
Segmen Premium: Pertahanan Terakhir Samsung di Indonesia

Jakarta, – Seorang teman yang bekerja di perusahaan distributor perangkat teknologi, mengabarkan kepada saya, bahwa belum lama ini ia telah mengganti smartphone-nya dengan Samsung Galaxy S21. Sebelumnya ia menggunakan Huawei P30. Sebagai pencinta Huawei, sebenarnya ia berniat mengganti dengan P40. Smartphone flagship Huawei terbaru itu menawarkan kemampuan di atas rata-rata pesaingnya. Namun dengan harga yang masih terbilang kompetitif.
Sayangnya, absennya berbagai layanan android besutan Google, karena sanksi AS yang dijatuhkan kepada Huawei sejak 2018, memaksa sang teman membuat keputusan berbeda. Sempat terpikir untuk beralih ke iPhone 12. Namun karena ia bukan Apple Fan Boy, maka Samsung menjadi pilihan yang paling “masuk akal”.
Menurutnya, dengan pilihan yang terbatas, seri S21 yang merupakan flagship terbaru dari Samsung, menawarkan kuallitas, fitur dan performa yang sebanding dengan Huawei P40. Itu sebabnya, ia tak ragu membeli S21. Apalagi sebelum beralih ke Huawei, ia lama menggunakan Samsung.
Persepsi terhadap kualitas (perceive quality), memang menjadi salah satu faktor penting dalam pengambilan keputusan. Terutama dalam membeli produk high end, seperti yang ditunjukkan oleh teman saya itu saat membeli Galaxy S21.
Dengan harga yang terbilang mahal, lebih dari 12 juta, kalangan ini cenderung mengutamakan aspek ketahanan, inovasi produk, dan layanan after sales yang siap membantu jika terjadi kerusakan. Sisi lain yang tak kalah penting adalah menyangkut emotional value. Membeli produk mahal dianggap sebagai satu kredit tersendiri. Dengan harga di atas rata-rata, smartphone mahal juga menjadi bagian dari fashion statement pemiliknya.
Pasar smartphone segmen premium sesungguhnya tidak terlalu besar. Berkisar 15% – 20%. Namun meningkatnya daya beli sebagian konsumen Indonesia, membuat segmen premium kini juga menjadi incaran vendor-vendor smartphone. Selain Huawei, dua brand-brand asal China, Oppo dan Vivo juga terus berusaha meningkatkan brand value sekaligus pangsa pasar.
Meski pesaing-pesaing terus bermunculan, persepsi terhadap kualitas hingga hari ini masih melekat terhadap Samsung. Hal ini salah satunya berkat inovasi teknologi yang selalu dimunculkan, membuat Samsung berada beberapa langkah di depan pesaing. Bahkan beberapa diantara inovasi yang diperkenalkan Samsung berhasil menjadi tren dan diikuti oleh merek lain. Sebut saja teknologi Iris Scanner, Face Recognition, Curved Screen, Multi Windows, Dual Recordings, Heart Rate Sensor, hingga Signal Max.
Untuk memperkuat persepsi terhadap kualitas itu, Samsung juga rajin membangun experience center di banyak kota di Indonesia. Dengan adanya experience center, pengguna dapat menjajal teknologi terbaru yang ditawarkan Samsung.
Persepsi terhadap kualitas yang dimiliki Samsung, juga tak bisa dilepaskan dari predikat yang disematkan lembaga-lembaga terkemuka dunia. Forbes misalnya, menempatkan Samsung sebagai perusahaan terbaik di dunia pada 2020. Mengungguli Amazon, IBM dan Microsoft
Seperti Forbes, pada Juli 2020, Campaign Asia-Pacific dan Nielsen juga merilis laporan terkait 1.000 merek paling populer di Asia. Selama sembilan tahun berturut-turut Samsung menempati posisi pertama sejak 2012. Menggenapi posisi Samsung di lima besar, terdapat Apple, Panasonic, LG Electronics dan Nestle.
