
Stok Listrik Menipis, Ratusan Bayi Prematur di Gaza Bisa Meninggal dalam Hitungan Detik

Jakarta –
Bunyi ‘bip’ terdengar di ruang NICU tempat bayi prematur di Gaza dirawat. Mereka juga memakai ventilator mekanis yang berfungsi membantu memberikan oksigen ke paru-parunya. Alat vital yang dibutuhkan untuk tetap bertahan hidup, saat detak jantungnya lemah.
Seorang bayi bernama Talia, lahir pada 6 Oktober kemarin, tepat satu hari sebelum Israel memborbardir Jalur Gaza. Kulitnya tampak semakin pucat dan memicu kekhawatiran di kalangan petugas medis, di Rumah Sakit Medis Nasser di Khan Younis, di Jalur Gaza selatan.
Pasalnya, paru-parunya belum cukup kuat untuk berfungsi sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rumah sakit di seluruh wilayah Palestina kini berada di tengah ancaman serius, persediaan bahan bakar hampir habis saat blokade total dilakukan Israel. Begitu generator berhenti menyala, bayi baru lahir yang bergantung pada inkubator listrik untuk bertahan hidup, bisa meninggal dalam hitungan menit.
Bahkan, kekurangan bahan bakar telah memaksa satu-satunya rumah sakit kanker di Gaza baru-baru ini ditutup.
“Ada ketakutan dan kecemasan yang besar terhadap nyawa yang mungkin hilang,” tutur Asaad al-Nawajha, spesialis anak dan neonatal di Nasser mengatakan kepada Al Jazeera.
“Kami terus mengimbau untuk menyediakan bahan bakar yang diperlukan demi mengoperasikan generator RS dan menjamin keselamatan anak-anak, orang sakit, juga korban terluka di Gaza.”
Unit gawat darurat neonatal di rumah sakit ini menampung 10 anak, beberapa di antaranya lahir empat minggu lebih awal dari perkiraan tanggal lahir mereka. Kementerian Kesehatan Gaza memperkirakan 130 bayi baru lahir saat ini bergantung pada inkubator di seluruh wilayah tersebut.
Samar Awad, ibu Talia yang berusia 25 tahun, mengatakan bayi perempuannya adalah anak yang diimpikan selama ini.
“Dokter memberitahu saya bahwa ada air di paru-parunya dan dia perlu diawasi, jadi saya tidur bersamanya di kamar bayi,” kata Awad. Dia belum bisa membawa putrinya pulang.
Jalur Gaza telah dibombardir tanpa henti sejak 7 Oktober. Bom Israel telah menewaskan lebih dari 8.700 warga Palestina di Gaza, termasuk lebih dari 3.000 anak-anak.
Sejak pemerintah Israel mengeluarkan perintah untuk mengevakuasi bagian utara daerah Palestina, distrik selatan Khan Younis dan Rafah telah dibanjiri oleh keluarga-keluarga pengungsi.
Serangan udara terus berlanjut di Jalur Selatan meskipun ada perintah relokasi dari Israel. Selain ketakutan yang mendalam bahwa sebuah bom dapat membunuh suami dan putranya yang berusia tiga tahun saat mereka berkumpul dengan kerabatnya di Khan Younis, Awad juga diliputi oleh kekhawatiran bahwa mesin yang menjaga bayinya tetap hidup akan menjadi sunyi.
“Saya khawatir rumah sakit akan kehabisan bahan bakar,” katanya.
“Saya ingin perang ini berakhir, dan putri saya bisa berada di rumah bersama saudara laki-lakinya dan ayahnya, yang sangat merindukannya.”
Stok Listrik Menipis, Ratusan Bayi Prematur di Gaza Bisa Meninggal dalam Hitungan Detik
