
Ahmad Al Neama dan Jurus Rebound Indosat Ooredoo

Jakarta, – Dalam RUPS yang digelar pada 3 Mei 2019, Indosat Ooredoo resmi mengumumkan perubahan jajaran pimpinan perusahaan. Ahmad Abdulaziz Al Neama ditunjuk sebagai Chief Executive Officer (CEO) menggantikan Chris Kanter yang kembali mengisi pos komisaris perusahaan.
Sejatinya, Ahmad Al Neama bukan sosok baru di Indosat Ooredoo. Sebelumnya, pria kelahiran 1983 ini, merupakan salah satu anggota dewan komisaris. Namun ia sudah bersama Ooredoo Group sejak 2010. Berkarir di grup perusahaan telekomunikasi yang berbasis di Qatar itu, karir Ahmad terbilang moncer. Berbagai posisi strategis pernah ia duduki.
Diantaranya Chief Technology & Information Officer (CTO) di Ooredoo Group pada 2017. Chief Sales & Service Officer Ooredoo Qatar pada 2015. Ia juga pernah memangku jabatan sebagai Dewan Direksi Ooredoo Oman, Myanmar dan Tunisia.
Mengacu pada perjalanan karir tersebut, rekam jejak Ahmad Al Neama sudah tidak diragukan lagi. Terbukti dengan kemampuan Ahmad dalam hal pengelolaan yang efektif, kemampuan memimpin tim, pengelolaan proyek, serta pengembangan bisnis dan strategi.
Dengan usia yang masih terbilang muda untuk ukuran CEO, kehadiran Ahmad di Indosat Ooredoo sejalan dengan tren operator selular yang tengah bertransformasi. Berkembangnya teknologi digital saat ini. Sehingga membutuhkan CEO yang energik dan visioner.
Pada lingkup yang lebih luas, era digital menjadikan operator selular memiliki peran vital dalam mendukung rencana strategis nasional. Diantaranya membangun infrastruktur telekomunikasi ke seluruh wilayah, meningkatkan penetrasi layanan broadband dan digital ekonomi, serta mendorong pertumbuhan inovasi digital kreatif yang mendorong kemajuan bangsa.
Meski demikian, menjadi nahkoda Indosat, bukan perkara mudah bagi Ahmad. Pasalnya, sejak beberapa tahun terakhir industri selular di tanah air terus mengalami tekanan. Banyaknya pemain membuat ruang bertumbuh menjadi terbatas. Namun di sisi lain, perusahaan harus terus mengalokasikan dana besar, terutama dalam investasi jaringan agar bisa tetap competitive.
Tekanan terhadap operator mencapai puncaknya pada 2018. Seluruh operator telekomunikasi mengalami penurunan pendapatan, sehingga menyebabkan negative growth sebesar 6,4%. Ini adalah kali pertama, industri selular tumbuh minus. Padahal pada 2016 masih tumbuh 10% . Begitupun pada 2017 yang tumbuh 9%.
Kondisi tersebut terjadi sebagai dampak dari tiga persoalan utama. Pertama, kebijakan registrasi prabayar yang membuat jumlah pengguna menciut drastis. Kedua, menurunnya penggunaan legacy service (SMS dan voice) akibat peralihan pengguna ke OTT. Ketiga, perang tarif khususnya data yang tak kunjung usai yang membuat margin anjlok, alih-alih meraih laba.
Imbas dari tiga faktor tersebut, terutama akibat program registrasi prabayar, membuat kinerja operator menurun. Tak terkecuali operator tiga besar (the big three) – XL Axiata, Indosat Ooredoo, dan Telkomsel. XL Axiata misalnya, mencatat rugi bersih Rp 3,3 triliun di akhir 2018. Padahal Anak perusahaan Axiata Malaysia itu masih meraih laba Rp 375,2 miliar pada 2017.
Sementara bagi Telkomsel, meski masih mendulang laba sebesar Rp 25,5 triliun, namun pertumbuhannya terpangkas dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2018, pendapatan anak perusahaan PT Telkom itu sebesar Rp 89,3 triliun. Turun 4,18% dibandingkan dengan 2017 senilai Rp 93,2 triliun.
Namun dibandingkan XL Axiata dan Telkomsel, kinerja Indosat terlihat paling terpukul. Lembaga keuangan internasional Moody, melaporkan bahwa pendapatan operator yang identik dengan warna kuning itu, sepanjang 2018 anjlok hingga 23% tahun-ke-tahun (YoY) menjadi Rp23,1 triliun (US$ 1,64 miliar). Hal itu terutama disebabkan oleh menurunnya pendapatan hingga 26% dalam bisnis selular, karena terus menciutnya kontribusi dari layanan dasar (suara dan SMS).
Menyusul kebijakan registrasi SIM prabayar yang diwajibkan oleh pemerintah, basis pelanggan Indosat juga amblas sebesar 47% menjadi 58 juta pada akhir 2018. Padahal tahun sebelumnya, perusahaan mengklaim memiliki 110 juta sambungan selular. Parameter kesehatan perusahaan lain, yakni ARPU juga turun sebesar 8% menjadi Rp18.700 pada periode yang sama.
