Catatan Akhir 2020: Meramu Taji Wearable Device ‘Manjur’ Di 2021

Jakarta, Selular .ID – Pandemi covid-19 mengubah pandangan masyarakat di era baru ini, tak terkecuali di sektor Kesehatan. Gaya hidup sehat mau tidak mau harus ditingkatkan secara mandiri, melalui konsumsi makanan sehat, olahraga serta tak ketinggalan menggunakan perangkat wearable device pun mulai diandalkan tajinya, sebagai upaya memantau kesehatan pribadi atau personal health care.
Terlepas dari soal ‘gaya’ ketika menggunakanya, secara fungsi wearable device merupakan perangkat yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai penghimpun data kesehatan masyarakat yang maha luas secara real-time, melalui berbagai sensor yang tertanam dalam sebuah alat yang melekat di tubuh.
Perangkat yang umumnya dikenakan masyarakat smartband dan smartwatch ini tertanam berbagai sensor canggih untuk mendikte kesehatan kita, seperti indikator level stress, pemantauan detak jantung, pengukur kadar oksigen dalam darah (SpO2), pengitung langkah dan lain sebagainya terus dimanfaatkan masyarakat.
Baca juga: Prospek Bisnis Wearable Device dan IoT tahun Depan Diprediksi ‘Mocer’
Dan munstinya, dari kecanggihan yang dimiliknya itu dapat berkontribusi lebih luas untuk meningkatkan Kesehatan masyarakat maupun fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) itu sendiri. Karena tak dapat dipungkiri intergrasi teknologi wearable seperti smartband atau smartwatch, big data, Artificial Intelligent (AI), dan rekam medik pasien bisa memudahkan dokter menangani pasien dengan ringkas.
Sekenarionya, data itu akan dikirim sebagai rekam medik digital pasien, dimana tenaga kesehatan formal akan menggunakan data itu untuk merencanakan program penyembuhan untuk setiap pasiennya. Bahkan lebih jauh lagi, wearable device berpeluang besar merevolusi cara manusia memelihara dan meningkatkan kesehatannya.
Bentuk revolusi itu bisa berupa cara masyarakat membiasakan olahraga, mendeteksi penyakit, mengobati penyakit, memberi notifikasi ke dokter hingga merperkirakan ancaman penyakit berdasarkan rekam medik yang dianalisis dari perangkat yang dikenakanya tersebut.
Lalu yang menarik juga, taji perangkat teknologi di bidang kesehatan yang masih terbatas ini diprediksi dapat juga meringankan beban operasional lembaga kesehatan.
Penerapan teknologi, tak terlepas wearable device kemudian diperkuat dengan pemanfaatan big data bidang kesehatan, menurut proyeksi lembaga riset McKinsey dapat mengurangi biaya pengelolaan data sebesar US$ 300 – US$ 500 miliar, karena dapat mengeleminasi sektor pelayanan kesehatan yang masih bersifat konvensional.
Baca juga: Catatan Akhir 2020: Menunggu Langkah Tegas Pemerintah Terhadap Operator BWA Tersisa
Di Indonesia sendiri, Teguh Prasetya, Ketua Umum Asosiasi IoT Indonesia menceritakan meski kecenderungan menuju digitalisasi kesehatan akan berjalan dengan cepat karena didorong pandemi covid-19, perangkat wearable yang menunjang kesehatan masyarakat alurnya pemanfaatan data masih tetap buram.
“Kendalanya dari segi pemanfaatan data, karena ini sifatnya personal health care, mustinya sudah saatnya dapat termanfaatkan dengan baik sekaligus terhubung ke fasilitas kesehatan publik yang lebih luas,” ungkapnya.
Lalu dari teknologi pun belum bisa diterima seutuhnya, karena masih terganjal izin dari pemerintah, karena masuk katagori alat kesehatan yang tentunya butuh sertifikasi khusus lebih lanjut.
Kemudian yang juga cukup kerusial, ketika data Kesehatan dikelola yang tadinya personal menjadi publik, tentu akan menyinggung soal bagaimana keamanan data itu terjaga.
Hal ini tidak bisa diabaikan, data kesehatan merupakan ranah privasi setiap orang. Bagaimana konsep penyimpanan data kesehatan masyarakat itu akan berlangsung, dan seperti apa protokolnya, “keamanan data kesehatan kita penting, jadi butuh proteksi dan ini tentu masih menunggu regulasi dari UU perlindungan data pribadi (PDP) yang sedang dikebut oleh pemerintah,” ungkap Teguh.
Memanfaatkan Potensi
Untuk memasyarakatkan wearable device, tentu bukan hal yang mudah tetapi positifnya berdasarkan tren perangkat ini sebenarnya sudah mulai menjadi lifestyle masyarakat, khususnya bagi mereka generasi muda.
Namun untuk mempertajam taji perangkat wearable yang menunjang kesehatan masyarakat pun juga perlu diperkuat dengan endukasi agar manfaatnya bisa dirasakan secara luas. Berdasarkan survei Statista (2019) bahwa kebanyakan wearable device, khususnya smartwatch dikenakan oleh mereka yang berada di umur 25-44 (69%), diatasnya yaitu umur 55 tahun memakai tracker band/smartband.
“Menjadi menarik, berdasarkan survei ini mereka yang berada di umur 45 tahun keatas itu merupakan konsumen yang belum terendukasi, jadi mereka masih mengenakan jam tangan tradisional ketimbang smartwatch. Ini mungkin karena mereka belum mengetahui secara baik manfaat teknologi dari jam tangan pintar. Padahal mereka itu memiliki buying power yang kuat,” jelasnya.
Baca juga: Catatan Akhir 2020: Pemerintah Gandeng Operator Internet Gratis, Solusi PJJ Terjawab?
Pemahaman ini juga perlu dibangung secara menyeluruh, pasalnya smart wearable device di tahun 2021 akan tumbuh potensial, karena setiap tahunya perangkat cerdas ini tumbuh 30 persen, apalagi 2021 yang diperkirakan akan ada 30 juta smartphone baru akan diluncurkan dengan didampingi wearable sebagai perangkat IoT yang terbubung, tentunya hal ini menjadi nilai penting bagi penetrasi perangkat smartband dan smartwatch semakin tinggi di tanah air.
Hal yang perlu direspon juga, penghujung tahun 2020 pemerintah melalui Badan Aksesibiitas Telekomunikasi dan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (BAKTI Kominfo) telah berhasil menyediakan akses internet untuk mendukung fasyankes di 3.126 Puskesmas dan rumah sakit, melalui anggaran Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN).
Ketersediaan akses internet di fasyankes ini memang ditujukan untuk mendukung program-program kesehatan masyarakat jangka panjang melalui peningkatan layanan kesehatan melalui jalur teknologi, seperti telemedicine contohnya.