Terpopuler: Sujud ‘Freestyle’ ala Free Fire, Meresahkan dan Berisiko Fatal

Jakarta –
Tren sujud ‘freestyle’ yang viral baru-baru ini bikin resah banyak orang. Gerakan ekstrem ini sangat berisiko dan dilakukan oleh anak-anak saat beribadah.
Sujud ‘freestyle’ yang dimaksud adalah gerakan handstand, atau tepatnya chinstand, yang disebut-sebut terinspirasi salah satu emoji dalam game online Free Fire. Dalam gerakan ini, lengan dan pergelangan tangan menjadi tumpuan berat badan.
Bila dilakukan oleh seseorang yang tidak terlatih dan dengan teknik yang salah, risikonya fatal. Mulai dari patah tulang, hingga gegar otak.
Ketika dilakukan oleh anak-anak, risikonya jadi lebih besar. Dokter ortopedi dari Royal Sport Medicine Center, dr Bobby Nelwan SpOT(K-Sport) menyebut struktur tulang dan persendian anak berbeda dan lebih rentan cedera.
“Ada perbedaan kondisi tulang pada anak-anak dan dewasa termasuk itu potensi patah dan lepas sendi atau dislokasi. Pada anak-anak tulangnya relatif tipis, lebih kecil dibandingkan pada orang dewasa sehingga pada anak-anak lebih mudah patah dibandingkan orang dewasa,” jelas dr Bobby saat dihubungi detikcom Selasa (20/4/2021).
Beberapa orang juga mengaitkan gerakan ini dengan gerakan dalam olahraga. Faktanya, gerakan chinstand memang dikenal dalam berbagai jenis olahraga kebugaran mulai dari yoga, breakdance, hingga gymnastic.
Meski begitu, tidak serta merta bisa diartikan gerakan ini aman untuk dilakukan sembarangan. Instruktur yoga Astrid Amalia mengingatkan, gerakan yang mirip peacock pose atau mayurasana dalam yoga ini punya tingkat kesulitan tinggi, tidak semua orang bisa dan perlu melakukannya.
“Sangat advance dan sangat berbahaya. Kenapa? Yoga sendiri sebetulnya bukan mengajarkan kehebatan, tapi lebih kepada awareness meditasi bernapas,” kata Astrid.
Salah siapa jika anak-anak banyak yang mengikuti tren berbahaya ini? Menurut psikolog klinis Rosdiana Setyaningrum , pada dasarnya perilaku anak adalah cerminan dari lingkungan di sekitarnya. Karenanya, orang tua wajib memberikan pendampingan pada anaknya, termasuk saat main game online.
Menurut Diana, sapaan akrabnya, anak-anak belum punya kemampuan berpikir sebab-akibat. Mengingatkan dan mengarahkan akan lebih solutif dibandingkan mengolok-olok dan menyalahkan.
“Anak-anak itu melakukan karena mereka tidak tahu kalau itu berbahaya, karena tidak ada yang kasih tahu. Sedangkan yang mem-bully tahu, jadi yang bully yang salah dong? Nggak pernah ada cara ngomong ke anak-anak dengan bully. Itu pasti salah,” tegasnya.
(up/up)