Jernih Melihat Alasan Pembubaran BRTI

Jakarta, – Akhir pekan lalu, nasib BRTI jelas sudah. Bersama dengan Badan Pertimbangan Telekomunikasi (BPT), dua lembaga itu resmi dibubarkan oleh pemerintah. Nantinya peran dan fungsi kedua lembaga itu, dikembalikan ke Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).

Tentu saja polemik berkembang pasca keputusan pembubaran itu. Menurut Heru Sutadi, Pengamat ICT, membubarkan BRTI bukan hanya soal mencoret lembaga yang dibentuk berdasar Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi saja, tapi menjadi catatan penting bagi dunia internasional.

“Seolah memang mudah untuk membubarkannya, jika tidak mendapat informasi lengkap tentang sejarah berdirinya lembaga tersebut. Dengan hilangnya BRTI, maka Indonesia akan menjadi satu-satunya negara di ASEAN yang tidak memiliki badan regulasi telekomunikasi independen.” sambungnya.

Padahal semangat lembaga independen itu, guna menjawab perubahan iklim bisnis telekomunikasi dari praktik monopoli. Secara konsep internasional dibutuhkan adanya lembaga pengatur, pengawas dan pengendali telekomunikasi yang bebas dari kepentingan pemerintah dan pelaku usaha.

Senada dengan Heru Sutadi, Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menilai langkah pemerintah membubarkan BRTI tidak tepat. Persaingan industri telekomunikasi yang makin ketat membutuhkan ‘wasit’ yang netral, agar kompetisi dapat berjalan sehat.

Ketua Umum Mastel, Kristiono mengatakan bahwa seharusnya pemerintah memperkuat BRTI, di tengah kompetisi yang makin ketat, bukan membubarkannya. Penguatan yang optimal dapat diwujudkan dengan mengembalikan BRTI ke ide awal yaitu lembaga telekomunikasi yang independen, seperti Federal Communications Commission (FCC) di Amerika Serikat.“

“Upaya penguatan juga dapat dilakukan dengan model tata kelola industri telekomunikasi yang bersifat multi pemangku kepentingan atau multi stakeholders bukan government centric lagi,” kata Kristiono.

Terlepas dari polemik itu, sebenarnya sudah sejak lama saya ingin menulis artikel tentang BRTI. Khususnya menyangkut kinerja lembaga yang pertama kali dipimpin oleh Koesmarihati, mantan Dirut Telkomsel pertama. Meski disebut-sebut sebagai independen, faktanya BRTI berada di bawah Kemenkominfo. Hal ini sedikit banyak membuat BRTI tidak bisa bergerak bebas, sehingga banyak kebijakan yang diambil BRTI terganjal oleh Kemenkominfo.

Padahal, hiruk pikuk industri telekomunikasi yang tengah bertransformasi di era digital, memberikan tantangan yang tak ringan BRTI. Padahal sesuai amanat UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi, BRTI yang dibentuk pada 11 Juli 2003, memiliki tupoksi (tugas, pokok, dan fungsi) yang sangat strategis. Meliputi pengaturan, pengawasan dan pengendalian industri telekomunikasi nasional.

Sayangnya, hadirnya teknologi internet cepat, khususnya 4G yang resmi diimplementasikan pada akhir 2015 di Indonesia, membuat BRTI seperti tergagap-gagap. Lembaga ini lebih seperti striker yang menunggu bola untuk diceploskan ke gawang lawan. Seolah tak ada inisiatif untuk membangun regulasi sesuai dengan dinamika yang terjadi di industri selular.

Alhasil, nyaris tak ada regulasi yang dihasilkan oleh BRTI, khususnya dalam lima tahun terakhir. Kalau pun ada terbilang telat. Padahal industri telekomunikasi sudah berubah drastis. Teknologi 4G yang diperkenalkan pada 2015 semakin mendorong laju penetrasi smartphone di Indonesia. Sekaligus menandai evolusi selanjutnya, yakni internet cepat.

Kelak hadirnya teknologi 5G, memperkuat momentum yang telah tercipta. Teknologi selular generasi kelima ini memiliki kecepatan hingga 50 kali lebih cepat, 10 kali lebih responsif, dan latensi yang jauh lebih rendah ketimbang 4G.

Hal itu akan mendorong tumbuhnya beragam inovasi yang akan memperkuat ekosistem digital. Seperti pengembangan smart cities, drone, mengemudi mandiri (autonomous car), layanan medis digital, penyebaran IoT (Internet of Things) dan layanan berbasis robotics lainnya yang sangat membantu, khususnya bagi pelanggan kalangan industri.

Namun, berbagai perubahan tersebut sepertinya tidak mampu direspon oleh BRTI. Di bawah ini adalah sejumlah isu strategis yang belum mampu dituntaskan oleh BRTI. Padahal pengaturannya sudah sangat mendesak.

