Terima Kasih untuk Mujahid Armuzna

Jakarta –
Jemaah haji Indonesia telah selesai menjalani puncak haji 2024 di Armuzna (Arafah-Muzdalifah-Mina). Di tempat suci (al-masyair al-muqaddasah) inilah momentum paling kritis dihadapi jemaah. Secara spiritual, Arafah sering digambarkan sebagai miniatur padang Mahsyar setelah hari kiamat terjadi.
Setidaknya jemaah haji tinggal selama dua hari di padang Arafah yang panas dan tandus, hingga menunggu wukuf tiba. Inilah tempat di mana seluruh jemaah haji diuji kekuatan iman dan fisiknya. Tantangannya tidak ringan, tetapi semua umat Islam ingin setiap tahun hadir di sana karena Arafah adalah situs di mana semua doa dikabulkan dan seluruh dosa diampuni.
Secara fikih, Arafah merupakan tempat yang paling krusial bagi jemaah haji. Jika ia tidak menetap (wukuf) di Arafah, meskipun hanya sebentar, maka hajinya dianggap tidak sah. Di sisi lain, waktu wukuf sangat pendek, antara setelah Dzuhur hingga menjelang Maghrib. Kemenag RI berkewajiban membawa semua jemaah, dalam kondisi apa pun ke Arafah untuk wukuf.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selanjutnya jemaah harus bergeser menuju Muzdalifah dan Mina untuk mabit serta melempar kerikil di Jamarat selama hari Tasyriq. Rangkaian haji tentu belum selesai. Thawaf Ifadhah masih menunggu untuk segera dikerjakan.
Kemacetan parah sejak penjemputan di hotel Makkah hingga perjalanan menuju ke Arafah, merupakan cobaan lain yang menguras energi dan kesabaran jemaah. Jemaah harus antre berjam-jam di hotel untuk segera diangkut menuju Arafah. Kemacetan juga terjadi saat jemaah bergeser menuju Muzdalifah dan Mina. Sekali lagi, mereka harus menunggu lama untuk penjemputan, dari satu tempat ke tempat yang lain.
ADVERTISEMENT
Khidmah Jemaah
Jarak Arafah-Muzdalifah-Mina tidaklah jauh, sekitar 14 km. Jika menggunakan kendaraan, waktu tempuh tidak sampai 15 menit. Tetapi dalam situasi di mana seluruh jemaah haji dunia tumplek blek di Armuzna, kepadatan lalu lintas tidak mungkin dihindari. Jemaah harus menanti dan duduk di atas bus berjam-jam untuk dijemput dari satu titik menuju titik yang lain. Apalagi jika harus berjalan kaki, dalam suhu yang panas dan di ruang terbuka. Suhu begitu sangat panas, mencapai 49-50 derajat celcius. Kekuatan fisik dan mental betul-betul diuji. Yang diuji bukan hanya jemaah. Petugas juga bahkan dengan cobaan yang jauh lebih keras. Tugasku ibadahku, inilah janji petugas.
Mereka sudah hadir di Arafah sejak 7 Dzul Hijjah malam. Mereka hadir lebih awal untuk memastikan fasilitas tersedia dan berfungsi dengan baik. Mereka juga mengamankan tenda-tenda jemaah, supaya tidak diserobot jemaah ilegal.
Sisanya berjaga dan membantu di hotel-hotel Makkah, tempat para jemaah diberangkatkan menuju Arafah. Mereka harus menyisir per kamar hingga lorong hotel jemaah. Semata-mata untuk meyakinkan bahwa sudah tidak ada satu pun jemaah haji yang tertinggal di hotel. Saat di Arafah, Muzdalifah dan Mina hingga Jamarat, mereka bertugas tersebar di banyak tenda maktab dan pos-pos. Istirahat di tempat-tempat seadanya. Jauh dari kata mewah. Mereka berjibaku membantu jemaah, merespons dan menyelesaikan keluhan jemaah. Sebagian malah dimarahi jemaah. Mereka sudah menjalankan tugas dengan baik. Melayani jemaah dengan sepenuh hati. Apalagi kepada jemaah lansia. Kebaikan dan kesabaran petugas kepada jemaah melebihi kepada keluarga, bahkan orang tua sendiri.
Jiwa Pejuang
Dari zaman Nabi Muhammad SAW hingga sekarang ini, wilayah Armuzna memang panas. Di era sekarang, meski telah dibantu dengan teknologi yang maju sekali pun, Armuzna tetap panas. Semua fasilitas yang dirancang sedemikian rupa, selalu tidak cukup untuk menyamankan istirahat jemaah. Di Armuzna, semua orang merasakan suhu yang panas, lelah dan tidak nyaman beristirahat. Tidak peduli, apakah ia haji reguler atau haji khusus.
Bukan toilet yang wah dan tanpa antre atau AC dan tenda yang luas yang dapat membuat haji menjadi nikmat dan nyaman. Hanya hati yang lapang dan penuh syukurlah yang membuat Armuzna selalu menjadi tempat yang dirindukan.
Hanya jiwa-jiwa yang tawadu’ yang akan merasakan indah dan nikmatnya Armuzna. Jiwa-jiwa yang tak sempat berkeluh kesah karena hatinya terlena berdzikir dan menyebut kebesaran dan keagungan Allah SWT. Jiwa-jiwa yang sibuk memuji dan tidak ada waktu untuk mencela, apalagi mencari-cari kesalahan. Yang panas terasa adem. Yang sesak terasa luas. Yang kurang terasa cukup. Yang lelah terasa kuat.
Di Armuzna, saya menyaksikan begitu banyak pejuang-pejuang hebat yang terus bermunajat kepada Allah SWT, mengabaikan panas, lelah dan seluruh ketidaknyamanan yang dirasakan. Mereka terus asyik memohon kebaikan-kebaikan dalam situasi apa pun yang sedang dan akan dihadapi. Kebaikan untuk diri, keluarga dan teman-teman sejawatnya, di dunia dan akhirat.
Sebagaimana lazim diketahui, haji adalah perjalanan spiritual untuk meneladani perjuangan Nabi Ibrahim as dan keluarganya. Perjuangan untuk menegakkan kebenaran (tauhid) dan melawan kebatilan. Tidak ada perjuangan yang ringan.
Pejuang-pejuang Armuzna itu adalah para jemaah dan petugas yang melayani jemaah. Mereka telah berjihad dengan jiwa dan raganya di jalan Allah SWT (al-jihad fi sabilillah). Merekalah mujahid sejati, yang tangguh, sabar dan penuh syukur saat menjalani ritual puncak ibadah haji. Bahkan, di antara jemaah dan petugas yang sedang berkhidmah di Armuzna, ada yang dipanggil oleh Allah Swt. Saya haqqul yakin, mereka wafat dalam keadaan syahid.
Apresiasi dan penghormatan yang tertinggi saya dedikasikan kepada seluruh jemaah dan petugas yang telah selesai menjalani puncak haji dengan lancar dan aman. Terima kasih atas perjuangan jemaah dan kerja keras petugas. Teriring doa semoga Allah SWT mengijabah semua doa-doa terbaik yang dipanjatkan. Semoga menjadi haji mabrur.
Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama RI
Saksikan juga ‘Cerita Perjalanan Haji Jurnalis detikcom’:
(lus/lus)