Ini Dia Isi UU Ciptaker Yang Mengatur Soal Sharing Infrastruktur Telekomunikasi

Jakarta, – Dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) versi terbaru 812 Halaman, pada bab 15 di halaman 325 mengatur Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran, mengubah tiga ketentuan aturan pada  undang-undang, salah satunya ialah  UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

Dalam beberapa ketentuan yang diubah dari UU Telekomunikasi itu disepakati penguatan pemanfaatan infrastruktur pasif. Hal ini tertuang dalam pasal 34B, ayat 1, yang menyebutkan ‘Pelaku Usaha yang memiliki infrastruktur pasif yang dapat digunakan untuk keperluan telekomunikasi wajib membuka akses pemanfaatan infrastruktur pasif dimaksud kepada penyelenggara telekomunikasi

Ayat 2, ‘Pelaku Usaha yang memiliki infrastruktur selainsebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bidang telekomunikasi dan/atau penyiaran dapat membuka akses pemanfaatan infrastruktur dimaksud kepada penyelenggara telekomunikasi dan/atau penyelenggarapenyiaran

Ayat 3 ‘Pemanfaatan infrastruktur pasif sebagaimana dimaksudpada ayat (1) dilakukan berdasarkan kerja sama para pihak secara adil, wajar, dan non-diskriminatif

Ayat 4 ‘Pemanfaatan infrastruktur sebagaimana dimaksud padaayat (2) dilakukan berdasarkan kerja sama para pihak,’ lalu Ayat 5 menegaskan ‘Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah

Baca juga: Meskipun Diprotes Sana-Sini, UU Ciptaker Ternyata Menembus Kebuntuan Regulasi Bidang TIK

Yang sebelumnya pada UU Telekomunikasi, pada Pasal 9 yang membahas ketentuan network sharing, menjelaskan hanya diperkenankan antara penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa yang dapat bekerja sama. Bukan antara sesama penyelenggara jaringan. Hal ini menjadi tantangan dalam menerapkan network sharing dari aspek regulasi sebelumnya.

Marwan O. Baasir, Sekjen Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) sebelumnya menyebut UU Cipataker di bidang TIK ini sangat bagus, karena dapat mendukung kolaborasi di jaringan, frekuensi, kolabroasi di belanja modal atau capital expenditure (capex) sehingga akan menjadi lebih efisien.

“Efesiensinya ini kembali ke industri, masyarakat pengguna lagi. Jadi yang diuntungkan itu semua pihak, dan pemerintah mengkedepankan kepentingan masyarakat. Kemudian juga UU ini penting untuk percepatan penggelaran sekaligus teknologi baru yang lebih baik lagi,” terangnya pada , beberapa waktu lalu.

Kemudian keterlibatan pemerintah dalam mendorong percepatan digitalisasi melalui penguatan infrastruktur juga tertuang dalam UU Ciptaker, pada pasal 34A ayat 1, ‘Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan fasilitasi dan/atau kemudahan kepada penyelenggara telekomunikasi untuk melakukan pembangunan infrastrukturw telekomunikasi secara transparan, akuntabel, dan efisien

Baca juga: RUU Cipta Kerja Perkuat Pemanfaatan Infrastruktur Sharing

Pasal 2-nya berbunyi, ‘Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat berperan serta untuk menyediakan fasilitas bersama infrastruktur pasif telekomunikasi untuk digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi secara bersama dengan biaya terjangkau

Baik pasal 34A maupun 34B merupakan sisipan baru dalam UU Ciptaker, dan memang secara ‘bunyi’ aturan tersebut terasa  semakin menguatkan peran pemerintah dalam mendukung perwujudan pembangunan infrastruktur telekomunikasi lebih kuat.

Marwan pun juga menjelaskan, dalam aturan ini pemerintah akan mendukung pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang terjangkau, “dan penyelengara jaringan dalam hal ini bisa menyesuaikan berdasarkan kemampuannya,” ujarnya.

Menjawab Tantangan

Sementara itu menurut Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi tantangan sekarang memang soal ketidak efisienan membangun infrastruktur, karena dilakukan secara sendiri-sendiri. “Jadi dengan penggunaan infrastruktur bersama maka selain tidak banyak lagi menara telekomunikasi, BTS dan kabel serat optik karena bisa dipakai bersama, biaya pembangunan bisa ditekan atau efisien sehingga harusnya tarif layanan ke masyarakat juga bisa lebih terjangkau,” katanya, dalam pesan singkat yang diterima .

Sementara saat ini, kebutuhan frekuensi sudah sangat besar padahal frekuensi baru sulit dibebaskan dan didapatkan karena sudah dialokasi ke operator-operator. “Sementara teknologi baru juga butuh frekuensi besar. Misal 5G akan butuh 100 MHz untuk mencapai layanan optimal. Sehingga salah satu jalan adalah pengguna frekuensi secara Bersama,” terangnya.

Hanya saja yang perlu diperhatikan menurut Heru dari segala kebersamaan itu ialah terjadinya kartel tarif, karena dianggap biaya produksinya hampir sama, sehingga dijual dengan harga sama.

Baca juga: Tiga Hal Fundamental Sektor TIK Dalam UU Ciptaker Menurut Menteri Kominfo

“Pengawasan persaingan usaha yang sehat perlu diperketat nantinya. Sebab industri ini pernah mengalami fase kelam dimana pernah terjadi kartel SMS antar operator telekomunikasi,” tandas Heru.

Jika kita telisik kembali, penguatan soal tarif pun turut juga diperkuat dalam UU Ciptaker tepatnya pada pasal 28 yang berbunyi, ayat 1 ‘Besaran tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan/atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat’ (aturan ini juga berbunyi sama dengan UU Telekomunikasi di Pasal 28)

Kemudian diperkuat (Dalam UU Ciptaker) pada ayat 2, berbunyi ‘Pemerintah Pusat dapat menetapkan tarif batas atas dan/atau tarif batas bawah penyelenggaraan telekomunikasi dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan usaha yang sehat’.

Terima kasih telah membaca artikel

Ini Dia Isi UU Ciptaker Yang Mengatur Soal Sharing Infrastruktur Telekomunikasi