Alasan Warga Korsel Ogah Punya Anak, Takut Gagal Jadi Ortu yang ‘Sempurna’

Jakarta

Korea Selatan saat ini tengah menghadapi masalah depopulasi atau krisis populasi. Tingkat kesuburan di negara ini diperkirakan anjlok ke rekor terendah di angka 0,78 kelahiran pada tahun 2022.

Data lain juga menunjukkan terjadinya penurunan angka kelahiran 8,4 persen di Korea Selatan. Jumlah tersebut menurun dari 20.645 di Oktober 2022, menjadi 18.904 kelahiran pada Oktober 2023.

Para ahli mencatat bahwa akar dari permasalahan tren ini tidak hanya sekedar soal masalah biaya yang besar untuk membangun sebuah keluarga. Profesor psikologi dari Korea University Heo Ji-won berpendapat bahwa permasalahan sesungguhnya terlalu disederhanakan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia mengungkapkan ada faktor psikologis dan sosial yang mempengaruhi banyak anak muda enggan untuk memiliki anak. Salah satunya, kekhawatiran tak mampu menjadi orang tua yang baik dan sempurna.

Ji-won menambahkan tantangan yang dihadapi anak muda di Korsel saat ini begitu besar untuk dihadapi secara individu. Tekanan akademis, sulitnya mendapatkan pekerjaan, melonjaknya biaya perumahan, merupakan contoh dari tekanan yang membebani warga Korsel berusia 20an hingga 30an.

“Pemuda Korea telah menghabiskan sumber daya psikologisnya akan menghindari memiliki anak dan khawatir bahwa mereka tidak akan menjadi orang tua yang cukup baik,” kata Ji-won dikutip dari The Chosun Daily, Jumat (2/2/2024).

Ia menekankan perubahan paradigma diperlukan untuk menyelesaikan krisis angka kelahiran yang rendah di Korsel. Ia menyerukan untuk mengabaikan kebutuhan untuk menjadi orang tua yang sempurna. Ji-won berpendapat menjadi orang tua yang ‘cukup baik’ saja sudah cukup.

Ji-won menuturkan sekitar seperempat hingga sepertiga orang di generasi muda memiliki masalah kesehatan mental. Kelompok ini menurutnya memiliki ketakutan besar kesehatan mental mereka tidak cukup stabil untuk memulai sebuah keluarga dan membesarkan anak.

“Pada saat yang sama, kaum muda menjunjung standar yang sangat tinggi dan sering kali mengejar kesempurnaan. Pertanyaan seperti ‘Apakah saya orang baik?’, ‘Apakah saya akan menjadi orang tua yang baik?’ berkontribusi pada rendahnya angka kelahiran,” kata Ji-won.

“Mereka merasa tidak cukup baik untuk membesarkan anak, jadi mereka menunggu sampai mereka merasa siap. Namun menunggu ‘waktu yang tepat’ sering kali merupakan ilusi yang berakar pada upaya mengejar kesempurnaan,” sambungnya.

Ji-won menekankan generasi muda tidak boleh disalahkan karena mengambil keputusan tersebut. Bertentangan dengan persepsi umum, penelitian menunjukkan generasi muda justru lebih altruistik dan lebih tidak egois.

Ia menuturkan generasi muda dibesarkan dengan pendidikan hak asasi manusia dan empati yang membuat mereka lebih memperhatikan orang lain. Pola pikir ini juga berlaku pada anak-anak yang belum lahir, hingga mereka sangat berhati-hati.

Terima kasih telah membaca artikel

Alasan Warga Korsel Ogah Punya Anak, Takut Gagal Jadi Ortu yang ‘Sempurna’