RUU PDP Dikebut, Tapi Ruang Pendidikan Berbasis Kurikulum Siber Belum Menjadi Prioritas?

Jakarta, – RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) diharapkan bisa mendorong enduksi siber di tanah air, terutama pada ruang-ruang Pendidikan resmi.
Pratama Persadha, Chairman Lembaga Riset Siber Indonesia Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) menceritakan sejauh ini belum ada pendidikan resmi, bahkan perguruan tinggi nasional yang memiliki kurikulum terkait siber masih terbatas.
“Tanpa edukasi sejak dini, maka kejadian peretasan itu bisa terus terjadi, bahkan menjadi hal yang biasa. Padahal hal tersebut bisa direduksi minimal dengan edukasi luas kepada publik,” ujar Pratama, kepada .
Selain memang ancaman kejahatan digital masih terbilang baru, kesadaran masyarakat Indonesia yang dinilai masih kurang dalam hal pemahaman keamanan siber perlu diperkuat, terlebih Pemerintah saat ini telah memprioritaskan RUU perlindungan data pribadi.
“Masyarakat tidak bisa disalahkan, karena memang asupannya masih kurang terkait berbagai isu siber, terlebih pengambil kebijakan ini mayoritas masih generasi baby boomer (50 tahun keatas) yang tidak mengerti ruang siber, jadi regulasi yang progresif terkait siber memang masih sangat kurang juga,” ungkapnya.
Baca juga : RUU PDP Idealnya Dibarengi Oleh Bangkitnya Industri Digital Lokal
Padahal acaman keamanan data nasional saat ini sudah terbilang meresahkan, Pratama menceritakan kini data perbankan banyak diperjual belikan, bahkan pernah di Bogor seorang tersangka ditangkap karena memperdagangkan dua juta data nasabah.
Lalu yang masih hangat adalah dari peretasan, contohnya Tokopedia. Peretasan yang heboh di kuartal pertama 2020 ini tidak tanggung-tanggung, mengekspos data pemakai Tokopedia hampir 92 juta user. Data ini kini bisa diunduh bebas di beberapa forum internet, akibatnya jelas meningkatkan resiko penipuan menggunakan data-data yang sudah dibocorkan ke publik.
Kemudian menurut laporan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) per-September 2020, menyebutkan penipuan online menjadi salah satu tindak kejahatan yang banyak dilaporkan. Sejak Januari hingga September 2020, penipuan online berada di posisi kedua teratas. Sekitar 28,7 persen kejahatan siber berasal dari kategori tersebut. Sejak 2016 hingga 2020 (September), total 7.047 kasus penipuan online dilaporkan. Apabila dirata-rata, maka terdapat 1.409 kasus penipuan online tiap tahunnya.
“Jadi jika ditanya mengapa penipuan online meningkat, jawabannya karena data hasil peretasan seperti kasus Tokopedia sudah bebas didownload, apalagi email, nomor HP dan alamat tidak dienkripsi. Ini mudah terjadi karena regulasi lemah, itu sebabnya kita butuh UU PDP,” tutupnya.