Tarif Data dan SMS Promo

Menjelang akhir 2020, BRTI tak kunjung menyusun formula tarif data sesuai amanat pasal 28 UU No.36 tahun 1999 tentang telekomunikasi. Khususnya, revisi PM (Peraturan Menteri) 9/2008 untuk mengakomodir layanan data. Padahal sebelumnya BRTI menargetkan PM tentang formula tarif data dapat rampung pada akhir 2017.

Karena ketiadaan aturan tersebut, maka tak heran jika industri selular Indonesia sepertinya masih akan terus dihadapkan dengan persoalan perang tarif dimana operator berlomba untuk menghadirkan tarif semurah, mungkin demi menggaet sebanyak-banyaknya pelanggan.

Padahal wacana penyusunan formulasi tarif data sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Bahkan Rudiantara (Menkominfo sebelumnya), sejak awal menjabat, sudah menempatkan isu ini sebagai agenda yang akan ia tuntaskan.

Saat terjadi kasus peretasan terhadap situs Telkomsel pada Mei 2017, BRTI bahkan berjanji untuk segera mempercepat perumusan formula tarif data. Namun hingga Rudiantara tak lagi menjabat sebagai Menkominfo, PM tentang tarif data tak kunjung dikeluarkan.

Belakangan, Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), I Ketut Prihadi Kresna mengungapkan bahwa rancangan peraturan Menkominfo tentang tata cara penetapan tarif jasa telekomunikasi pada prinsipnya sudah selesai dibahas.

Menurut BRTI, prinsip pengaturannya adalah bahwa besaran tarif ditetapkan oleh operator telekomunikasi berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.  Operator lah yang paling mengetahui strategi penerapan tarif yang paling baik, karena operator paling mengetahui data-data biaya pokok pembentuk tarif. BRTI pun berharap di awal 2021 rancangan peraturan menkominfo mengenai tarif data internet ini sudah dapat ditetapkan.

Sambil menunggu aturan tarif data di tetapkan menjadi PM, BRTI saat ini tengah menyusun ketetapan soal aturan aktivitas penawaran operator selular, termasuk kegiatan marketing di dalamnya melalui layanan pesan singkat short message service (SMS).

Inti dari materi muatan pengaturan SMS penawaran/marketing  oleh operator selular ini untuk memperkuat hak konsumen, sehingga konsumen dapat menolak ataupun menerima pengiriman SMS tersebut.

Tentu saja langkah BRTI terbilang telat. Karena keberadaan SMS marketing sudah dikeluhkan sejak lama oleh pelanggan. Sayangnya, BRTI sendiri menyebutkan bahwa target penyelesaiannya belum ditentukan. Lagi-lagi, lembaga ini berharap aturan SMS marketing ini dapat diterapkan paling lambat akhir 2020.

Konsolidasi Operator

Selain persoalan tarif data, BRTI juga menghadapi beban untuk mengeluarkan regulasi terkait konsolidasi atau merger antar perusahaan operator telekomunikasi di Indonesia. Seperti kita ketahui, konsolidasi menjadi mutlak agar industri selular kembali sehat. Konsolidasi yang ditempuh bisa dalam bentuk merger, akuisisi, atau kerja sama jaringan.

Pemerintah berharap jumlah operator telekomunikasi di Indonesia menyusut menjadi tiga sampai empat pemain saja. Dengan empat pemain, industri telekomunikasi akan lebih efisien dan tidak terus-terusan merugi.

Saat ini Indonesia tercatat 9 operator, yakni Telkom, Telkomsel, Indosat Ooredoo, XL Axiata, Tri, Smartfren, Sampoerna, dan Hinet (Berca Hardaya Perkasa). Khusus Hinet adalah operator BWA (broadband wireless access) tersisa. Dua rekannya, Sitra (First Media) dan Bolt (Internux) tumbang pada 2019 karena tak mampu membayar BHP frekwensi.

Penciutan jumlah operator akan membuat alokasi dan penggunaan frekwensi menjadi maksimal, sehingga dapat mendorong tumbuhnya ekonomi broandband ke seluruh pelosok Indonesia.

Sebelumnya rencana aturan konsolidasi ini akan dibuatkan Peraturan Menteri (PM) sehingga bisa berkekuatan hukum tetap. PM ini ditargetkan rampung pada akhir 2017. Namun hingga Rudiantara paripurna sebagai Menkominfo, payung hukum menyangkut merger dan akuisisi belum juga dituntaskan. Usut punya usut, isu kepemilikan frekuensi masih menjadi kendala bagi operator yang ingin melakukan aksi merger dan akuisisi di Indonesia.

Sejauh ini, pemerintah belum bisa memastikan apakah kepemilikan frekwensi menjadi mutlak, atau harus dikembalikan dulu ke regulator, sebelum diberikan kepada operator yang melakukan akuisisi. Dalam kasus terakhir, yaitu akuisisi Axis oleh XL Axiata pada 2012, XL harus mengembalikan sebagian frekwensi bekas Axis kepada pemerintah. Kasus yang terjadi pada XL, membuat operator menjadi lebih berhati-hati.

