Membandingkan Nasib Operator Indonesia dan Vietnam, Siapa Lebih Baik?

Jakarta, Dengan jumlah pemain yang pernah mencapai 11 operator (2007), industri selular Indonesia bisa dibilang paling liberal di dunia. Tentu saja surplus operator membuat level kompetisi menjadi ketat. Hal ini membuat perang tarif tak terelakkan. 

Apa boleh buat, layanan data yang sebelumnya digadang-gadang jadi mesin pertumbuhan, belakangan juga menjadi komoditas. Nasibnya tak berbeda dengan SMS dan voice yang pernah dijadikan senjata oleh operator untuk menarik lebih banyak konsumen.

Sudah bukan rahasia lagi kalau tarif data internet selular Indonesia tergolong paling murah di dunia. Sebuah survei yang dilakukan oleh situs teknologi yang berbasis di Inggris, menyebutkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-14 sebagai negara dengan tarif data selular murah per 1GB dari 228 negara yang disurvei.

Dilansir dari cable.co.uk, situs teknologi tersebut, rata-rata biaya 1GB data selular di Indonesia adalah US$0,64. Angka tersebut diperoleh berdasarkan sampel yang dikumpulkan pada Februari 2020. 

Tarif data selular di Indonesia tersebut lebih murah dibandingkan dengan Myanmar ($0,78), Malaysia  ($1,12), Thailand ($1,23),  dan Filipina ($1,42). Sedangkan tarif termurah di kawasan Asia Tenggara ditempati Vietnam sebesar $0,57 (ke-10 dunia).

Dengan rata-rata harga data 1GB di Indonesia USD 1,21 atau hanya sekitar Rp 17 ribu, jelas Indonesia merupakan surga bagi pengguna data. Namun, apakah itu akan menguntungkan operator? Jawabannya jelas tidak. Pasalnya tarif tersebut dijual di bawah biaya produksi. 

Karena idealnya tarif rata-rata untuk 1 GB adalah tidak kurang dari Rp 30.000. Dengan tarif sebesar itu, operator baru memperoleh cuan (untung).

Harus diakui, tarif murah membuat konsumen happy. Namun penerapan tarif murah membuat industri selular tak lagi sehat. Operator sebenarnya menyadari bahwa praktek tersebut tidak menguntungkan. Namun, kompetisi yang ketat, membuat sebagian operator seolah tak punya pilihan, selain menjadikan harga sebagai instrumen untuk meraih pelanggan.

Sayangnya, di era data, penerapan tarif murah tetap marak. Padahal, revenue dari data adalah masa depan dari industri ini. Apalagi tarif paket data retail kebanyakan operator masih di bawah ongkos produksi. Tentu saja hasil dari perang tarif yang pertama kali merebak pada 2007, membuat pertumbuhan melambat. Puncaknya terjadi pada 2018, di mana industri selular tumbuh minus sebesar 6,8%. Membuat rapor sebagian besar operator menjadi merah. 

Upaya Konsolidasi

Dengan surplus pemain, sejak lama isu konsolidasi telah digaungkan oleh banyak kalangan. Regulator juga terus berusaha mendorong agar operator mau melakukan merger atau akuisisi, agar kompetisi tidak terusan berdarah-darah. Namun, langkah konsolidasi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena ini menyangkut bisnis jutaan dollar. Melibatkan banyak korporasi besar di dalamnya. 

Membandingkan Nasib Operator Indonesia dan Vietnam, Siapa Lebih Baik?

Memang tumbangnya tiga operator BWA pada akhir 2018 (Bolt, First Media, Jasnita), membuat jumlah operator di Indonesia menciut menjadi tujuh operator. Masing-masing lima operator selular (Telkomsel, XL Axiata, Indosat, Tri, Smartfren), satu operator CDMA (Sampoerna Telecom – N1),  dan satu operator BWA (Berca Hardaya Perkasa –  HiNet).

Meski operator telah berkurang cukup banya dibandingkan periode 2007, namun jumlah itu terbilang masih belum cukup ideal. Karena umumnya operator selular di satu negara tidak lebih dari 3 atau 4 operator. Jumlah yang ideal membuat ruang pertumbuhan tetap terjaga. Operator dapat mempertahankan tingkat profitabilitas, sehingga dapat terus berekpansi. 

