
Dilema Kasus Pelecehan Seks, Viral di Medsos Tak Selalu Berdampak Baik

Jakarta –
Tak jarang kasus pelecehan seksual harus mendapat atensi publik dan viral terlebih dahulu sebelum mendapat proses penanganan oleh pihak berwajib. Hanya saja tak selamanya memviralkan kasus kekerasan atau pelecehan seksual baik untuk para korban.
Head of Program Rutgers Indonesia Nancy Sunarno ada beragam risiko yang bisa dialami para korban kekerasan seksual jika kasusnya viral di media sosial.
Bisa saja korban setuju untuk menceritakan kasus yang dialaminya. Namun dia belum tentu siap menghadapi respons yang beragam dari warganet.
“Kebanyakan (komentar) berasal dari akun-akun anonim. Dia nggak pakai nama beneran, dia asal ngomong langsung aja begitu bisa pakai istilah yang kasar-kasar,” kata Nancy.
Belum lagi jika kasusnya viral dan identitasnya diketahui publik, dia membutuhkan banyak waktu untuk pulih dari trauma kekerasan seksual.
“Banyak yang hanya ingin kepo, menasehati korban, dan enggak jarang hanya ingin menyalahkan korban kekerasan seksual,” beber Nancy.
Adapun dampak yang bisa dialami korban kekerasan seksual salah satunya gangguan kesehatan mental mulai dari stres, kecemasan, depresi, menyalahkan diri sendiri, kecenderungan menggunakan obat terlarang, sampai niat mengakhiri hidup.
Ada cara lain yang bisa dilakukan untuk memenuhi hak korban kekerasan seksual daripada memviralkan. Bisa dengan melaporkan ke lembaga maupun pihak yang membantu korban kekerasan seksual mendapatkan hak-haknya.
“Cari UPTD di kabupaten/kota, kalau nggak ada cari di provinsi, karena mereka lah yang seharusnya punya tanggung jawab pertama,” jelas Nancy.
Jika di daerah tempat tinggal korban tak ada layanan UPTD PPA, maka bisa meminta bantuan kepada layanan pendamping dan organisasi masyarakat yang fokus menyediakan bantuan untuk para korban kekerasan seksual.
Dilema Kasus Pelecehan Seks, Viral di Medsos Tak Selalu Berdampak Baik
