Mengapa Smartfren Wajib Merger dengan XL Axiata? Inilah Alasannya

– Sejak dicetuskan pertama kali oleh Menkominfo Budi Arie Setiadi pada Oktober tahun lalu, rencana merger Smartfren dan XL Axiata kini mulai memasuki babak baru.
Pada Rabu (15/5/2024), kedua induk perusahaan, Axiata Group dan Sinar Mas, telah melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MOU) tidak mengikat untuk menjajaki rencana merger antara XL Axiata dan Smartfren.
Dalam pernyataan resmi, rencana transaksi tersebut masih dalam tahap evaluasi awal, di mana kedua pihak memiliki tujuan untuk tetap menjadi pemegang saham pengendali dari MergeCo, nama perusahaan hasil merger kelak.
Pada saat ini, diskusi yang sedang berlangsung antara kedua belah pihak belum menghasilkan kesepakatan atau penyelesaian rencana transaksi yang mengikat.
Validasi terhadap penggabungan dan penciptaan nilai bagi pemegang saham, uji tuntas, persiapan rencana bisnis bersama dan kesepakatan atas persyaratan penting akan menjadi kegiatan utama yang dilakukan selama tahap penjajakan yang diatur dalam MOU.
Dengan tujuan untuk menjadi penyedia layanan telekomunikasi yang lebih kuat di Indonesia, usulan penggabungan usaha antara XL Axiata dan Smartfren diharapkan dapat menyatukan kekuatan kedua operator.
Baik penguasaan bisnis, kompetensi, keuangan dan keahlian telekomunikasi yang mendalam dari Axiata dan skala lokal serta pengetahuan pasar dari Sinar Mas untuk menghasilkan nilai sinergi yang signifikan.
Baca Juga: Baicells dan Smartfren for Business Kembangkan Solusi Private LTE dan 5G di Indonesia
CEO Axiata Group Vivek Sood memaparkan optimisme Axiata soal proses merger XL dan Smartfren. Menurutnya, proses merger selalu membutuhkan waktu agar kedua pihak bisa saling mengenali calon mitranya.
“Kami masih harus membicarakan detail soal pihak terkait dalam hal struktur kerja, nilai, sinergi, dan lain-lain,” kata Sood seperti Selular lansir dari The Star, Jumat (31/5/2024).
“Ini fase yang sedang dilalui, termasuk due diligence mempersiapkan struktur organisasi,” sambungnya.
Meski masih sebatas MOU – belum due diligence, artinya proses transaksi masih terbilang panjang, namun setidaknya rencana merger kedua operator selular yang telah berhembus lama, dapat menjadi titik terang bagi perkembangan industri telekomunikasi yang kini tengah memasuki masa-masa sulit.
Untuk diketahui, sektor telekomunikasi khususnya selular tidak sedang baik-baik saja. Padahal, sejak memasuki era 4G pada 2014, industri strategis ini telah menjadi penopang bagi tumbuhnya ekonomi digital di Indonesia.
Seiring dengan pertumbuhan jumlah pengguna internet yang sudah mencapai lebih dari 70% populasi, ekonomi digital Indonesia berpotensi mencapai Rp 4.000 triliun.
Sayangnya di saat ekonomi yang di-enabler tumbuh dahsyat, di saat platform yang ditumpangi oleh seluruh pengguna internet tumbuh bagus, tetapi ternyata operator telekomunikasi sedang merana.
Tercermin dari pertumbuhan yang kini menukik tajam, hanya berkisar 5% – 6% per tahun. Padahal dua dekade lalu, saat basic service (voice dan SMS) masih medominasi, pertumbuhan mampu mencapai double digit.
Pertumbuhan industri selular yang rendah, tak lepas dari perang praktek tarif yang sebelumnya marak terjadi antar operator.
Selama ini dipersepsikan bahwa tarif internet di Indonesia terbilang mahal. Faktanya, tarif data yang dipatok operator selular adalah salah satu yang tergolong paling murah di dunia.
Dilansir dari cable.co.uk (14/10/2020), sebuah survei teknologi yang berbasis di Inggris, terungkap bahwa Indonesia menempati urutan ke-14 sebagai negara dengan tarif data selular murah per 1GB dari 228 negara yang disurvei.
Rata-rata biaya 1GB data selular di Indonesia adalah Rp 9.440. Tarif itu, lebih murah dibandingkan dengan Myanmar (Rp 11.505), Malaysia Rp (16.520), Thailand (Rp 18.142) dan Filipina (Rp 20.945).
Sedangkan tarif termurah di kawasan Asia Tenggara ditempati Vietnam sebesar Rp 8.408.
Tarif murah, tentu menguntungkan konsumen. Terutama bagi mereka yang tinggal di daerah atau kota yang sudah terbangun jaringan broadband.
Namun dalam jangka panjang, harga layanan internet yang terlalu murah, justru berdampak pada stabilitas bisnis operator telekomunikasi karena kesulitan menggelar jaringan ke daerah.
Baca Juga: Tanggapan Petinggi XL Axiata dan Smartfren Terkait MoU Merger
Di sisi lain, regulatory charges yang dibayarkan operator kepada pemerintah, terutama dalam bentuk lisensi spectrum atau BHP (Biaya Hak Penggunaan) frekwensi sudah sangat tinggi, melebihi indeks global.
Dalam catatan ATSI, regulatory charges rata-rata berkontribusi 20% sampai 25% dari total biaya operasional (opex).
Otomatis beban BHP di Indonesia itu sudah mencekik leher operator. Sehingga sudah masuk pada fase tidak mendukung keberlanjutan industri.
Apalagi kenaikan BHP tersebut tidak sejalan dengan pertumbuhan pendapatan operator. Secara compound annual growth rate (CAGR) terbilang timpang.
Faktanya peningkatan pendapatan operator selular sepanjang periode 2013-2022 hanya tumbuh 5,6%. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan tren peningkatan BHP frekuensi yang mencapai 12,1%.
Dengan kata lain, regulatory charges yang tinggi telah membebani keuangan operator dan berdampak pada kemampuan berinvestasi, serta kemampuan operasional.
Memang terdapat beragam keuntungan jika merger Smartfren dan Xl Axiata benar dapat terwujud. Terutama dari sisi pemanfaatan sumber daya yang jauh lebih efisien. Seperti penguasaan frekwensi, perangkat, sumber daya manusia, kekuatan modal, dukungan teknologi, dan lain sebagainya.
Baca Juga: Smartfren Yakin ZTE Akan Ciptakan Teknologi AI Untuk Efisiensi Operasional
Halaman Selanjutnya..