dengan Nokia sebagai penyedia perlengkapan akses radio untuk jaringan 5G bersama mereka di Belgia dan Luksemburg.
Kondisi yang sama pun terjadi di Belanda. Operator terbesar du negeri tulip itu, KPN, akhirnya menunjuk Ericsson untuk membangun jaringan inti (core) 5G, menggantikan Huawei.
Penunjukkan Ericsson oleh KPN menambah kesengsaraan Huawei di Eropa, namun menguntungkan pesaingnya, seperti Nokia dan Ericsson. Hingga saat ini, vendor asal China itu sudah dikeluarkan dari pembangunan jaringan 5G oleh sejumlah negara di benua biru itu, seperti Inggris, Perancis, Luksemburg, Belgia, dan Belanda.
Dua negara lain, yakni Polandia dan Jerman, tengah merancang aturan baru yang mengharuskan operator menerapkan standar keamanan yang ditingkatkan untuk bagian-bagian penting dari jaringan mereka. Kriteria untuk menilai risiko penyedia peralatan telekomunikasi bersifat politis dan mungkin ditujukan untuk mengecualikan Huawei dari mengembangkan jaringan 5G negara itu.
Direktur Umum ECTA Luc Hindryckx mengatakan kepada Reuters, bahwa pernyataan tersebut mencerminkan kekhawatiran para CEO anggota bahwa penerapan pendekatan umum Uni Eropa untuk menilai risiko vendor – yang dikenal sebagai Toolbox – membuat semakin banyak negara anggota memberlakukan “larangan aktual atau de-facto” pada Vendor China.
Dengan aksi pembatasan terhadap Huawei dan ZTE, dan vendor China lainnya, akan membuat industri jaringan telekomunikasi hanya memiliki tiga pilihan pemasok global, yakni Nokia, Ericsson dan Samsung.
“Penurunan jumlah pemasok di seluruh dunia dari lima menjadi tiga tidak hanya akan berdampak pada sektor telekomunikasi dengan meningkatkan biaya, berdampak negatif pada kinerja, menunda penyebaran jaringan 5G dan membatasi potensi inovasi,” kata ECTA.
Konsultan industri telekomunikasi John Strand menentang pandangan itu. Tidak semua keputusan mengganti vendor China berimplikasi pada lonjakan biaya. Strand mencontohkan, operator Nordik seperti Telenor, Telia dan TDC telah menghapus dan mengganti peralatan telekomunikasi yang sebelumnya telah dibangun vendor China, namun “tanpa menaikkan biaya”.
Meski demikian, tak dapat dipungkiri bahwa penggantian vendor bukan perkara sederhana. Seminggu sebelum keluarnya larangan terhadap Huawei, dua operator selular Inggris, BT (British Telecom) dan Vodafone, memperingatkan pemerintah Inggris bahwa peralihan jaringan ke penyedia baru, merupakan pekerjaan yang terbilang rumit. Dibutuhkan lima hingga tujuh tahun untuk melakukan pemindahan penuh tanpa gangguan layanan.
Maraknya aksi pelarangan, membuat Huawei tak lagi mengumumkan berapa kontrak 5G yang telah diraih oleh perusahaan. Vendor yang berbasis di Shenzen itu, terakhir kali mengumumkan pencapaian 5G Pada awal Februari 2020. Saat itu Huawei menyebutkan telah menandatangani 91 kontrak 5G komersial dan mengirimkan lebih dari 600.000 unit antena aktif 5G ke berbagai negara.
Di sisi lain, dua pesaing terdekatnya, Ericsson dan Nokia, meraih banyak kontrak baru. Dalam pernyataan resmi pada Agustus lalu, Ericsson mengumumkan telah meraih perjanjian atau kontrak komersial jaringan 5G ke-100 dengan penyedia layanan komunikasi di seluruh dunia.
Angka tersebut termasuk 58 kontrak yang diumumkan secara publik dan 56 jaringan 5G yang sudah live di lima benua.
Begitu pun dengan Nokia. Vendor asal Finlandia itu, mengumumkan telah mencapai 100 kesepakatan 5G komersial secara keseluruhan pada awal Oktober 2020, setelah menambahkan 17 perjanjian baru sepanjang Q3-2020, menyegel kemenangan besar di Inggris dan Finlandia.
Dengan aksi pelarangan di sana sini, tak ada yang menjamin kinerja Huawei pada tahun ini akan tetap stabil. Sebelumnya lembaga riset TrendForce, Huawei memperkirakan Huawei tetap memimpin pasar mobile base station 5G global pada 2020 dengan total pangsa 28,5%, naik dari 27,5% dibandingkan 2019.
Posisi kedua diduduki oleh vendor Swedia Ericsson, dengan pangsa pasar 26,5%. Namun perolehan itu turun dari pangsa pasar global sebesar 30% pada 2019.
Vendor asal Finlandia, Nokia diperkirakan hanya mencapai 22% pada 2020, turun dari 24,5%. Begitu pun dengan vendor China ZTE diprediksi meraih pangsa pasar 5% tahun ini, turun dari 6,5% dari tahun lalu.