Hong Kong Dihantam Krisis Populasi, Warganya Lebih Pilih Punya Kucing daripada Bayi

Jakarta

Hong Kong mengalami krisis populasi setelah warganya kebanyakan tak mau memiliki anak. Wilayah tersebut tercatat memiliki jumlah kelahiran yang menurun drastis.

Sekretaris Pendidikan Kota Christine Choi mengatakan, ada lima sekolah dasar yang tidak akan menerima dana untuk kelas tahun pertama lantaran terlalu sedikit murid yang mendaftar. Lambat laun, sekolah tersebut akan ditutup seiring menurunnya jumlah murid yang mendaftar.

“Jika Anda mengatakan [mencabut subsidi untuk] kelas yang kekurangan satu murid berarti kurangnya kasih sayang, maka hal yang sama dapat dikatakan untuk menariknya dari kelas 14. Apa [ukuran kelas] yang masuk akal, dalam hal ini ?” Choi bertanya kepada seorang reporter pada konferensi pers tentang kelas-kelas Pratama yang dibatalkan, Dikutip dari Hong Kong Free Press.


“Fakta yang tak terbantahkan bahwa populasi usia sekolah menurun,” kata Biro Pendidikan dalam dokumen yang diserahkan ke Dewan Legislatif pada bulan Maret.

Pada 2029, populasi usia sekolah berusia 12 tahun diperkirakan turun 16 persen dari 71.600 tahun ini menjadi 60.100. Pada saat yang sama, telah terjadi peningkatan yang mencolok dalam usia rata-rata pernikahan pertama dari 26,2 untuk perempuan dan 29,1 untuk laki-laki pada tahun 1991, menjadi 30,4 dan 31,9, menurut Departemen Sensus dan Statistik.

Mayoritas Tak Memiliki Rencana melahirkan

Sebuah survei tahun 2023 oleh Hong Kong Women Development Association (HKWDA) menunjukkan, lebih dari 70 persen responden berusia 18 tahun ke atas mengatakan kepada para peneliti bahwa mereka tidak memiliki rencana untuk melahirkan.

Asosiasi Keluarga Berencana Hong Kong juga melakukan survei kepada lebih dari 8.000 siswa sekolah menengah pada tahun 2022. Hasilnya terjadi penurunan keinginan untuk memiliki anak di masa depan.

Pada 2011, sebanyak 84 persen anak laki-laki dan 70 persen perempuan ingin memiliki anak. Namun pada 2021 jumlahnya menurun menjadi 70 persen dan 55 persen. Hal itu menandakan terjadinya perubahan sikap untuk melahirkan anak.

“Sungguh aneh bahwa siswa sekolah menengah kehilangan kepercayaan pada pernikahan dan melahirkan pada tahap awal seperti itu,” kata ketua komite penelitian, Paul Yip.

Yip mengungkapkan, faktor yang berdampak mereka tidak ingin melahirkan mungkin karena protes pada 2019 terhadap RUU ekstradisi, pandemi COVID-19, dan eksodus dari Hong Kong.

Karenanya, ia pun menyimpulkan, pemerintah dan individu sama-sama berkontribusi pada fenomena ini.

“(Kita) perlu membangun masyarakat yang membuat kaum muda merasa penuh harapan, sehingga mereka akan tetap tinggal dan memiliki anak,” tuturnya.

Tak Butuh Bayi, Pilih Adopsi Kucing

Seorang manajer pemasaran berusia 34 tahun bernama Ah Ying mengatakan bahwa ia tidak ingin mempunyai anak, meskipun sang suami terbuka untuk memiliki anak.

Dikutip dari Channel News Asia (CNA), dia mengurungkan niat untuk memiliki anak sepenuhnya setelah kerusuhan sosial pada 2019. Dia tidak memiliki rencana tersebut sejak terjadinya kerusuhan sosial di 2019, saat Beijing memperketat cengkeramannya melalui undang-undang keamanan nasional dan perombakan sistem pemilu untuk memastikan hanya ‘patriot’ yang memerintah kota.

Dengan sekolah yang menekankan patriotisme, dia khawatir anak-anaknya bakal ‘dicuci otak’. Selain itu, ia juga terhambat oleh biaya membesarkan anak dengan budaya yang kompetitif, bahkan dimulai dari tingkat balita.

“Ini bukan hanya tentang tekanan emosional, tetapi juga beban keuangan. Jika saya tidak bisa memberikan yang terbaik untuk anak saya, mungkin saya tidak boleh melahirkan sama sekali,” katanya.

Dia dan suaminya pun memilih mengadopsi seekor kucing tahun lalu dan menganggapnya sebagai anggota keluarga. Mereka pun tidak membicarakan terkait keinginan punya anak karena sudah tergantikan oleh kucing.

Terima kasih telah membaca artikel

Hong Kong Dihantam Krisis Populasi, Warganya Lebih Pilih Punya Kucing daripada Bayi