Anak-anak Juga Bisa Kena Long COVID, Ini Gejalanya Menurut IDAI

Jakarta –
Selain angka kematian COVID-19 anak cukup tinggi, Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr dr Aman Bhakti Pulungan, SpA(K), FAAP mewanti-wanti risiko Long COVID pada anak.
Berdasarkan sejumlah laporan di beberapa negara, anak yang terinfeksi COVID-19 mengalami gangguan tidur hingga kerap merasa lemas dan akhirnya tidak bisa sekolah. Risiko serupa mengintai anak Indonesia karena kasus COVID-19 anak cukup tinggi, yaitu sekitar 250 ribu kasus.
“Anak kita terinfeksi, kita tidak periksa, ini sudah kejadian di India dan di kita, terjadi Long COVID-19 nggak bisa tidur, lemas, nyeri otot, nggak bisa konsentrasi, sesak, akhirnya nggak bisa sekolah, akhirnya dimarah-marahin ini anak, ternyata dia Long COVID-19,” beber Dr Aman dalam konferensi pers Rabu (30/6/2021).
“Kita tidak tahu dia long COVID-19 kenapa, karena dia tidak di-testing waktu sakit dia hanya dia antigen, antigennya negatif, ada banyak keluarga sekarang saya tahu hanya satu orang yang di-PCR, setelah itu mereka diisolasi,” sambungnya.
Minimnya testing COVID-19 pada anak ditegaskan Aman tak bisa menggambarkan kasus COVID-19 yang sebenarnya terjadi. Catatan COVID-19 anak yang diterima IDAI masih berada di sekitar 170 ribu kasus, jauh dari perkiraan, lantaran banyak dinas kesehatan yang dinilai Aman hanya melakukan tes Corona swab antigen.
“Kalau 12,5 persen dari kasus COVID-19 saat ini, berarti ada 250 ribu-an kasusnya anak, tapi data IDAI ini cuma 170-an. Berarti apa? Karena datanya ini diirit-irit dan adapula Dinkes yang tidak bisa kita minta datanya,” ungkapnya.
Studi dari sebuah RS di Italia mengungkap 52,7 persen kasus COVID-19 anak mengalami gejala yang persisten hingga 120 hari pasca terpapar. Ada lima anak di rentang 9 hingga 15 tahun mengalami gejala berikut 6 hingga 8 bulan.
- Fatigue
- Dyspnea
- Kesulitan konsentrasi
- Kesulitan kembali ke sekolah
“Dinkes ini, mereka ini datanya tidak transparan dan irit-irit testingnya, terutama pada anak, ini yang menjadi masalah. Akhirnya kita dapat kasusnya yang paling tinggi di dunia,” lanjut dia.
“Saya bisa mengatakan ketidakmerataan inilah yang membuat kita tidak pernah selesai dari pandemi ini,” katanya.