
Pengamat: Aturan Predatory Pricing Jangan Sampai Merugikan Satu Pihak

Jakarta, – Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) berencana untuk menertibkan aturan predatory pricing pada e-commerce. Aturan itu disambut dengan sangat responsive oleh Presiden Jokowi, dengan pernyataan yang terdengar emosional sekaligus kontrovesial yaitu ‘Bencilah Produk Asing’.
Nailul Huda, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menjelaskan jika persoalan ‘harga’ murah pada platform e-dagang merupakan persoalan lama. Dan soal rencana Kemendag untuk menerbitkan aturan yang mengikat promo itu perlu disusun dengan penuh kehati-hatian.
Baca juga: Respon Tokopedia Soal Isu Predatory Pricing: Sudah Waktunya Menjunjung Tinggi Produk Indonesia
“Kementerian dalam hal ini perlu menindaklanjuti pengamatan soal predatory pricing itu, dengan mengandeng Indonesian E-Commerce Association (IdEA) dalam hal ini. Yang pada intinya jangan sampai aturan itu nanti merugikan satu sisi saja,” kata Huda, kepada .
Dan kemudian, lanjut Huda perlu dikaji pula lebih dalam seperti apa praktik predatory pricing yang berjalan pada sebuah platform e-commerce, dan batasanya seperti apa. Hal ini penting dilakukan untuk memisahkan bias antara predatory pricing dan promo itu sendiri dalam sebuah platfrom belanja digital.
“Jika predatory pricing itu kecenderunganya produk yang dihadirkan diberi promo terus dari platform itu hadir bahkan. Sedangkan promo hanya sesekali waktu saja. Memang soal predatory pricing dan persaingan tidak sehat dalam platfrom belanja digital belum ada acuanya di Indoneisa, dan kita nanti juga akan berhadapan seperti apa hukumnya nanti,” lanjutnya.
Kemudian perlu disadari pula jika platform e-dagang, memiliki sifat ekonomi digital yang terbuka, yang berbeda dengan cara-cara konvensional. “Konsumen kita itu price oriented, jadi mereka akan mencari perbandingan harga di satu toko dengan toko lainya, baik itu pada platform e-dagang yang sama atau berbeda. Dan kemudian informasi harga dan kualitas bisa ditemukan dengan cepat dari mana saja secara daring,” tuturnya.
Baca juga: Shopee, E-Commerce Singapura yang Dituduh Bunuh UMKM
Kemudian dari segi mercentnya sendiri, ada UMKM lokal yang berjualan produk asing, dan memang yang murni penjualnya dari asing. Jika ditanya harga mengapa produk asing itu bisa lebih murah, Ekonom Indef itu menceritakan, jika UMKM lokal Indonesia masih berbasis labor intensive, yang masih lebih mengutamakan tenaga kerja ketimbang mengunakan teknologi yang lebih efesien.
“Sehingga harga kita jadi tidak bersaing dengan produk asing, yang memiliki kerja dengan memanfaatkan teknologi, alhasil akan menjadi lebih efesien, dan harganya pun jauh lebih murah, ditambah lagi diberi promo oleh platform e-dagang, disitu lah isu tersingkirnya UMKM kita dari platfrom e-commerce mulai terkuak,” tuturnya.
Baca juga: Progres RUU PDP, Sudah Rampungkan Pembahasan 194 DIM
Lalu di sisi platform dagang online-nya yang perlu diamati juga ialah soal perusahaan yang memang beroperasi melalui pendanaan dari investor. Sehingga aksi mengumbar promo untuk mengaet konsumen tidak terelakan.
“Mereka itu butuh konsumen dengan cara ‘bakar uang’ memberi promo-promo menarik seperti gratis ongkir atau diskon harga. Yang menjadi pertanyaan, dalam aturan pembatasan promo nanti, dari strategi bakar uang platform itu akan dilarangkah? ekonomi digital itu borderless, pasti akan ada celah masuk ke Indonesia karena memang tak dipungkiri permintaannya pun tinggi” tandasnya.
Pengamat: Aturan Predatory Pricing Jangan Sampai Merugikan Satu Pihak
