Jaringan Dokter Muda Bicara RUU Kesehatan

Jakarta

RUU Kesehatan tengah menjadi perbincangan belakangan ini. Pro-kontra bermunculan terkait sejumlah persoalan yang diatur dalam RUU tersebut.

Di antara berbagai pendapat, Jaringan Dokter Muda Indonesia (JDMI) menyampaikan sejumlah catatan. Koordinator (JDMI), dr Andi Khomeini Takdir Haruni, menyebut bahwa setidaknya ada tiga klaster RUU Kesehatan yang menyasar dokter-dokter muda.

Klaster pertama terkait perlindungan hukum. Selain pasal-pasal perlindungan yang sudah berlaku saat ini, RUU juga menambah beberapa pasal perlindungan baru, seperti perlindungan untuk peserta didik yang sedang menjalani residen dan mengambil program spesialis.


“Pemerintah dan DPR mengusulkan pasal agar peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan berhak memperoleh bantuan hukum dalam hal terjadinya sengketa medik selama mengikuti proses pendidikan,” ungkap dr Koko, sapaan akrabnya.

Selain itu, tenaga medis dan kesehatan juga dapat menghentikan pelayanan kesehatan apabila memperoleh perlakuan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai sosial budaya, termasuk tindakan kekerasan, pelecehan, dan perundungan.

“Lalu ada usulan penyelesaian sengketa diluar pengadilan dimana dokter yang telah melaksanakan sanksi disiplin yang dijatuhkan terdapat dugaan tindak pidana, aparat penegak hukum wajib mengutamakan penyelesaian perselisihan dengan mekanisme keadilan restoratif,” lanjutnya.

Klaster kedua yakni terkait sistem pendidikan spesialis yang murah dan transparan melalui sistem berbasis rumah sakit. Peserta didik yang mengikuti pendidikan ini tidak perlu membayar biaya karena akan dianggap sebagai dokter magang atau bekerja.

“Ini akan mempermudah para dokter muda mengambil program spesialis. Kebanyakan dokter memang bercita-cita menjadi dokter spesialis sebagai jenjang karier mereka. Jadi nantinya akan ada dua opsi, spesialis melalui universitas dan melalui rumah sakit, sehingga kesempatan para dokter untuk mengambil pendidikan lanjutan akan sangat luas,” katanya.

Klaster ketiga terkait penyederhanaan perizinan praktek. Dalam RUU Kesehatan, Surat Tanda Registrasi (STR) akan berlaku seumur hidup, sementara Surat Izin Praktik (SIP) berlaku setiap 5 tahun sekali. Ini berbeda dengan ketentuan saat ini yang membutuhkan dua izin untuk 5 tahun.

“Fungsi kontrol terhadap kualitas dan kepastian kompetensi dokter secara berkala nantinya diusulkan melekat pada SIP. Sehingga dokter dukun atau tremor atau sakit dapat dicegah secara berkala melalui mekanisme ini. Sistemnya juga akan dibuat transparan untuk menghindari conflict of interest dan kolusi,” pungkas dr Koko.

Terima kasih telah membaca artikel

Jaringan Dokter Muda Bicara RUU Kesehatan