Dengan berbagai indikator yang menurun, Indosat tak kuasa menahan kerugian. Tak tanggung-tanggung, besarnya mencapai Rp2,4 triliun di akhir 2018. Padahal dua tahun sebelumnya (2017 dan 2016), Indosat masih mencetak laba. Yaitu Rp1,13 triliun dan Rp1,10 triliun. Pada tahun-tahun sebelumnya, kinerja Indosat juga turun naik. Masing-masing laba Rp1,1 triliun (2011), laba Rp 0,5 triliun (2012), rugi Rp2,7 triliun (2013), rugi Rp1,8 triliun (2014), dan kembali rugi Rp1,2 triliun (2015).
Turn Around
Untuk mengubah bandul dari kerugian menjadi keuntungan, tak ada pilihan lain bagi manajemen Indosat untuk menerapkan stratregi turn around. Upaya perbaikan kinerja perusahaan disampaikan langsung oleh Ahmad Al-Neama pada acara Kumpul Media Nasional di Solo, Jawa Tengah, pada pertengahan Desember 2019.
Dalam paparannya, pria yang pernah mengenyam pendidikan di Colorado University – Denver (AS) itu, mengakui bahwa 2019 merupakan tahun yang sangat menantang bagi operator telekomunikasi di Indonesia.
Demi mengejar pertumbuhan, pihaknya telah menyiapkan sejumlah strategi yang dilakukan secara berkesinambungan dalam tiga tahun ke depan. Strategi itu mencakup berbagai aspek yang mendorong growth engines maupun enablers.
Dari sisi network, Indosat akan melanjutkan pembangunan jaringan selular yang semakin berkualitas, guna mencapai level video mobile mumpuni yang diyakini akan menjadi poin penting dalam kompetisi di era digital.
Dari sisi konsumen, Indosat akan terus fokus memberikan nilai lebih dalam produk yang akan diluncurkan agar dapat meningkatkan kepercayaan pelanggan. Indosat pun akan lebih agresif dalam layanan B2B, yang akan menjadi mesin pertumbuhan lain.
Untuk mendukung program-program strategis yang telah disusun tersebut, perusahaan menyiapkan dana Capex selama tiga tahun sebesar USD 2 miliar atau sekitar Rp 30 Triliun selama periode 2019-2021.
Semua itu dibarengi dengan peningkatan efisiensi, baik dari sisi Opex maupun Capex, tanpa mengurangi produktifitas. Perusahaan juga memberikan kesempatan lebih banyak kepada masing-masing regional untuk melakukan ekskusi bisnis sesuai dengan kesempatan dan kapasitas yang dimiliki.
Program lain yang tak kalah penting adalah reorganisasi perusahaan. Sebanyak 16% tenaga kerja dipangkas sebagai bagian dari perubahan strategi yang dirancang untuk mengatasi lingkungan yang lebih kompetitif di industri selular.
Pada 2017, Indosat masih memiliki 4.392 karyawan. Lewat program perampingan, jumlahnya karyawan Indosat kini menyusut menjadi 3.700. Sebenarnya jumlahnya masih terbilang gemuk. Pesaing terdekat XL Axiata hanya memiliki 1.700 karyawan dari sebelumnya 1.892 pada 2016.
Ahmad Al-Neama mengatakan bahwa pengurangan staf adalah bagian dari reorganisasi alokasi sumber daya untuk meningkatkan daya saing perusahaan. Langkah rasionalisasi tak bisa dihindarkan, karena pihaknya tengah menjalankan tiga perubahan vital terhadap bisnis Indosat Ooredoo.
Pertama: memperkuat tim regional agar lebih cepat mengambil keputusan dan lebih dekat dengan pelanggan. Kedua: mengalihkan penanganan jaringan (managed service) ke pihak ketiga. Ketiga: rightsizing organisasi, menambah SDM untuk meningkatkan daya saing, serta merampingkan SDM di beberapa fungsi bisnis yang tak lagi vital.
Revitalisasi organisasi perusahaan memang menjadi salah satu agenda penting Indosat Ooredoo. Data GSMA Intelligence menunjukkan, hingga akhir 2019, Indosat memiliki 59,2 juta pelanggan. Terpangkas hampir setengah dari jumlah pelanggan sebelum diberlakukannya kewajiban registrasi prabayar pada 2018.
Namun seiring dengan pergeseran pola komunikasi di masyarakat, lebih dari 64% pelanggan tersebut telah menggunakan jaringan 4G. Hal ini menunjukkan program modernisasi jaringan yang dilakukan perusahaan sejak 2015 berjalan baik.
Seperti operator lain, Indosat memang harus bergerak cepat dalam memenangkan pertempuran di era data. Berkembangnya ekosistem digital karena meningkatnya populasi smartphone dan gaya hidup berbasis aplikasi, sesungguhnya memberikan peluang bagi operator untuk menggarap new business.
