
Kemitraan Vivo dengan Zeiss, Dapatkah Mengulang Sukses Huawei Leica?

Jakarta, – Menciptakan produk yang dibekali teknologi kamera premium dalam balutan desain dan performa mutakhir, rupanya menjadi salah satu tujuan Vivo. Demi mencapai misi tersebut, Vivo akhirnya menggandeng Zeiss, produsen kamera terkemuka asal Jerman.
Pada Desember 2020, Zeiss dan Vivo mengumumkan kemitraan strategis yang diberi label Vivo Zeiss Co-engineered Camera System. Kolaborasi itu diyakini dapat mendorong kinerja Vivo di pasar global, terutama segmen premium yang semakin berkembang. Apalagi salah satu penguasa di segmen ini, Huawei, tengah terhuyung-huyung akibat sanksi yang diberlakukan AS sejak 2019. Sehingga market share yang sebelumnya dikuasai Huawei bisa direbut vendor lain, termasuk Vivo.
Kesepakatan yang dijalin keduanya memungkinkan Zeiss sebagai produsen optik dan Vivo sebagai vendor smartphone merekayasa sistem pencitraan untuk ponsel pintar andalan Vivo. Bagi Zeiss sendiri, ini bukan pertama kalinya perusahaan bermitra dengan produsen smartphone. Produsen kamera yang berbasis di Oberkochen, kota kecil di sebelah selatan Jerman itu, pernah bekerjasama dengan Nokia.
Salah satu produk fenomenal yang dihasilkan adalah Nokia 808 PureView, smartphone berbasis sistem operasi (OS) Symbian dengan kamera 41 Mega Pixel (MP). Kehadiran 808 PureView yang pertama kali dipamerkan pada ajang MWC Barcelona 2012, jelas mengundang decak kagum. Pasalnya, Nokia 808 PureView adalah kamera pertama dengan pixel sebesar itu di ranah smartphone. Padahal saat itu di pasaran, kamera yang dibenamkan rata-rata baru sebesar 12 MP. Sehingga Nokia 808 PureView disebut-sebut sebagai monster camera.
Pasca Nokia, Zeiss kemudian bermitra dengan HMD Global, perusahaan yang memiliki hak untuk menjual smartphone bermerek Nokia. Dua varian masing-masing Nokia 8.3 dan Nokia 9 PureView menggunakan komponen kamera bermerek Zeiss.
Usai kerjasama dengan HMD, Zeiss pun digandeng Vivo. Kemitraan itu ditandai dengan pembangunan Zeiss Imaging Lab, sebagai investasi dalam program R&D demi mendorong inovasi pada teknologi kamera mobile. Tak menunggu lama, hasil dari kolaborasi keduanya tercermin dari varian Vivo X60 Series. Smartphone flagship Vivo itu kali pertama diperkenalkan secara global pada 20 Maret 2021. Tak berselang lama, X60 Series juga mendarat di Indonesia, tepatnya pada 8 April 2021.
Vivo menyebutkan, imaging system dari Zeiss yang disematkan pada X60 Series, membantu meningkatkan performa pengambilan gambar. Terutama kemampuan sistem software di lensa kamera untuk menghasilkan kualitas gambar yang lebih tajam dan jelas.
Lensa itu juga mampu mengurangi pantulan cahaya atau ghosting saat cahaya mengenai lensa sehingga hasil gambar dapat lebih terkontrol. Untuk perekaman foto, Zeiss juga menyematkan Zeiss Biotar untuk mendapatkan hasil bokeh atau gambar progresif.
Sementara Gimbal Stabilization 2.0 serta Extreme Night Vision 2.0 yang disematkan pada X60, adalah fitur yang mampu meningkatkan stabilitas ketika pengambilan gambar foto maupun video bahkan dalam ruangan minim pencahayaan sekalipun.
Pada 10 September 2021, Vivo secara resmi memperkenalkan X70 Series secara global di China yang juga menyematkan sistem imaging dari Zeiss. Dengan peluncuran X70 Series yang merupakan suksesor dari X60, menandakan bahwa kolaborasi Vivo dan Zeiss terus berlanjut. Di Indonesia sendiri, Vivo telah merilis secara resmi varian X70 Series, pada Kamis, 7 Oktober 2021. Smartphone ini dibandrol seharga nyaris Rp 11 juta.
