Pembangunan Telekomunikasi Daerah 3T Butuh Dana Jumbo

Jakarta, – Presiden Joko Widodo memerintahkan Kementrian Komunikasi dan Informatika segera mempercepat perluasan akses dan peningkatan infrastruktur telekomunikasi di daerah yang belum mendapatkan layanan telekomunikasi. Presiden berharap agar jangan sampai jaringan telekomunikasi yang dibangun pemerintah memiliki utilisasi yang rendah.

perintah Presiden ini menyusul masih banyaknya daerah di Indonesia yang belum menikmati layanan telekomunikasi. Setidaknya 12.500 desa belum menikmati layanan telekomunikasi. Padahal sebelumnya Menkominfo Rudiantara mengklaim dengan selesainya pembangunan Palapa Ring oleh BAKTI, seluruh masyarakat Indonesia sudah bisa menikmati layanan telekomunikasi. Termasuk broadband internet.

Uchok Sky Khadafi, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) mengapresiasi permintaan Presiden agar Kemenkominfo segera mempercepat perluasan dan peningkatan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia.

Namun Uchok mengingatkan jika tujuannya hanya membangun infrastruktur telekomunikasi saja, kemungkinan proyek tersebut akan gagal. Ini dikarenakan infrastruktur telekomunikasi tak berdiri sendiri. Infrastruktur telekomunikasi harus didukung dengan ketersediaan jaringan listrik serta kesiapan gadget di sisi masyarakat yang akan memanfaatkannya.

Uchok mengharapkan agar sebelum infrastruktur telekomunikasi dibangun di daerah terpencil, presiden harus terlebih dahulu menyiapkan infrastruktur dasar seperti listrik. Sejatinya kendala utama pembangunan jaringan telekomunikasi di daerah terpencil adalah ketiadaan jaringan listrik.

Saat ini untuk memberikan layanan listrik di daerah terpencil harus menggunakan diesel berbahan bakar solar. Harga solar di daerah terpencil mahal sekali. Belum lagi besarnya ongkos untuk melakukan perawatan dan pemeliharaan jaringan telekomunikasi di daerah terpencil.

“Jika pemerintah tidak menyediakan jaringan listrik bisa dipastikan nasib proyek pembangunan jaringan telekomunikasi akan mangkrak. Kita punya pengalaman MPLIK (Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan) yang tak berjalan. Apakah proyek yang gagal tersebut akan diulangi oleh pemerintah? Presiden harus sadar akan tantangan tersebut,” terang Uchok.

Jika infrastruktur listrik sudah tersedia, baru dapat dibangun jaringan telekomunikasi. Uchok meminta agar prioritas pembangunan untuk akses jaringan telekomunikasi dapat mengoptimalkan penggunaan Palapa Ring yang telah dibangun pemerintah. Sebab saat ini utilisasi Palapa Ring masih terbilang rendah.

“Jika memang tak memungkinkan dengan Palapa Ring, dapat dipertimbangkan menggunakan Satelit. Dengan geografis Indonesia yang menantang, memang kita masih membutuhkan satelit. Untuk dapat melayani masyarakat di daerah 3T pemerintah harus melakukan perencanaan yang matang dan mencari alternatif yang paling ekonomis. Apakah memiliki satelit sendiri atau dapat menyewa,” terang Uchok.

Pengadaan satelit SATRIA oleh Kemenkominfo melalui BAKTI senilai Rp21 triliun (space segment) serta penyediaan ground segment yang secara total diperkirakan lebih dari Rp80 triliun dinilai Uchok terlalu mahal dan berpotensi memberatkan keuangan negara.

Beban ini tidak hanya untuk satu tahun, namun multi years selama 15 tahun sesuai umur satelit tersebut. Sebab yang akan disasar adalah daerah yang trafik komunikasinya rendah dan revenuenya juga terbatas serta tidak menguntungkan secara bisnis.

“Karena daerah 3T merupakan wilayah yang tidak menguntungkan jadi seharusnya pemerintah mencari satelit yang lebih murah. Jika ada teknologi telekomunikasi lain yang lebih murah dari satelit, mungkin pemerintah dapat mempertimbangkan itu. Jika ada skema sewa dan tidak perlu membayar availability payment yang memberatkan setiap tahun, maka perlu dipertimbangkan. Jangan sampai karena satelitnya mahal nantinya yang akan terbebani adalah masyarakat di daerah tersebut. Jangan sampai operasional penyelenggaraan telekomunikasi di daerah 3T nantinya akan menguras APBN,” terang Uchok.