Galaxy S21
Tak dapat dipungkiri, kebijakan pembatasan terhadap Huawei, semakin memperkuat posisi Samsung di segmen premium. Sebelum sanksi yang dijatuhkan AS, Huawei menjadi kuda hitam yang sangat diperhitungkan karena dua varian mereka mampu mencuri perhatian konsumen global, yaitu P dan Mate Series. Keberhasilan dua varian itu bahkan memberi tiket bagi Huawei menyegel posisi dua besar dalam daftar vendor smartphone global sepanjang 2016 – 2018.
Didukung oleh inovasi produk dan momentum penjualan yang sangat bagus, membuat Huawei bernafsu mengkudeta Samsung sebagai vendor nomor satu dunia pada 2019. Sayang, sanksi AS menjadi bencana yang memutarbalikkan keberuntungan Huawei. Alih-alih menggusur Samsung, vendor yang berbasis di Shenzhen itu, melorot ke posisi tiga besar vendor smartphone dunia.
Menurut laporan Counterpoint, lima besar vendor smartphone pada Q4-2020 dihuni oleh Samsung (19%), Apple (15%), Huawei (14%), Xiaomi (11%), dan Oppo (8%). Dengan tekanan AS yang tak berkurang, Huawei diprediksi oleh lembaga riset DigiTimes akan terlempar dari posisi lima besar pada tahun ini.
Sebaliknya, keberhasilan Samsung mempertahankan posisi teratas, menunjukkan chaebol Korea itu telah rebound, meski permintaan pasar melemah karena pandemi corona. Sebelumnya menurut laporan GSM Arena, Samsung menargetkan dapat mengirimkan 300 juta unit ponsel pada 2020. Raksasa Korea itu, diprediksi hanya mampu mencapai 270 juta pengiriman.
Meski tidak mampu mencapai target penjualan, namun Samsung optimis permintaan akan kembali pulih, seiring dengan permintaan yang mulai meningkat. Itu sebabnya Samsung mempercepat peluncuran smartphone terbaru yang menjadi andalannya Galaxy S21 pada Februari 2021. Sebulan lebih awal dari yang dijadwalkan.
Waktu peluncuran yang lebih cepat itu, bertujuan untuk mencuri pangsa pasar Huawei, sekaligus menangkis persaingan dari Apple. Padahal biasanya Samsung meluncurkan seri premium tidak di awal tahun. Tengok saja flagship generasi sebelumnya, S20 diluncurkan pada awal Maret 2020.
Faktanya, jadwal peluncuran yang dipercepat membantu penjualan trio Galaxy S21. Menurut data dari Strategy Analytics, seri Samsung Galaxy S21 laku keras di AS. Model S21 telah terjual tiga kali lebih banyak dari seri S20 tahun lalu selama bulan pertama sejak diluncurkan.
Kondisi yang sama juga terjadi di Inggris. Penjualan pre-order mencapai rekor baru. Begitupun dengan jumlah permintaan awal di Korea Selatan yang mengalahkan penjualan seri sebelumnya S20 sebesar 30%.
Dengan penjualan yang terbilang sangat baik, varian S21 bisa menjadi “jimat keberuntungan” bagi Samsung untuk mempertahankan dominasinya di pasar ponsel global. Meski demikian, upaya Samsung untuk mematahkan dominasi Apple di segmen premium masih belum terwujud hingga kini.
Menurut laporan Counterpoint Research, Samsung adalah vendor smartphone premium tersukses kedua di sebagian besar pasar di seluruh dunia sepanjang Q1 2020. Ponsel premium perusahaan menempati posisi kedua di Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa Barat dan Timur, kawasan APAC (tidak termasuk China), serta Timur Tengah dan Afrika.
Meski terus meningkatkan inovasi teknologi dan fitur-fitur teranyar dalam smartphone flaghsipnya, Samsung belum mampu menyalip Apple yang unggul di setiap wilayah. Samsung juga tidak termasuk dalam daftar 5 besar vendor smartphone premium di China.