Meski masih dipenuhi banyak operator, industri selular Indonesia terbilang anomali. Pasalnya hingga kini pasar masih dikuasai oleh tiga besar (the big three). Tiga besar operator itu adalah Telkomsel, Indosat Oredoo, dan XL Axiata. Ketiganya tak kurang menguasai sekitar 85% pangsa pasar. Dengan hanya terpusat pada tiga besar, bisa dibilang liberalisasi telekomunikasi Indonesia dibilang salah arah. 

Yang lebih “membingungkan” lagi, dari total penguasaan pasar tersebut, Telkomsel terbilang sangat dominan. Meski dikeroyok oleh banyak operator, posisi Telkomsel sebagai market leader tak tergoyahkan sejak 1999. Tengok saja pada kuartal ketiga 2018, market share anak perusahaan Telkom itu, dari sisi jumlah pelanggan, mencapai lebih dari 55%.

Tak hanya merajai pangsa pasar, revenue share Telkomsel juga jauh melebihi operator lainnya. Tak tanggung-tanggung, angkanya mencapai 69%. 

Tak dapat dipungkiri, persaingan harga yang ketat dan akses yang tidak merata ke sumber daya spektrum, semakin mendorong seruan terjadinya merger di antara lima operator selular. Apalagi saat ini Indonesia tengah bersiap memasuki layanan 5G, yang memerlukan ketersediaan frekwensi lebih besar.

Dengan ruang pertumbuhan yang semakin sempit, operator di luar tiga besar berjuang untuk terus dapat bertahan.  Konsolidasi berupa akuisisi atau merger diyakini merupakan jalan terbaik untuk bisa survive di tengah kompetisi yang terbilang irasional.

Itu sebabnya Tri sejak beberapa tahun terakhir berupaya menjalin  pembicaraan untuk membuka peluang konsolidasi dengan operator lain. Perusahaan telekomunikasi asal Hong Kong itu mengamati tiga emiten, yaitu XL Axiata, Indosat, dan Smartfren.

Wakil Direktur Hutchison 3 Indonesia Danny Buldansyah, mengungkapkan bahwa perseroan belum bisa menentukan di antara tiga perusahaan yang akan dikolaborasikan. Namun, lanjutnya, perseroan terbuka terhadap kemungkinan akuisisi dan merger.

Diketahui pada 2019 CK Hutchison telah melakukan pendekatan kepada Axiata Group Berhard Malaysia terkait potensi merger unitnya di Indonesia dengan XL Axiata. Pembicaraan tersebut dilakukan setelah Axiata mengakhiri rencana penggabungan dengan Telenor Norwegia. Kedua perusahaan sebelumnya telah menekan kesepakatan penggabungan non-tunai dari aset telekomunikasi dan infrastruktur mereka di Asia.

Sayangnya, seperti halnya Telenor, rencana penggabungan Tri Hutchinson dengan XL Axiata juga berujung pada kegagalan. Meski demikian Tri tak patah arang. Kini Tri mengalihkan fokusnya pada Indosat Ooedoo. 

Seperti diketahui, raksasa telekomunikasi Qatar Ooredoo telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) eksklusif namun tidak mengikat secara hukum dengan CK Hutchison. Kesepakatan yang diteken pada Senin (28/12/2020) itu, terkait dengan potensi penggabungan unit usaha mereka di Indonesia,  Indosat Ooredoo  dan Hutchison 3 Indonesia (Tri).

“Periode eksklusivitas MoU ini berlaku hingga 30 April 2021. Ooredoo ingin menekankan bahwa tidak ada kesepakatan yang mengikat terkait kemungkinan kombinasi yang telah dibuat sejak tanggal pengumuman ini. (Kami) akan membuat pengumuman lebih lanjut jika diperlukan”, tulis pernyataan itu.

Ooredoo menambahkan bahwa pihaknya saat ini masih dalam tahap awal mengkaji manfaat dari potensi transaksi tersebut.  Kini publik menunggu apakah konsolidasi akan terjadi kembali di industri selular Indonesia. Jika merger benar-benar terjadi diantara keduanya, maka hal ini mengulang konsolidasi terakhir yang terjadi pada 2012, saat XL Axiata mengambil alih Axis dari Saudi Telecom.

Tiga Besar Vietnam

Seperti halnya Indonesia, tiga operator telekomunikasi terbesar di Vietnam — Viettel, Vinaphone dan Mobifone – menguasai 95 persen dari total pangsa pasar pelanggan telepon selular di negara itu, dengan persaingan ketat di antara mereka untuk menjadi pemimpin pasar.