Fenomena Huawei
Tak dapat dipungkiri langkah Vivo menggandeng Zeiss, terinspirasi cerita sukses yang diraih oleh Huawei. Seperti diketahui, Huawei adalah vendor China yang sangat berambisi menjadi pemimpin pasar mengalahkan Samsung. Raksasa telekomunikasi yang didirikan oleh Ren Zhenfeng itu, menargetkan dapat menjadi market leader di indusrtri ponsel dunia pada 2020.
Selain mengusung target sebagai vendor ponsel nomor wahid, Huawei juga berupaya menjadi pemain utama di segmen premium yang selama bertahun-tahun dikuasai oleh Samsung dan Apple. Demi mendongkel hegemoni kedua raksasa itu, Huawei akhirnya memutuskan bermitra dengan produsen kamera terkemuka di dunia, Leica.
Kolaborasi yang diberi label “Huawei Co-Engineered with Leica”, menelurkan varian P9 Series (P9, P9 Plus), smartphone dual camera yang diluncurkan pada 2016. Seperti sudah diduga, co-branding dengan Leica ternyata menjadi senjata ampuh yang mampu menarik konsumen.
Meski sempat menuai kritik dari beberapa pihak yang mempertanyakan kontribusi Leica untuk modul kamera pada P9 (lensa tidak diproduksi sendiri oleh Leica), respons pasar tetap positif dengan berhasilnya smartphone ini menembus penjualan di atas 10 juta unit, hanya beberapa bulan setelah peluncurannya.
Tingginya permintaan P9 pada akhirnya mengatrol popularitas Huawei dan mendorong penjualan dengan angka yang sangat signifikan. Tercatat pada akhir 2016, Huawei mampu menjual lebih dari 140 juta unit ponsel di seluruh dunia.
Kehadiran P9 Series dengan Leica di dalamnya, terbukti menjadi momentum kesuksesan Huawei di pasar global. Untuk memperkuat cengkramannya, Huawei juga menyematkan Leica pada seri flagship lainnya, yaitu Mate Series.
Kombinasi tiga varian utama, yaitu P, Mate dan Nova di segmen menengah, ditambah Honor sebagai sub brand, membuat kinerja Huawei semakin moncer. Ini terlihat dari penjualan Huawei yang terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya.
Tengok saja pada akhir 2017, Huawei mampu mengirimkan 153 juta unit ponsel. Pencapaian itu sekaligus menempatkan Huawei sebagai vendor nomor dua di dunia menggusur Apple. Pada 2018, penjualan Huawei semakin menggila karena angkanya mencapai lebih dari 200 juta unit. Begitu pun pada akhir 2019 yang sudah mencapai 250 juta unit.
Dengan penjualan yang terus melonjak setiap tahunnya, Huawei semakin dekat dengan target menjadi vendor ponsel nomor satu dunia, mengalahkan Samsung yang sudah menyandang predikat itu sejak 2012. Sayangnya, target yang sejatinya dapat diraih pada 2020 tak kesampaian. Bukan karena kerasnya persaingan, tapi karena persoalan geopolitik.
Seperti diketahui, momentum pertumbuhan Huawei mendadak terhenti karena sanksi Amerika Serikat yang diberlakukan pada akhir 2019. Tuduhan menjadi bagian dari spionase pemerintah China, membuat pabrikan yang bermarkas di Shenzhen itu, masuk dalam daftar hitam. Perintah eksekutif yang dikeluarkan semasa pemerintahan Donald Trump, membuat perusahaan-perusahaan teknologi negeri Paman Sam tak lagi dapat berbisnis dengan Huawei, termasuk Google yang memiliki GMS (Google Mobile Service).
Absennya layanan GMS yang menjadi jantung dari smartphone berbasis android, membuat smartphone buatan Huawei langsung kehilangan tajinya di pasar. Buntutnya, penjualan Huawei pun terjun bebas.
Diketahui pengiriman smartphone perusahaan China itu 21% lebih rendah pada 2020 dibandingkan dengan 2019. Laporan lembaga riset pasar Canalys, Huawei sudah terlempar dari posisi lima besar pangsa pasar ponsel global pada kuartal I-2021. Tercatat, perusahaan hanya mengirimkan 18,6 juta unit pada kuartal pertama tahun ini.
So, alih-alih bisa mengkudeta Samsung sebagai vendor ponsel nomor satu di dunia, Huawei kini malah berada pada mode “bertahan hidup” di bisnis smartphone.