“Kita perlu belajar dari pengalaman pahit di Palapa Ring. Digadang-gadang akan membuat masyarakat dari Sabang sampai Merauke terhubung ke internet ternyata hanya pembangunan link backbone yang ujung-ujungnya disewakan secara wholesale oleh BAKTI ke para operator telekomunikasi. Utilisasinya pun sangat rendah dan jaringannya tidak sampai ke maysarakat. Akibatnya hanya sebagian kecil masyarakat dapat menikmati layanan internet. Namun, disisi lain APBN tetap terkuras tiap tahunnya untuk membayar availability payment Palapa Ring. Ini sungguh merugikan negara,” tegas Ucok.

Merza Fachys, Wakil Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) mengatakan, investasi BTS dan pembangunan menara antena di daerah yang infrastrkturnya telah tersedia menelan dana minimal Rp1 miliar. Nilai investasi pembangunan tersebut akan melonjak hingga 3x lipat jika Menara dan BTS tersebut dibangun di daerah terpencil (daerah USO) yang memiliki geografis yang menantang. Minimal dana yang dibutuhkan untuk investasi awal BTS di 12.500 desa mencapai hamper Rp 40 triliun. Dalam kondisi real di lapangan, jumlah yang diperlukan bisa saja membengkak.

“Kalau melihat dari video profil BAKTI yang membangun BTS di daerah terpencil menggunakan helikopter, maka biaya yang dikeluarkan mungkin bisa melonjak 3x lipat. Biaya tersebut belum termasuk biaya operasional dan biaya transmisi. Jika tersedia fiber optic, maka biaya transmisi masih terjangkau. Kalau pakai satelit dan harus mengirim BBM untuk genset ke daerah terpencil maka biaya operasional juga akan tinggi,” ujar Merza.

Untuk dapat menikmati layanan broadband, minimal bandwidth yang dibutuhkan untuk transmisi mencapai 6 Mbps. Harga untuk setiap mega bandwidth melalui satelit dibutuhkan biaya Rp 30 juta. Jadi minimal biaya transmisi satelit yang harus dikeluarkan di daerah terpencil mencapai Rp180 juta.

Selain bandwidth melalui satelit yang mahal, pengadaan BBM untuk BTS USO diperkirakan juga mahal. Di wilayah yang tidak menantang, pembelian BBM dan perawatan BTS yang dikeluarkan operator telekomunikasi minimal Rp 30 juta. Jika di daerah USO atau terpencil dengan geografis yang menantang maka biaya perawatan dan BBM juga akan membengkak.

Biaya operasional berupa sewa bandwidth, BBM, dan maintenance tersebut jika diperkirakan bisa lebih dari Rp250 juta per bulan. Padahal pendapatan per BTS di daerah USO hanya Rp7 juta hingga Rp15 juta perbulan. Sehingga ketika ingin membuat 12.500 desa mendapatkan layanan broadband, pemerintah harus sadar untuk mengalokasikan kocek untuk operasional BTS USO lebih dari Rp3 triliun perbulan.

Pemerintah tentu harus berhati-hati dalam mengeluarkan dana invetasi Rp40 triliun serta dana operasional Rp3 triliun per bulan. Untuk memastikan tidak ada kebocoran dana, Ucok menyarankan agar apparat penegak hukum seperti BPK, KPK, dan Kejaksaan dilibatkan sejak dari awal dalam mengawal proyek ini.

Terakhir, pemerintah juga perlu mempertimbangkan subsidi pengadaan gadget berupa smartphone, tablet, laptop, dan/atau desktop bagi masyarakat mengkases internet. Karena keterbatasan ekonomi, hanya sebagian kecil masyarakat di 12.500 desa yang mempunyai dan/atau memiliki akses ke gadget tersebut. Tanpa gadget, bisa dipastikan keberadaan jaringan telekomunikasi yang mahal tidak akan berdampak signifikan bagi masyarakat tersebut.

Terima kasih telah membaca artikel

Pembangunan Telekomunikasi Daerah 3T Butuh Dana Jumbo