Menimbang Alokasi Spektrum untuk Gelar 5G

Jakarta, – Ketersediaan spektrum frekuensi radio merupakan hal yang penting untuk mengembangkan jaringan 5G dan mengoptimalkan layanan berbasis generasi kelima di Indonesia. Manajemen spektrum frekuensi, di samping pembangunan infrastruktur, merupakan hal yang penting dalam menggelar jaringan 5G.
Ketersediaan spektrum yang memadai tetap penting untuk memastikan pemerataan 5G di seluruh negeri.
Denny Setiawan, Direktur Penataan Sumber Daya Kementerian KOMINFO RI mengatakan bahwa Indonesia setidaknya membutuhkan spektrum frekuensi di tiga lapisan, yaitu pita 700MHz pada lapisan bawah (low band); 2,3GHz dan 2,6GHz pada lapisan tengah (middle band); dan 3,5GHz pada lapisan atas (high band).
Umumnya, semakin rendah spektrum, semakin luas daya jangkaunya. Tapi dari segi kapasitas, semakin tinggi spektrum frekuensi, semakin besar kapasitas yang dimiliki.
“Idealnya setiap operator mempunyai tiga akses (spektrum) tersebut baik low band, middle band, maupun high band. Ini juga menjadi tantangan dengan jumlah operator yang cukup banyak, bagaimana kompetisi ke depan. Sehingga kami harus hati-hati, bukan hanya masalah teknis, tapi juga bagaimana soal investasi,” ungkap Denny, dalam sesi Webinar, rangkaian acara Indonesia 5G Conference dengan tema “Ketersediaan Spektrum Sebagai Upaya Memaksimalkan Layanan 5G”, Rabu pagi (27/10/2021).
Saat ini pada pita frekuensi 700 MHz masih berlangsung migrasi siaran televisi dari analog ke digital atau analog switch off. Dua spektrum potensial untuk 5G lainnya, yakni 2,3GHz pada middle band dan 3,5GHz pada high band, sudah lama digunakan untuk satelit komunikasi dan penyiaran.
Sementara itu, pita frekuensi yang sudah tersedia saat ini baru 2,3 GHz, yang digunakan oleh Telkomsel untuk memberikan layanan 5G komersial. Sebelumnya, pemerintah telah selesai menata ulang (refarming) spektrum frekuensi 2,3 GHz pada September lalu.
Adapun pita frekuensi 2,6 GHz, menurut Denny, digunakan satelit sampai 2024. “Kemungkinannya kita menunggu 2024 atau 2025. Atau bahkan lebih cepat,” ucapnya.
Denny memperkirakan pada tahun 2023, Kominfo akan menyiapkan alokasi spektrum frekuensi 3,5GHz dan 3,3GHz.
Alokasi spektrum frekuensi untuk 5G harus berupa pita yang lebar mendekati 100 MHz untuk satu operator. Operator yang mendapat alokasi spektrum frekuensi adalah mereka yang betul-betul memiliki kemampuan menggelar infrastruktur 5G. Konsekuensinya tentu hanya ada satu atau beberapa operator saja yang mendapatkan alokasi spektrum 5G.
Operator lain yang tidak mendapatkan alokasi pita spektrum frekuensi dapat bekerja sama secara wholesale dengan operator yang mendapatkan alokasi spektrum frekuensi 5G. Tentunya kerja sama tersebut dapat dilakukan di seluruh wilayah layanan dan di seluruh pita dalam IPFR.
“Karena keterbatasan spektrum frekuensi radio untuk 5G makanya UU Cipta Kerja membuka spectrum sharing terbatas untuk penerapan teknologi baru. Seluruh sumber daya frekuensi yang ada harus dioptimalkan untuk mendukung penerapan teknologi baru guna mendukung transformasi digital,” tutur Denny.
Dia memastikan, upaya menghadirkan layanan 5G di Indonesia tidak berhenti pada penambahan (farming) dan penataan ulang (refarming) spektrum frekuensi. Setelah memiliki alokasi spektrum frekuensi, pemerintah disebutnya perlu menetapkan harga yang rasional agar tidak memberatkan operator seluler.
