
Pengamat: Aturan OTT Global, Perlu Perhatikan Potensi Praktik Persaingan Usaha Tidak Sehat

Jakarta, – Kehadiran regulasi yang mengatur bisnis layanan Over The Top (OTT) memang sudah mendesak, sifatnya yang ‘cair’ dan border less atau bisa dikerjakan atau dinikmati oleh siapa saja, membuat OTT ini menikmati keuntungan yang luar biasa besar.
Dalam hal pajak saja, para layanan OTT asing seperti tak tersentuh, sudah mendulang untung tapi tidak meninggalkan kontribusi apapun yang berarti bagi Indonesia, yang memang sudah selayaknya hal tersebut harus dipenuhi.
Nailul Huda, Ekonom sekaligus Peneliti Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menuturkan layanan OTT di Indonesia sejauh ini memang belum ada aturan rigid-nya. “Layanan OTT ini kan bisa dibilang border less, dan itu sebenarnya adalah sifat utama ekonomi digital, flexibility. Salah satu contohnya adalah layanan whatsapp yang kita pakai ini kan bisa digunakan di Eropa ataupun negara lainnya. Memang perubahan ini menimbulkan disrupsi, tapi tidak bisa ditentang karena perubahan teknologi merupakan keniscayaan,” terang Huda kepada , Rabu (3/2).
Baca juga: Mastel Dukung Pemerintah Mengatur Kewajiban Kerja Sama OTT dan Operator
Sekarang tinggal bagaimana pemerintah mendorong aturan OTT global ini tanpa mengganggu flexibility tadi. Jika mengaitkan dengan pajak, Indonesia sudah memiliki aturan tentang pajak untuk ekonomi digital, namun sejauh ini memang secara penerapannya masih menjadi pertanyaan.
“Ini karena pemerintah tidak punya akses untuk meminta data dari layanan OTT asing, dan bagaimana cara pemerintah memastikan platform OTT ini menyerahkan data yang benar. Sebagai contoh Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pemerintah tidak bisa memastikan pembayaran PPN oleh platform Video On Demand (VoD) sesuai dengan jumlah subscriber premium. Padahal masyarakat sudah ditarik PPN oleh platform tersebut. Tentu praktik ini jadi lebih merugikan masyarakat. Sudah bayar PPN namun tidak dibayarkan ke pemerintah. Jadi bisa jadi double kerugian apabila peraturan yang dibuat tidak menyentuh hal-hal teknis seperti itu,” ungkapnya.
Saat ini pemerintah juga sedang merampungkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) turunan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 Cipta Kerja sektor Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar), di mana salah satu poin utamanya mengatur operasional OTT di Tanah Air.
Dalam RPP terbaru ini, tepatnya pada Pasal 14 pemerintah mewajibkan seluruh pelaku usaha di Indonesia atau pelaku usaha asing, atau OTT global untuk melakukan kerja sama dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi.
Baca juga: Tata kelola OTT Harus Jadi Perhatian dalam Transformasi Digital
Huda dalam hal ini menilai, selain mengatur OTT global pemerintah dalam RPP Postelsiar juga perlu memperhatikan praktik-praktik yang berpotensi merugikan masyarakat.
Ia menceritakan dalam kerjasama penyediaan layanan OTT VoD dengan perusahaan telekomunikasi, jangan sampai nanti kerjasama malah menimbulkan praktik persaingan yang tidak sehat.
Bisa jadi nanti Youtube berkerjasama dengan jaringan TV A, nanti channel berita yang boleh tayang di Youtube hanya TV A, yang lainnya dipersulit. Atau jaringan telekomunikasi A kerjasama dengan platform Netflix nanti pelanggan telekomunikas A hanya bisa nonton film Netflix, sementara layanan lain seperti Disney Hotstar akan diblokir.
“Praktik-praktik seperti ini tidak boleh terjadi atas restu pemerintah di RPP Postelsiar yang baru. Praktik persaingan usaha yang saya jabarkan merupakan tantangan terbesar dari industri OTT VoD di Indonesia sebenarnya,” ungkapnya.
Menarik Investasi Baru
Sementara itu, RPP Postelsiar terbaru nyatanya juga perlu disambut baik, karena selain sebagai wujud keberpihakan pemerintah terhadap perusahaan lokal, tapi juga sejalan dengan spirit utama yang diusung UU Cipta Kerja karena dapat membuka peluang investasi baru kedepan bagi Indonesia.
Dihubungi dilain kesempatan, Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Golkar Bobby Adhityo Rizaldi mengapresiasi langkah tersebut, meskipun ada beberapa tantangan yang juga perlu diperhatikan.
Baca juga: Komisi I Dorong Pelibatan Pengembang Aplikasi Lokal
“Rancangan RPP terbaru bagus, dan memang masih ada sejumlah tantangan seperti undang-undang yang perlu di update dengan bentuk hybrid OTT, atau layanan yang mengunakan frekuensi telekomunikasi, tapi kontenya penyiaran dan lain sebagainya,” jelasnya.
Namun secara potensi pengaturan OTT asing ini memang sangat menguntungkan operator dan juga negara khususnya, dalam kerjasama OTT dan operator yang didorong saat ini melalui sewa jaringan, sewa kapasitas atau investasi langsung, sehingga diklaim dapat meningkatkan akselerasi dan peningkatan kualitas jaringan telekomunikasi di Indonesia.
Selain itu manfaat lainnya yang dapat dipetik pemerintah tentu akan mempermudah pemungutan PPh atau pajak transkasi OTT. Pasalnya, selama ini pemerintah kesulitan menjaring PPh dan pajak transaksi yang dilakukan OTT global.
Bobby juga menekankan dengan pasar pengguna yang sangat besar di Indonesia, tak dipungkiri juga bakal menjadi daya tarik investasi luar negeri, “termasuk di cluster ekonomi digital seperti OTT global ini, investasi yang masuk tentu akan lebih multiplier effect, seperti penciptaan lapangan pekerjaan, supply chain domestic dan lain sebagainya,” tandasnya.
Pengamat: Aturan OTT Global, Perlu Perhatikan Potensi Praktik Persaingan Usaha Tidak Sehat