Karena belum ada aturan menyangkut M&A, hingga kini rencana konsolidasi jalan di tempat. Ketiadaan regulasi membuat semua pihak menahan diri. Operator jelas memerlukan panduan sesuai regulasi sebelum melakukan merger atau akuisisi, karena ini adalah bisnis bernilai triliunan rupiah.

Aturan OTT

Kebijakan lain yang tak jelas juntrungannya hingga kini adalah adalah PM OTT (Over The Top). OTT adalah pemain yang identik sebagai pengisi pipa data milik operator. Para pemain OTT ini dianggap sebagai bahaya laten bagi para operator karena tidak mengeluarkan investasi besar, tetapi mengeruk keuntungan di atas jaringan milik operator.  Meski mendatangkan trafik, namun para pemain OTT telah mendistorsi bisnis selular, sehingga membuat laba operator terus tergerus.

Meski telah menimbulkan polemik yang berkepanjangan, BRTI tidak pernah membahas isu menyangkut OTT, meski tekanan begitu kuat dari berbagai kalangan.

Mastel misalnya, menyoroti murahnya harga data tidak membawa dampak positif terhadap masyarakat maupun kinerja keuangan operator telekomunikasi. Justru hanya menguntungkan perusahaan layanan over the top (OTT) di Indonesia.

Menurut Ketua Mastel Kristiono, selain hanya ditumpangi OTT, layanan data murah pun kebanyakan hanya dipakai untuk menyebar hoax. Ini sangat berbeda dengan tujuan transformasi digital, yang ingin membawa kehidupan manusia menjadi lebih baik. Oleh karena itu, Mastel berpendapat agar industri sehat kembali maka pemerintah harus membuat aturan digital platform.

“OTT banyak yang tidak bayar pajak. Sementara itu e-commerce  banyak menjual barang dari luar negeri. Masyarakat Indonesia hanya menjadi pasar saja. Jadi saat ini sudah saatnya pemerintah berpihak kepada industri nasional dengan mengeluarkan aturan mengenai digital platform,” ujar Kristiono, dalam seminar yang digelar Selular Media Network, Januari 2019.

Tarif Interkoneksi

Revisi tarif interkoneksi hingga kini masih menggantung. Sejatinya pada September 2016, Kemkominfo sudah memutuskan tarif interkoneksi yang baru. Tarif baru untuk percakapan suara lintas operator (off-net) untuk penyelenggara jaringan bergerak selular adalah Rp 204, turun dari sebelumnya Rp 250. Namun keputusan Kemkominfo itu telah berkembang menjadi polemik. Operator terbelah menjadi dua kubu, menyetujui dan kontra, dengan berbagai alasan masing-masing.

Sejak awal, Indosat Ooredoo, XL Axiata, Smartfren, dan Tri Hutchinson secara terbuka mendukung revisi tarif interkoneksi. Mereka beralasan penurunan tarif interkoneksi yang signifikan bakal berpengaruh terhadap tarif retail yang nantinya dijatuhkan kepada pelanggan.

Jika kelima operator mendukung revisi tarif interkoneksi itu, tidak demikian dengan Telkomsel. Anak perusahaan Telkom itu menilai penurunan tarif interkoneksi sesungguhnya tidak berdampak langsung kepada turunnya tarif ritel.

Telkomsel juga mempermasalahkan keputusan revisi itu tidak sejalan dengan aturan tentang interkoneksi yang berbasis biaya penggelaran jaringan, besaran nilai penurunan, hingga potensi kerugian yang akan dialami Telkomsel dalam tahun-tahun mendatang.

Untuk mengatasi polemik itu, pada awal 2018, BRTI menyerahkan hasil evaluasi mengenai formula tarif interkoneksi kepada Menkominfo. BRTI sudah mengkaji rekomendasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang melakukan penghitungan tarif interkoneksi tersebut. Namun entah mengapa, kajian yang dilakukan oleh BRTI tidak dijalankan oleh Menkominfo.

Padahal regulasi baru menyangkut interkoneksi sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yang mengatur ketentuan tentang interkoneksi penyelenggaraan telekomunikasi. Jamaknya Menkominfo yang menjabat akan melakukan pembaharuan terhadap perhitungan biaya interkoneksi dan dituangkan dalam Peraturan Menteri setiap dua tahun sekali.

Terlepas dari berbagai agenda yang menggantung hingga kini, BRTI telah memberikan warna bagi kemajuan industri telekomunikasi nasional. Dibentuknya BRTI bertujuan mendorong kompetisi yang sehat, dan dengan perkembangan industri yang makin kompleks memerlukan regulasi yang adaptif.

Kini dengan dikembalikannya fungsi dan peran BRTI, apakah Kemenkominfo mampu menjadi wasit yang netral sekaligus menelurkan regulasi yang dibutuhkan oleh para pelaku usaha?

Terima kasih telah membaca artikel

Jernih Melihat Alasan Pembubaran BRTI