Jumlah pengguna data yang terus melonjak setiap tahunnya, diyakini akan menjadi penopang pertumbuhan operator setelah revenue dari basic service terus menurun. Terutama karena migrasi pengguna ke layanan milik OTT.
Coverage 4G
Seperti sudah disinggung di atas, demi mengejar pertumbuhan tak ada pilihan lain bagi Indosat untuk memperluas infrastruktur 4G sebagai sarana bersaing dengan operator lain.
Setelah bertahun-tahun kekurangan belanja investasi, operator yang pernah listing di bursa saham New York itu, secara signifikan meningkatkan anggaran belanja modal untuk periode 2019-2021 menjadi Rp 30 triliun. Capex sebesar itu digunakan untuk memperluas cakupan 4G di luar pulau Jawa yang memiliki potensi revenue lebih baik, karena kompetisi yang tidak terlalu ketat.
Demi mendapatkan tambahan Capex, Indosat rela melepas tower yang dimilikinya. Pada Oktober 2019, Indosat menjual 3.100 menara. Sebanyak 2.100 ke PT. Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) yang tak lain adalah anak perusahaan dari PT Telkom.
Sedangkan 1.000 menara dijual ke PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo). Dari penjualan menara tersebut, diketahui Indosat mengantongi Rp6,39 triliun.
Sebelumnya, pada Februari 2012, Indosat telah menjual sebanyak 2.500 BTS kepada Tower Bersama Infrastructure dan anak perusahaannya Solusi Menara Indonesia. Nilai penjualan tower itu mencapai Rp4,76 triliun
Dukungan capex yang melimpah, pada akhirnya membuat Indosat lebih dalam agresif membangun BTS. Tercatat pada akhir 2019, jumlah BTS 4G yang dioperasikan Indosat sebanyak 48.048 BTS. Hal itu menunjukkan Indosat Ooredoo telah menggelar jaringan 4G secara intensif, mengembangkan cakupan populasi 4G dari hanya sebesar 44% pada akhir 2017 hingga mencapai hampir 90% pada 2019.
Meski telah meningkat secara signifikan, namun laju pembangunan BTS 4G terus berlanjut pada 2020. Hingga kuartal III/2020, Indosat Ooredoo sudah membangun 59.969 BTS 4G.
Massifnya pembangunan BTS 4G terbukti berkontribusi terhadap peningkatan basis pelanggan dan volume trafik data perusahaan, sehingga berujung pada peningkatan kinerja. Tercatat sepanjang 2019, perusahaan mampu membukukan laba bersih sebesar Rp 1,57 triliun, atau melonjak hampir Rp 4 triliun dari posisi tahun sebelumnya, yakni rugi Rp 2,4 triliun.
Momentum pertumbuhan tersebut berlanjut, di mana perusahaan mencatatkan kinerja usaha tahunan yang kokoh per 31 Desember 2020. Total pendapatan tumbuh sebesar 6.9% (YoY) menjadi Rp27,9 triliun dan pendapatan seluler meningkat 11,6% (YoY) menjadi Rp23,1 triliun.
EBITDA meningkat 16% YoY mencapai Rp11,4 triliun, akibat pertumbuhan pendapatan yang baik serta fokus perusahaan atas efisiensi operasional. Marjin EBITDA tercatat sebesar 40.9%, tumbuh sebesar 3.2 bps dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Jumlah pelanggan selular naik 1.7% YoY menjadi 60,3 juta pelangan per akhir tahun 2020. Pendapatan rata-rata per Pelanggan (ARPU) meningkat menjadi Rp31,9 ribu dari sebelumnya Rp27,9 ribu, didorong oleh peningkatan trafik data yang signifikan sebesar 52.8% YoY.
Selain itu, Indosat Ooredoo juga membukukan kinerja operasional yang kuat dengan meningkatkan pengalaman video sebanyak 55,8% YoY, meningkatkan kecepatan 4G hingga dua kali lipat, dan secara signifikan meningkatkan kecepatan unggah hingga 88,4% YoY.
Peningkatan jumlah pelanggan dan ARPU menunjukkan bahwa investasi jaringan, inisiatif digital, dan penawaran ke pelanggan telah memberikan hasil yang menguntungkan.
Di pasar di mana sebagian besar operator menawarkan proposisi unlimited, Indosat Ooredoo telah berhasil mempertahankan momentum pertumbuhan dengan pengalaman jaringan yang lebih baik dan harga yang terjangkau. Saat ini kondisi ekonomi nasional memang masih terbilang lesu, imbas mewabahnya covid-19. Namun hal itu tidak menghalangi Indosat mencetak rebound.
Pencapaian kinerja perusahaan dalam dua tahun terakhir, menunjukkan strategi turn around yang diusung oleh Ahmad Al-Neama telah berhasil mengembalikan Indosat Ooredoo ke dalam jalur pertumbuhan. Hal ini merupakan modal berharga bagi perusahaan di tengah persaingan yang semakin ketat.
Good Job Pak Ahmad.
Ahmad Al Neama dan Jurus Rebound Indosat Ooredoo