Konsumen Fanatik
Nasib malang yang kini tengah dialami oleh Huawei jelas merupakan “berkah” bagi para pesaingnya. Apple misalnya, posisinya semakin tidak tergoyahkan di segmen premium. Peluncuran iPhone 13 belum lama ini, selain bertujuan memperkuat dominasi Apple di segmen high end, juga membuat penguasaan Apple di segmen smartphone 5G semakin meningkat.
Begitu pun dengan Vivo. Brand ponsel yang berada di bawah naungan BBK Group itu, malah mendapat “durian runtuh” dengan kesengsaraan yang kini dialami kompatriot China-nya itu. Di pasar dalam negeri misalnya, Vivo kini menjadi market leader menggusur Huawei yang terpental dari posisi lima besar. IDC mengungkapkan sepanjang Q2-2021, Vivo menguasai sekitar 23,8% pasar ponsel China. Diikuti Oppo (21,1%), Xiaomi (17,2%), Apple (10,9%), dan Honor (8,9%).
Berbeda dengan China, performa Vivo di Indonesia terbilang seperti roller coaster, naik dan turun dengan sangat cepat. Bagaimana tidak, pada kuartal pertama 2020, IDC mendaulat Vivo sebagai vendor nomor satu di Indonesia. Ini adalah kali pertama Vivo mampu menempati posisi puncak. Setelah IDC, lembaga riset smartphone Canalys menempatkan Vivo di urutan pertama sebagai merek smartphone di Tanah Air pada kuartal empat 2020 dengan pangsa pasar 25%.
Sayangnya, pencapaian yang gemilang pada 2020, tak dapat dipertahankan Vivo pada tahun ini. Tercatat dalam dua kuartal, yaitu Q1 dan Q2, market share Vivo turun secara drastis, sehingga peta persaingan antar vendor kembali berubah.
Merujuk pada laporan Canalys selama kuartal dua (Q2) 2021, Xiaomi berhasil melejit ke posisi puncak dalam Indonesia Top 5 Smartphone Vendors Q2 2021 dengan penguasaan pasar 28%. Naiknya Xiaomi membuat Oppo harus turun ke posisi runner-up dengan pangsa pasar 20%.
Di urutan selanjutnya berturut-turut ditempati Samsung (18%), Realme (12%), dan Vivo (12%). Vivo memang memiliki penguasaan pasar yang sama dengan Realme, yaitu 12%, namun periode itu Vivo memiliki pertumbuhan negatif.
Terlepas dari performa yang masih naik turun, kehadiran X70 Series berpotensi mendongkrak brand image Vivo, terutama di segmen premium yang masih terbuka lebar. Itu sebabnya, Vivo ‘bela-belain’ berkolaborasi dengan Zeiss yang sudah punya nama tenar, sehingga dapat mengatrol penjualan Vivo yang sempat menurun.
Menurut Counterpoint Technology Market Research, pasar segmen premium terbilang seksi, tumbuh rata-rata double digit setiap tahunnya. Counterpoint menemukan fakta bahwa konsumen bersedia untuk mengeluarkan uang lebih banyak untuk ponsel mereka dengan harapan bisa mempertahankannya masa pakai lebih lama.
Namun untuk bisa merebut pasar di segmen itu, sejatinya tidak mudah. Pasalnya, pasar sudah dikuasai oleh tiga brand yang kelotokan, Samsung, Huawei dan Apple.
Samsung sendiri mengklaim masih menguasai 66% pasar smartphone premium di Tanah Air pada kuartal kedua 2019. Sementara Apple, meski memiliki market share di bawah Samsung, namun memiliki konsumen yang fanatik. Padahal harga iPhone dilego lebih mahal dibanding merek lain.
Sedangkan Huawei, pasca tak lagi dilengkapi layanan GMS (Google Mobile Service), pangsa pasarnya turun drastis. Sehingga memberi peluang bagi Vivo untuk mengambil pasar yang ditinggalkan Huawei. Belakangan Oppo juga mencoba untuk mencuri pasar dengan menghadirkan varian Find X3 yang diluncurkan pada Juni 2021 lalu.
Dengan kondisi pasar yang cenderung hanya dikuasai oleh tiga pemain, dan konsumen yang cenderung fanatik, dapatkah Vivo menjadi pemain utama di segmen premium? Kelak waktu yang membuktikan.
Kemitraan Vivo dengan Zeiss, Dapatkah Mengulang Sukses Huawei Leica?
