Monopoli Pasar: Gugatan Terhadap Google Kini Diikuti Negara-Negara Asia

Jakarta, – Sudah sejak lama Google menjadi sasaran tembak karena dituding menerapkan persaingan bisnis yang tidak sehat. Dengan penguasaan pasar yang dominan, raksasa mesin pencari asal AS itu, dengan mudah mendikte pasar. Konsumen tidak memiliki banyak pilihan, sehingga membuat pemain lain dirugikan. Hal itu pada akhirnya memicu gelombang penolakan yang semakin deras.
Belakangan aksi penolakan terhadap bisnis yang dijalankan oleh Google, bukan hanya terjadi di Uni Eropa, namun juga di Asia. Langkah terbaru dilakukan oleh Korea Selatan. Pada Kamis (8/10), otoritas di negara itu telah meluncurkan penyelidikan antitrust terhadap Google atas rencananya untuk memberlakukan komisi di Play Store sebesar 30%dengan melarang aplikasi apa pun yang menghindari dari sistem pembayaran, seorang pejabat tinggi Korsel mengatakan pada Kamis (8/10).
Google selalu mewajibkan aplikasi yang ditawarkan di Play Store untuk menggunakan sistem pembayarannya, mengambil potongan 30 persen standar industri – sama seperti Apple.
Perusahaan telah lalai dalam menegakkan aturan tersebut, namun, tidak seperti Apple – yang saat ini terlibat dalam pertempuran hukum dengan pemilik seri game Fortnite setelah melarang aplikasi ketika pengembang mengizinkan pengguna untuk menghindari sistem pembayaran.
Raksasa internet itu mengatakan pada September lalu bahwa kebijakan baru – yang akan berlaku tahun depan – berlaku untuk kurang dari 3% pengembang dengan aplikasi di Play Store.
Namun pengumuman tersebut memicu reaksi keras dari pengembang aplikasi Korea Selatan, yang mengatakan bahwa rencana baru tersebut akan memungkinkan Google untuk menarik biaya yang terlalu tinggi.
Joh Sung-wook, Ketua Komisi Perdagangan Adil Korea (KFTC), pada Kamis (8/10) mengatakan rencana Google sedang diselidiki untuk kemungkinan “praktik anti-persaingan”.
“Persaingan tidak bekerja dengan baik di industri, kami sedang mencari praktik anti-persaingan untuk memulihkan persaingan ” katanya kepada anggota parlemen selama sidang parlemen.
Pernyataan Joh muncul sekitar sebulan setelah beberapa perusahaan teknologi Korea Selatan, termasuk portal internet terbesarnya, Naver, mengajukan permintaan yang meminta penyelidikan pemerintah atas perubahan kebijakan Google.
Ini bukan kali pertam Google berurusan dengan KFTC. Pada 2014, regulator menyelidiki kebijakan periklanan perusahaan, setelah agen periklanan Korea mengajukan keluhan kepada KFTC bahwa Google tidak membayar mereka komisi untuk iklan online sejak 2012.
Begitu pun pada 2011, Google dituduh menekan pembuat ponsel cerdas untuk memuat aplikasinya di ponsel cerdas berbasis Android saja. Mesin pencari lokal mengeluh bahwa Google secara tidak adil menggunakan sistem operasi Android-nya untuk memblokir pesaing dalam pencarian dan layanan lainnya di smartphone.
Namun setelah penyelidikan selama dua tahun, pada 2013, KFTC membebaskan Google dari segala tuduhan. Dalam keputusannya yang mendukung Google, KFTC mengatakan pangsa pasar penelusuran lokal perusahaan AS tidak cukup besar untuk mengancam persaingan yang sehat.
Saat itu KFTC menilai, Google adalah pemain kecil di pasar mesin pencari Korea Selatan, di mana pangsa kurang dari 10% tertinggal dari pesaing lokal seperti Naver dan Kakao, yang masing-masing menguasai sekitar 70% dan 20% pasar.