Hal yang tidak kalah penting, teknologi dan bentuk layanan jaringan 5G yang hadir harus tepat guna dengan kebutuhan di dalam negeri. Secara keseluruhan, pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang berorientasi 5G adalah penting untuk mendukung transformasi digital di Indonesia.
Di lain pihak, Director & Chief Technology Officer XL Axiata, I Gede Darmayusa, mengakui ketersediaan frekuensi dan regulasi masih menjadi tantangan dalam menggelar jaringan 5G.
“Salah satu aset paling penting bagi operator adalah spektrum atau frekuensi. Tanpa spektrum kita tidak akan punya layanan apa-apa,” tutur Gede.
Gede menuturkan, teknologi generasi ke 5 ini memiliki karakteristik berbeda dengan 4G. 5G membutuhkan investasi yang besar dan ‘haus’ akan bandwidth. Sehingga XL mulai memikirkan untuk dilakukannya spectrum sharing untuk teknologi baru.
“Di Indonesia, era 2G/3G/4G sekarang sebenarnya kita sudah cukup punya spektrum. Tapi di era 5G, spektrum yang kita punya pasti tidak cukup. Karena semua keunggulan 5G berbanding lurus dengan spektrum yang kita punya,” tambahnya.
Baginya, ekspektasi tinggi pelanggan terhadap hadirnya jaringan 5G menjadi tantangan tersendiri bagi pihak operator untuk memenuhi kebutuhan penggunaan tersebut.
“Jadi tantangan tersendiri untuk men-deliver sesuai dengan term and conditions. Seperti spektrumnya berapa sih yang harus kita punya, lalu apakah semua site harus di fiberize, atau edge computing seberapa dekat dengan pelanggan karena semua terkait dengan Capex (Capital Expenditure/Pembelanjaan Modal) dan Opex (Operating Expenditure/Biaya Operasional,” ujarnya.
Dari paparan Gede, Capex dan Opex yang diperlukan oleh operator untuk membangun jarigan 5G di emerging market seperti Indonesia, jauh lebih besar dibanding Capex dan Opex yang dikeluarkan oleh develop market seperti Korea, Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa.
“Apapun yang mereka (develop market) perlukan untuk membangun infrastruktur sudah ada di era 4G. Kita tahu seperti jumlah tower yang semakin banyak, perizinan terhadap tower, fiber optic, hingga perizinan membangun fiber optik,” pungkasnya.
Berkaca pada negara maju, Gede berharap ada kolaborasi dengan pihak pemangku kepentingan untuk mempermudah pembangunan infrastruktur misalnya dimulai dari perizinan.
“Kolaborasi semacam itu sangat penting di samping teknologi atau spektrum yang bisa kita elaborate lebih lanjut,” imbuhnya.
Sarwoto Atmostarno, Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menyebut bahwa dari pihak operator akan menggali potensi dari sisi incremental revenue dan incremental cost dalam menggelar jaringan 5G. Penting menekan pengeluaran (cost) untuk mendapatkan profit.
“Dari 4G ke 5G bila harus melepaskan atau menerima frekuensi kan nanti ujungnya akan sama. Yang punya handset 5G saja belum sampai 2 persen, apakah kita langsung menggelar besar-besaran untuk jaringan 5G. Kalau kita berpandangan dari sisi operator mencakup incremental value, incremental revenue dan incremental cost,” jelasnya.
Sarwoto melanjutkan,”Jadi bila ditanya yang menghasilkan duit buat operator adalah 4G.Kalau naik ke 5G, kita tentu akan lari ke hokum incremental dan ada satu lagi tambahan teknologi netral sehingga kita tinggal cari frekuensi yang kosong dimana dan dipakai apa. Tinggal kita membuat software desainnya untuk menghasilkan kecepatan yang lebih dari 1Gb dengan latensi yang rendah.”