Catatan Akhir 2020: Menunggu Langkah Tegas Pemerintah Terhadap Operator BWA Tersisa

Jakarta, – Kemenkominfo telah melelang pita frekuensi radio 2,3 GHz selebar 30 Ghz. Frekwensi yang disebut-sebut dapat digunakan untuk menggelar jaringan 5G itu, sebelumnya dihuni oleh tiga operator Broadband Wireless Access (BWA) atau WiMAX. Masing-masing First Media (Sitra), Internux (Bolt) serta Jasnita Telekomindo.
Namun pemerintah telah mencabut izin frekuensi ke tiga operator BWA itu pada Desember 2018 lalu, karena lalai dalam melunasi BHP yang sudah menjadi kewajiban penyelenggara jaringan. Meski sempat menimbulkan polemik, Kominfo memutuskan tidak memperpanjang lisensi dan mengalihkannya kepada operator selular (GSM).
Dari hasil lelang tersebut, tiga operator yaitu Telkomsel, Smartfren dan Tri Indonesia, didaulat sebagai pemenang. Smartfren mendapatkan bagian blok A yang tersebar di delapan wilayah. Tri mendapat bagian blok C yang tersebar di sembilan wilayah. Sementara satu blok lainnya (Blok B) dimiliki oleh Telkomsel. Masing-masing operator mendapatkan alokasi sebesar 10 Mhz.
Lantas, berapa harga yang dibayar operator seluler untuk mendapatkan frekuensi 5G ini? Kominfo mengungkapkan bahwa harga lelang frekuensi 2,3 Ghz adalah Rp 144,8 miliar. Ketiga operator selular yang ditetapkan sebagai pemenang, menawarkan harga yang sama untuk mendapatkan frekuensi tersebut.
Harga ini lebih murah dari harga lelang frekuensi 2,3 Ghz pada 2017 lalu. Ketika itu, Kominfo menetapkan harga dasar Rp Rp 336,720 miliar. Telkomsel mengajukan harga penawaran tertinggi sebesar Rp 1,007 triliun. Dengan harga tersebut, anak perusahaan Pt Telkom itu mendapatkan tambahan spektrum 30 MHz sekaligus di pita 2,3 Ghz.
Kondisinya berbeda dengan lelang pada tahun ini. Pasalnya, alokasi frekuensi yang dilelang adalah 30 Mhz namun dibagi menjadi tiga blok. Di mana masing-masing operator hanya ‘dijatah’ 10 Mhz. Sehingga wajar jika harga yang dipatok pemerintah lebih rendah dari lelang sebelumnya.
Dengan dilelangnya frekwensi 2,3 Ghz bekas Sitra, Bolt dan Jasnita, menunjukkan bahwa operator BWA sulit untuk bisa berkompetisi dengan operator GSM. Padahal ketika pemerintah membuka lelang peluang usaha BWA 2.3 GHz di 15 zona pada 17 November 2009, setidaknya 8 perusahaan yang memenangkan tender. Namun kerasnya persaingan membuat mereka berguguran. Saat ini tersisa satu operator, yakni Berca Hardaya Perkasa (HiNet).
Meski masih mampu bertahan, pencapaian Berca terbilang rendah. Selama 10 tahun beroperasi pembangunan jaringan terbilang sangat minim. Padahal menurut catatan Mohammad Ridwan Effendi, Sekretaris Jenderal Pusat Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB, Berca menguasai pita selebar 30 Mhz di frekwensi 2,3 Ghz.
Dari 15 zona operator WiMax, perusahaan milik Murdaya Widyawimarta Poo (Poo Tjie Guan) menguasai 8 zona yang terdiri dari 21 provinsi dan 298 kabupaten kota. Namun kenyataannya yang di bangun Berca hanya di 8 kota saja selama 10 tahun.
Tak dapat dipungkiri, teknologi netral yang diberlakukan pemerintah pada 2014, membuat operator GSM dapat menggelar layanan 4G di seluruh Indonesia. Hal ini merupakan pukulan telak bagi operator BWA yang dibatasi zona.
Secara komersial, layanan mereka juga tak mampu bersaing dengan operator yang punya lisensi nasional. Ditambah lagi dengan kelangkaan device dan distribusi yang minim. Hal ini tentunya berdampak langsung pada pendapatan perusahaan yang tak sebanding dengan investasi yang telah dikeluarkan.
Melihat banyak perusahaan BWA 2.3 yang berguguran, Ridwan Effendi menilai bahwa penyelenggara BWA seperti Berca tidak layak diberikan perpanjangan izin penyelenggaraan telekomunikasi oleh Kominfo.
“Ini dapat dilihat dari banyaknya penyelenggara BWA 2.3 GHz yang mati, kalah bersaing dengan penyelenggara selular seperti Smartfren yang memiliki frekuensi sama di 2.3 GHz. Yang saat ini masih hidup pun capaian pembangunannya sangat minim,” jelas Ridwan.
Jika merujuk pada penjelasan Pasal 23 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No.53/2000, Berca seharusnya sudah tidak layak dipertahankan frekuensinya karena target pembangunannya tidak terpenuhi, sehingga tidak memberikan manfaat yang banyak kepada masyarakat.
Ridwan juga berpendapat bahwa saat ini adalah waktu yang pas bagi pemerintah untuk bertindak tegas dalam pengelolaan frekuensi yang merupakan sumber daya terbatas untuk mendukung penyelenggaraan broadband. Ia meminta pemerintah tidak memberikan perpanjangan izin bagi penyelenggara yang tidak dapat mendukung target pemerintah dalam pemerataan dan penyediaan jaringan broadband bagi masyarakat luas.
“Harusnya perusahaan yang tidak komit pada pembangunan jaringan tidak layak diperpanjang izinnya. Mereka tidak ingat kalau perusahaan telekomunikasi harus memiliki high capex dan high intensif. Dari komitmen pembangunan yang dibuat dan dengan kenyataannya, itu sudah cukup menjadikan bukti bahwa Berca tidak memiliki komitmen yang kuat untuk mendukung program pemerintah dalam penyediaan layanan telekomunikasi untuk masyarakat,” papar Ridwan.
Entah mengapa, Menkominfo Johnny G. Plate tidak bertidak tegas terhadap Berca. Padahal jika frekwensi milik Berca dikembalikan ke negara, Kominfo dapat meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari hasil lelang lagi bagi penyelenggaraan telekomunikasi selular.
Hasil lelang pada akhirnya juga akan bermanfaat untuk mendukung keuangan negara, mengingat saat ini Kementerian Keuangan tengah membutuhkan pemasukan. Baik itu dari pajak maupun PNBP untuk mendukung program pemerintah dalam membangun jaringan broadband ke seluruh wilayah Tanah Air.
Di sisi lain, dengan pemanfaatan yang terbatas, frekwensi yang dikuasai oleh Berca cenderung menjadi idle. Hal ini menjadi tidak fair. Pasalnya, akibat lonjakan trafik data banyak operator lain kedodoran dalam mempertahankan QoS (quality of service), karena terbatasnya frekwensi yang dimiliki. Jika sudah begini, seharusnya pemerintah tak bisa lagi tinggal diam. Karena jelas-jelas Berca sudah tidak mengindahkan ketentuan modern lisencing.