
Lelang Spektrum 700 Mhz: 3 Alasan Mengapa Operator Selular Bersikap “Wait and See”

– Seiring tuntasnya program ASO (analog switch off) pada September 2023, spektrum 700 Mhz yang sebelumnya digunakan layanan TV analog telah siap dimanfaatkan oleh operator selular.
Namun, lelang spektrum 700 Mhz yang sebelumnya direncanakan pada awal 2024, dipastikan mundur. Hal itu disampaikan Ismail, Dirjen SDPPI Kementerian Kominfo.
“Belum ada tenggat waktu untuk menggelar lelang, karena masih terdapat penyesuaian, juga koordinasi dengan kementerian/lembaga lainnya”, ujar Ismail, di sela-sela peresmian Huawei 5G Warehouse di Ckarang, Bekasi (7/3/2024).
Walaupun proses lelang masih tertunda, namun Ismail mengklaim, semua operator selular yaitu Ooredoo Hutchison, Smartfren, Telkomsel, dan XL Axiata berminat mengikuti lelang.
“Kalau dari surat kesediaan semua berminat. Kita sudah mengirim surat kesediaan, mereka semua jawab oke,” pungkas Ismail.
Meski semua operator menyatakan berminat mengikuti lelang spectrum 700 Mhz, namun jika kita kulik lebih jauh, pada dasarnya operator selular masih bersifat “wait and see”.
Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa operator masih menahan diri. Ketiga faktor tersebut adalah BHP (Biaya Hak Penggunaan) frekwensi yang sudah kelewat mahal, pemanfaatan spectrum yang lebih ke 4G bukan 5G, dan kewajiban operator membangun jaringan broadband desa-desa terluar.
Baca Juga: Menkominfo Sebut Lelang Spektrum Bulan April, Ini Komentar Operator Seluler
Mari kita telisik satu persatu ketiga faktor tersebut.
-
BHP Frekwensi yang Sudah Kelewat Mahal
Untuk diketahui spektrum frekuensi 700 Mhz memiliki lebar sekitar 112 MHz. Dari jumlah itu, hanya 90 Mhz (9 blok) yang siap digunakan.
Dengan lebar sebesar itu, jika digunakan operator selular akan menghasilkan PNBP bagi pemerintah lebih dari 50X – 100X lipatnya dalam bentuk BHP frekuensi.
Kalau 9 blok yang didapatkan dari lelang, artinya BHP frekuensi yang dibayarkan sebesar Rp 6 triliun. Tentu saja, jika satu operator memenangkan semua blok tersebut terbilang sangat berat, di tengah kondisi industri selular yang tengah menurun saat ini.
Apalagi pembayaran yang harus dilakukan di tahun pertama adalah 3x lipat dari BHP frekuensi (dengan hitungan 2 kali up front free alias biaya izin awal dan 1x annual fee).
Sekadar informasi, dalam lelang sebelumnya, yaitu spectrum 2,1 Ghz yang dimenangkan oleh Telkomsel pada November 2022, operator selular terbesar di Indonesia itu, harus merogoh kocek hingga Rp 605 miliar.
Padahal 2,1 Ghz yang dimenangkan oleh Telkomsel itu, hanya terdiri dari 1 (satu) blok pita frekuensi radio 5 MHz FDD (2 x 5 MHz) pada rentang 1.975-1.980 MHz berpasangan dengan 2.165-2.170 MHz dengan cakupan wilayah layanan nasional.
Saat ini operator tengah berupaya agar BHP frekwensi diturunkan. Operator mengeluhkan sewa frekuensi yang kian mahal.
Berdasarkan kajian GSMA, kenaikan biaya spektrum frekuensi telah mencapai 12,2%. Sementara untuk rata-rata kawasan di Asia Pasifik dan global sebesar 8,7% dan 7%. Itu berarti, persentase di Indonesia telah melebihi indeks global.
Kenaikan harga sewa spectrum tersebut sayangnya tidak diikuti oleh peningkatan pendapatan.
“Pendapatan operator tumbuhnya tidak lagi setinggi masa lalu. Saat ini hanya tumbuh sekitar 5,6% secara average growth. Padahal BHP frekuensi pertumbuhannya sudah lebih dari 10%,” kata Wakil Ketua Umum ATSI, Merza Fachys.
ATSI dengan tegas meminta kepada pemerintah agar regulatory charges yang dibebankan tidak terlalu tinggi. Seharusnya hanya di bawah 10% untuk membuat industri telekomunikasi sehat.
Sebagai informasi, ada banyak komponen dalam regulatory charges. Namun dari semua komponen, yang paling besar adalah BHP frekuensi.
Senada dengan Merza, Director & Chief Business Officer Indosat Ooredoo Hutchison Muhammad Buldansyah, menyebutkan bahwa diperlukan paradigma baru regulasi yang memihak industri.
Dalam hal regulatory charges, Danny menggaris bawahi bahwa bukan soal penurunan harga, melainkan skema perhitungan biaya yang harus diubah.
“Bukan kita menginginkan turun dari harga sekarang. Tidak apa-apa naik, tetapi kenaikannya harus proporsional”, ujar Danny.
Misalnya kalau ada lelang spektrum, jangan dihitung harga per megahertz lagi disamakan dengan yang lalu. Pasalnya, dengan meningatnya kebutuhan akan layanan data dan internet, value spektrum sudah jauh berkurang.
Apalagi tarif data internet untuk pelanggan selular di Indonesia terhitung murah di kawasan Asia Tenggara. Menurut catatan Kominfo, harga rata-rata 1GB di Indonesia US$0,42 atau sekitar Rp 6 ribu. Sementara di dunia harga data yang ditawarkan operator di Indonesia nomor 12 termurah dari 230 negara.
“Dulu 5MHz mungkin punya value tinggi, tetapi sekarang 5G kan butuhnya 100Mhz. Kalau biayanya dikalikan dengan harga 5MHz kemarin, itu rasanya tidak masuk ke perhitungan business plan-nya operator”, ucap Danny.
Jadi, sesuai dengan kondisi saat ini, skema perhitungannya harus ditinjau ulang supaya lebih efisien. Tujuannya, agar industri bisa membangun lagi dan bisa memanfaatkannya sebaik mungkin (spectrum yang dimiliki), pungkas Danny.
Baca Juga: Insentif 5G Masih Belum Diputuskan, Lelang Spektrum 700 Mhz Jadi Tertunda
Halaman Selanjutnya..
Lelang Spektrum 700 Mhz: 3 Alasan Mengapa Operator Selular Bersikap “Wait and See”