Persoalannya, dengan semakin populernya Android, Google terus memperkuat posisi di pasar domestik. Sistem operasi ini digunakan secara luas oleh produsen smartphone papan atas Korea Selatan termasuk Samsung Electronics dan LG Electronics.
Alhasil, hanya dalam lima tahun, Google kini menjadi pemain dominan. Pada tahun lalu, Google Play Store memegang 63,4% dari total penjualan toko aplikasi di negara itu, diikuti oleh App Store Apple pada 24,4%, menurut Asosiasi Bisnis Internet Selular Korea. Dengan semakin membesarnya penguasaan pasar Google yang berpotensi merugikan pemain lain, pada akhirnya KFTC kembali bergerak melakukan penyelidikan terhadap Google.
Dibidik India
Seperti halnya Korea Selatan, India juga sudah menabuh genderang perang terhadap Google. Pada Mei 2019, Komisi Persaingan India (CCI) memutuskan untuk meningkatkan status pemeriksaan menjadi penyelidikan menyeluruh.
Google dituduh menyalahgunakan posisi dominan dalam platform Android untuk menekan para pesaing. Tuduhan itu termasuk menyalahgunakan posisi pasarnya untuk mempromosikan aplikasi pembayaran selulernya secara tidak adil. Keputusan tersebut diambil setelah CCI menentukan keluhan terhadap perusahaan yang pantas dilakukan setelah penyelidikan awal.
Menurut laporan Reuters, perwakilan Google diperkirakan akan dipanggil untuk menghadap Komisi Persaingan India dalam beberapa bulan mendatang sebagai bagian dari penyelidikan, yang diperkirakan berlangsung sekitar satu tahun.
Detail penyelidikan tidak dirilis untuk umum, tetapi sumber mengatakan kepada Reuters bahwa penyelidikan mengacu pada praktik Android Google yang dilakukan oleh Komisi Eropa (EC). Kasus yang berlangsung selama tiga tahun itu, telah berujung pada penalti senilai € 4,3 miliar yang dibebankan kepada raksasa teknologi mesin pencari itu.
Sebagai OS terpopuler, Android, digunakan oleh pembuat perangkat secara gratis. Tak tanggung-tanggung, fitur ini terdapat pada sekitar 85% populasi smartphone dunia. Di India sendiri, menurut perkiraan Counterpoint Research, sekitar 98% ponsel pintar yang dijual pada 2018 menggunakan platform Android. Sementara data dari StatCounter menunjukkan Android memegang hampir 91% pasar OS selular di negara asal aktor Sharukh Khan itu pada April 2019.
Jika kelak terbukti menyalahgunakan posisi sebagai penguasa pasar, perusahaan yang berbasis di Mountain View, California itu, akan mengalami jalan terjal mengingat India adalah pasar smartphone terbesar kedua di dunia setelah China.
Ini bukan kali pertama Google berurusan dengan CCI. Pada 2018, pengawas anti monopoli India mengenakan denda 1,36 miliar rupee (USD19 juta) pada Google dengan alasan “bias pencarian” dan penyalahgunaan posisi dominan.
Dalam kasus itu, CCI menemukan Google telah menempatkan fungsi pencarian penerbangan komersial di posisi yang menonjol pada halaman hasil pencarian. Tak terima dengan keputusan itu, Google mengajukan banding. Perusahaan mengatakan bahwa denda senilai USD19 juta dapat menyebabkan kerugian “tidak dapat diperbaiki” dan kehilangan reputasi.
Dengan meningkatnya status dari pengawasan menjadi penyelidikan terhadap Google, CCI ingin memperlihatkan bahwa kompetisi dapat ditegakkan sesuai dengan aturan yang ada. Hal itu sekaligus menunjukkan peran India yang lebih luas dari sekedar pasar.