Kajian Counterpoint, mengungkapkan Samsung hanya memiliki 19% pangsa pasar smartphone premium global pada Q1 2020. Apple memimpin segmen ini dengan pangsa 57%, dan Huawei di posisi ketiga dengan 12%. Counterpoint menambahkan, lima ponsel premium terlaris teratas dalam periode itu dikuasai oleh Apple. Hal itu menunjukkan hegemoni Apple sulit digoyang oleh vendor lainnya.
Pasar Indonesia
Berbeda dengan pasar global, di mana Samsung masih menjadi bayang-bayang Apple, di Indonesia untuk segmen premium, Samsung merupakan jawaranya.
Kendati mulai diusik brand-brand asal China, Samsung mengklaim menguasai 68% pasar smartphone premium di Indonesia sepanjang 2018. Hal itu diungkapkan Bernard Ang, IT & Mobile Business Vice President PT SEIN, di sela-sela acara peluncuran Samsung Galaxy S10 Series di Indonesia, di Jakarta, Rabu (6/3/2019). Bernard mengatakan, pasar smartphone Indonesia tumbuh 27% per tahun sejak 2009 – 2018.
“Jauh melebihi pasar, Samsung tumbuh 69% per tahun di Indonesia,” klaim Bernard.
Meski masih menguasai pasar premium, namun belakangan kinerja Samsung semakin melorot di pasar domestik. Menurut laporan IDC, sepanjang Q4-2020 posisi lima besar vendor smartphone Indonesia telah berubah total. Samsung yang sebelumnya masih berada di posisi pertama pada Q3-2019, kini tercecer di posisi lima. Padahal, Samsung sudah menjadi market leader di Indonesia sejak 2012.
Sesuai laporan IDC, berturut-turut posisi lima besar vendor smartphone pada Q4-2020 adalah Vivo (23,3%), Oppo (21,2%), Xiaomi (15,3%), Realme (10,6%), dan Samsung (13,5%).
Menurut IDC, demi menahan serangan dari vendor-vendor China, Samsung terus terus memperkuat posisinya di segmen ultra-low-end (<US$100) dan low-end (US$100<US$200). Tercatat seri A yang diluncurkan Samsung, menyumbang dua pertiga dari pengiriman vendor pada 2020.
IDC menyebutkan, dengan penjualan yang sangat baik, seri A menjadikan Samsung rebound di segmen ultra-low-end dan low end. Segmen ini sejak lama memang menjadi pertempuran paling keras, mengingat ceruk pasarnya yang sangat besar. Apalagi pandemi corona, membuat konsumen banyak beralih ke segmen smartphone dengan harga terjangkau, khususnya dalam mendukung aktifitas belajar anak sesuai metode pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Namun untuk memenangkan pertarungan di segmen ini, Samsung menghadapi banyak kompetitor. Seperti Realme yang terus mengandalkan penawaran produk kelas low-end dan inisiatif pemasaran digital yang agresif.
Di sisi lain, Samsung semakin kesulitan bersaing di pasar kategori mid-range (US$200<US$400). Di segmen ini, Samsung tak hanya keteteran menghadapi Vivo dan Oppo yang sudah terbilang sangat kuat, namun juga dengan Xiaomi. Vendor yang identik dengan harga murah itu, terus memperluas pangsa di segmen mid-range, lewat seri Redmi Note 9 Pro dan pengenalan merk Poco di semester kedua 2020.
Nah, berkaca pada laporan IDC pada Q4-2020, dapat disimpulkan pangsa pasar Samsung terus tergerogoti setiap tahunnya oleh para pesaing dari China. Ini merupakan tantangan yang tak ringan, karena momentum pasar bisa berubah dengan cepat.
Vendor yang berbasis di Seoul itu, kini hanya menjadi jawara di katagori premium. Itu merupakan pertahanan terakhir Samsung di Indonesia. Namun dengan agresifitas Oppo dan Vivo yang mulai getol bermain di segmen ini, tak ada jaminan bagi Samsung untuk terus mempertahankan dominasi di segmen premium pada tahun-tahun mendatang.
Segmen Premium: Pertahanan Terakhir Samsung di Indonesia
