Jakarta –

Antrean panjang di gerai pertama Subway Indonesia, Cilandak Town Square, Jakarta Selatan, sempat membuat store ditutup sementara. Banyak warga rela mengantre berjam-jam demi seporsi roti isi asal Amerika Serikat.

Psikolog klinis Anastasia Sari Dewi, founder dari pusat konsultasi Anastasia and Associate tak heran jika peminat Subway bisa begitu tinggi. Terlebih, di tengah pandemi beberapa di antara mereka mungkin tidak bisa menikmati Subway karena perjalanan ke luar negeri terbatas.

Namun, apakah ini termasuk fear of missing out (FOMO)?

Tidak juga. Menurut Anastasia, kecenderungan FOMO bisa dilihat dari motivasi setiap orang dan perilakunya saat membeli sesuatu.

“Seseorang bisa dibilang FOMO saat dia sebenarnya nggak begitu kepengen dengan barangnya entah itu makanan, benda apapun, dia sebenarnya nggak terlalu minat dengan barangnya,” jelas Anastasia saat dihubungi detikcom Jumat (15/10/2021).

“Tapi ada tujuan atau motivasi lain dia membeli hal tersebut, yaitu ingin ditampilkan ke dunia luar, dibagikan ke teman-teman sekitarnya, diceritakan ke sana sini,” sambungnya.

Cuma buat diposting di medsos

FOMO juga ditandai dengan orang yang memang hanya memiliki tujuan untuk mengunggah apa yang dibeli, dengan keinginan mendapat perhatian banyak orang. Di sisi lain, ada rasa cemas saat dirinya tidak merasakan apa yang dialami orang lain, hanya karena sedang ‘ngetren’.

“Merasa pintar mungkin karena memberikan informasi saat ini yang sedang ramai diperbincangkan, tidak mau kalah mungkin dengan teman lainnya yang sudah pernah ngerasain,” kata Anastasia.

“Dan juga seperti ada kecemasan apabila dia tidak langsung mengalami apa yang dialami oleh orang lain nah ini bisa dikatakan sebagai FOMO,” pungkas dia.

Seseorang yang tidak masuk kategori FOMO adalah mereka yang memang menyukai barang tersebut, dan sudah menginginkannya sejak lama. Misalnya, memang ngidam Subway dari jauh-jauh hari karena tidak bisa ke luar negeri imbas pandemi.