Gugatan China
Seperti halnya Korea Selatan dan India, China juga bersiap untuk meluncurkan penyelidikan antimonopoli terhadap Google dengan tuduhan bahwa raksasa AS itu telah memanfaatkan dominasi sistem operasi seluler Android untuk menahan persaingan. Namun berbeda dengan India dan Korsel, gugatan yang dilayangkan China merupakan buntut dari tekanan terhadap Huawei.
Menurut satu sumber, kasus tersebut diusulkan oleh raksasa peralatan telekomunikasi Huawei Technologies tahun lalu dan telah diserahkan oleh regulator pasar utama negara itu kepada komite antitrust Dewan Negara untuk ditinjau.
Keputusan apakah akan melanjutkan penyelidikan formal mungkin akan datang secepatnya pada Oktober 2020 dan dapat dipengaruhi oleh keadaan hubungan China dengan Amerika Serikat, kata sumber tersebut kepad kantor berita Reuters.
Penyelidikan potensial tersebut menyusul serangkaian tindakan oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump untuk membuat perusahaan teknologi China pincang, dengan alasan risiko keamanan nasional.
Kebijakan yang ditempuh AS, termasuk menempatkan Huawei dalam daftar hitam perdagangannya, mengancam tindakan serupa untuk Semiconductor Manufacturing International Corp dan memerintahkan pemilik TikTok, ByteDance untuk mendivestasi aplikasi video pendek terpopuler itu.
Gugatan terhadap Google juga terjadi saat China memulai perubahan besar-besaran terhadap undang-undang antitrust dengan amandemen yang diusulkan termasuk peningkatan dramatis dalam denda maksimum dan kriteria yang diperluas untuk menilai kontrol perusahaan atas pasar.
Penyelidikan potensial juga akan melihat tuduhan bahwa posisi pasar Google dapat menyebabkan “kerusakan ekstrim” pada perusahaan China seperti Huawei, karena kehilangan dukungan raksasa teknologi AS untuk sistem operasi berbasis Android akan menyebabkan hilangnya kepercayaan dan pendapatan.
Akibat sanksi dari AS, Huawei menyebutkan bahwa target pendapatan pada 2019 meleset sebesar US$ 12 miliar. Vendor yang berbasis di Shenzen itu, tengah berusaha mengatasi ketergantungannya pada Google. Salah satunya dengan memperkenalkan sistem operasi yang dikembangkan sendiri, Harmony mulai tahun depan.
Meski bersiap untuk melayangkan gugatan, belum jelas layanan Google apa yang akan menjadi fokus penyelidikan potensial oleh China. Sebagian besar vendor ponsel cerdas Tiongkok menggunakan versi sumber terbuka dari platform Android dengan alternatif layanan Google di ponsel domestik. Penelusuran Google, email, dan layanan lainnya diblokir di China.
Meski demikian, Regulator China akan melihat contoh yang ditetapkan oleh rekan-rekan mereka di Eropa dan di India jika itu dilanjutkan dengan penyelidikan antitrust.
“China juga akan melihat apa yang telah dilakukan negara lain, termasuk mengadakan pertanyaan dengan eksekutif Google,” kata sumber itu.
Dalam kasus Uni Eropa, China melihat bagaimana denda dikenakan berdasarkan pendapatan global perusahaan daripada pendapatan lokal. Seperti diketahui, pada 2018 Uni Eropa memutuskan Google bersalah karena praktik anti persaingan, termasuk memaksa pembuat ponsel untuk memasang aplikasi Google di perangkat Android dan memblokir mereka agar tidak menggunakan saingan Google Android dan mesin pencari.
Sanksi berupa denda jutaan dollar itu mendorong Google untuk memberi pengguna Eropa lebih banyak pilihan daripada alat pencarian default. Sekaligus memberikan lebih banyak kelonggaran bagi pembuat handset untuk menggunakan sistem lain yang dikembangkan oleh para pesaing.