Membandingkan Nasib Operator Indonesia dan Vietnam, Siapa Lebih Baik?

Membandingkan Nasib Operator Indonesia dan Vietnam, Siapa Lebih Baik?

Statistik dari Kementerian Informasi dan Komunikasi menunjukkan bahwa tahun lalu grup telekomunikasi yang dikelola militer Viettel menguasai 37 persen pasar, diikuti oleh Vinaphone dan Mobifone, keduanya dengan 29 persen. Penyedia  jaringan kecil lainnya, termasuk EVN Telecom, Vietnammobile dan S-Fone, hanya menyumbang 5 persen.

Pakar industri mengatakan Vinaphone dan Mobifone akan bersaing untuk posisi kedua di belakang Viettel tahun ini, pada saat pelanggan seluler baru diperkirakan akan meningkat pesat.

Jumlah total pelanggan yang terdaftar tahun lalu, baik telepon tetap maupun seluler, adalah 130,5 juta, di mana 90,4 persennya adalah selular.

Le Hong Ha, wakil ketua Asosiasi Pemrosesan Informasi Vietnam, mengatakan sebagian besar negara di dunia biasanya memiliki tiga atau empat penyedia telekomunikasi besar untuk memegang pangsa pasar mereka.

Ha mengatakan secara teori, jika pasar hanya memiliki dua operator besar, maka persaingan akan berkurang. Jika pasar telekomunikasi Vietnam mempertahankan setidaknya tiga operator besar, hak pelanggan diperkirakan akan terjamin. Di tengah kompetisi yang ketat, penyedia jaringan akan berusaha mempertahankan pelanggannya, alih-alih meraih pelanggan baru.

Selain itu, mereka akan meningkatkan pendapatan rata-rata per pengguna (ARPU). Mobifone memiliki ARPU terbesar di Vietnam, diikuti oleh Vinaphone. Viettel menduduki peringkat ketiga meski memiliki pangsa pasar terbesar.

Kementerian mengatakan, membangun pasar yang sehat dan kompetitif akan dilakukan melalui kebijakan pemberian izin dan pemanfaatan sumber daya telekomunikasi dengan benar.

Kementerian menambahkan, pihaknya juga akan mencoba mencegah penetrasi massal beberapa operator telekomunikasi untuk menghindari kualitas rendah di pasar.

Mekanisme pasar akan diterapkan termasuk lelang, ujian masuk, perizinan, teknologi dan tenaga kerja yang memenuhi syarat untuk secara efektif menggunakan sumber daya telekomunikasi.

Demi membangun pasar yang sehat, regulator telekomunikasi Vietnam terbilang galak dalam menegakan aturan. Operator misalnya, dilarang keras mendaftarkan pelanggan prabayar yang tidak sesuai dengan ketentuan. Sanksi berupa denda besar siap dijatuhkan bagi operator yang membandel. 

Sanksi pernah dijatuhkan Kementerian Informasi dan Komunikasi (MIC) Vietnam pada Juni 2020. Saat itu, MIC menghukum empat operator selular karena mendaftarkan pelanggan prabayar secara ilegal, dengan denda sebesar VND777 juta ($ 33.377).

Laporan surat kabar setempat Tuoi Tre News, menyebutkan bahwa audit oleh kementerian yang dilakukan pada Oktober 2019 dan November 2019 menemukan Viettel, Vinaphone, Mobifone, dan Vietnamobile menggunakan informasi palsu untuk mendaftarkan pelanggan baru.

Surat kabar terkemuka Vietnam itu, menjelaskan bahwa registrasi kartu SIM memerlukan nama lengkap pengguna, tanggal lahir dan nomor ID nasional. Kementerian menyita 6.900 kartu SIM selama inspeksi. Setiap operator didenda VND90 juta, dengan pengecer juga dihukum.

Operator tampaknya menggunakan informasi dari pemegang kartu SIM yang ada untuk mendaftar pelanggan baru, yang sering dijual kepada wisatawan yang tidak mengetahui persyaratan pendaftaran, tambah Tuoi Tre News.

Terima kasih telah membaca artikel

Membandingkan Nasib Operator Indonesia dan Vietnam, Siapa Lebih Baik?