Tak Perlu Cemas ‘Kluster’ Covid di Sekolah

Jakarta –
Setelah laju penularan COVID-19 melandai dan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di sekolah telah diselenggarakan, masih juga ada kekhawatiran terjadinya kluster sekolah yang menakutkan bagi sebagian orangtua. Apa yang sebaiknya dicermati?
Gejala klinis COVID-19 pada anak yang perlu diwaspadai oleh orangtua sebenarnya cukup khas. Misalnya demam atau meriang, batuk, hidung tersumbat atau pilek, dan kehilangan indra penciuman. Juga sakit tenggorokan, sesak atau kesulitan bernapas, sakit perut hingga diare, ada juga mual dan muntah. Selain itu, kelelahan, sakit kepala, nyeri otot atau tubuh, dan kehilangan selera makan. Jika muncul keluhan tersebut, sebaiknya anak tidak diizinkan mengikuti PTM terlebih dahulu.
Jika anak pada akhirnya terkonfirmasi positif COVID-19, orangtua wajib memberikan pengobatan atau perawatan yang tepat. Orangtua atau pengasuh harus mendampingi anak selama proses penyembuhan. Yang utama adalah anak menjalani isolasi mandiri di rumah, bukan dirawat inap di RS.
Selain itu, orangtua harus ikut menemani anak selama isolasi, tidak meninggalkan anak sendirian di rumah, dan memastikan anak merasa aman dan nyaman. Juga jaminan pemberian nutrisi yang cukup selama perawatan, termasuk ASI sesuai usia anak, karena anak sedang dalam proses pertumbuhan dan perkembangan.
Orangtua juga wajib tetap memberikan stimulasi pada anak dengan berbagai kegiatan dan permainan yang menyenangkan, memicu aktivitasi otak, dan tumbuh kembang anak. Yang terakhir adalah pengobatan dan pemberian vitamin sesuai derajat klinis penyakit, oleh dokter yang menangani. Setelah dokter menyatakan anak telah pulih, anak dapat segera diantar untuk mengikuti PTM di sekolah kembali.
Anak yang dirawat oleh dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) periode Maret-Desember 2020, terdapat 37.707 anak terinfeksi COVID-19 dan 522 kematian. Data yang diterbitkan dalam Jurnal Frontiers in Pediatrics pada 23 September 2021 lalu ini juga menyajikan komorbid dan gagal napas sebagai penyebab utama (54,5%) kematian anak akibat COVID-19, diikuti dengan sepsis atau syok septik (23,7%).
Sebagian besar anak yang meninggal dengan COVID-19 memiliki komorbid gizi buruk (18,0%), diikuti oleh penyakit kanker (17,3%) dan penyakit jantung bawaan (9,0%). Ada 62 (11,8%) anak terkonfirmasi COVID-19 yang meninggal tanpa komorbid atau penyakit penyerta.
Sementara komorbid terbanyak pada anak yang meninggal terkait COVID-19 adalah malnutrisi dan kanker, disusul penyakit jantung bawaan, kelainan genetik, tuberkulosis (TBC), penyakit ginjal kronik, cerebral palsy, dan penyakit autoimun. Orangtua yang memiliki anak tanpa mengalami salah satu komorbid tersebut, tentu saja tidak boleh ragu untuk mengizinkan anak ikut PTM di sekolah.
Terdapat 10 provinsi di Indonesia dengan kasus anak terkonfirmasi COVID-19 terbanyak yaitu Jawa Barat, Riau, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, DIY, dan Papua. Sedangkan 7 provinsi dengan kasus kematian anak terkonfirmasi COVID-19 terbanyak, yaitu Jawa Tengah, DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Orangtua yang tinggal di 10 provinsi tersebut wajib lebih waspada, apabila memiliki anak dengan komorbid, sebelum mengizinkan anak mengikuti PTM terbatas di sekolah.
Pada Jumat, 22 Oktober 2021 tidak hanya Indonesia, tetapi terdapat 225 negara di dunia yang melaporkan adanya COVID-19 dengan total kasus terkonfirmasi 242.348.657 orang dan meninggal 4.927.723 orang. Pada saat yang sama di Indonesia kasus terkonfirmasi positif COVID-19 sebanyak 4.238.594 orang (hanya 1,7% dari kasus global), sembuh 4.080.351 orang dan meninggal 143.153 orang (hanya 0,29% dari kematian global). Dengan demikian, kita semua yang tinggal di wilayah Indonesia sebaiknya tidak perlu takut lagi akan keganasan COVID-19, yang telah dapat diatasi dengan baik.
Direktur Eksekutif Program Darurat Kesehatan WHO Dr. Mike Ryan mengingatkan bahwa virus COVID-19 akan menetap, karena terus bermutasi di seluruh dunia. Selain itu, WHO juga menjelaskan bahwa vaksin tidak menjamin pembasmian COVID-19 seperti virus lainnya. Bahkan kepala penasihat medis Gedung Putih AS Dr. Anthony Fauci dan Stephane Bancel, CEO pembuat vaksin Moderna, telah memperingatkan bahwa dunia harus hidup dengan COVID-19 selamanya, seperti halnya influenza. Oleh sebab itu, proses PTM terbatas di sekolah seharusnya memang tidak perlu ditunda lagi, termasuk di seluruh wilayah Indonesia, karena ‘telah’ terjadi perubahan COVID-19 dari pandemi menjadi endemi.
Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI terkait kluster PTM terbatas terbanyak terjadi di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur. Pada 23 September 2021 terdapat 1.302 kluster sekolah. Kluster terbanyak di Sekolah Dasar dengan 583 kluster, PAUD 251 kluster, SMP 244 kluster, SMA 109 kluster, SMK 70 kluster, dan SLB 13 kluster. Meski kluster sekolah merebak, tetapi Mendikbudristek Nadiem Makarim menegaskan PTM di sekolah tidak akan dihentikan, bahkan terus dilanjutkan.
Untuk sekolah yang telah menjalankan PTM, keamanan PTM terbatas harusnya terus ditingkatkan melalui optimalisasi fasilitas sekolah dan perbaikan protokol kesehatan. Selain itu, perlu mempertimbangkan kapasitas kelas, memperbaiki sirkulasi udara, misalnya membentuk ruang kelas terbuka atau jendela kelas agar selalu dibuka, karena hal ini akan memperkecil risiko penularan COVID-19. Saat belajar di rumah yang sudah berlangsung selama pandemi COVID-19, banyak anak terbukti mampu belajar dan mengerjakan tugas sekolah. Oleh sebab itu frekuensi dan durasi PTM di sekolah sebaiknya tetap dibatasi, dan dilanjutkan atau dilengkapi dengan pembelajaran di rumah.
Untuk meningkatkan perlindungan anak, penting sekali bahwa setiap orang di sekitarnya, termasuk pengasuh, guru dan pegawai non akademik di sekolah, divaksinasi COVID-19 bila memenuhi syarat. Tentunya supaya vaksinasi pada orang tersebut tidak hanya melindungi diri mereka sendiri, tetapi juga melindungi orang lain yang tidak atau belum memungkinkan untuk divaksin, contohnya anak di bawah usia 12 tahun.
Data kluster sekolah sebaiknya jangan lagi mencemaskan orangtua, karena data itu merupakan kompilasi sejak Juli 2020, bukan berdasarkan laporan sejak PTM terbatas dilakukan dalam satu bulan terakhir. Dengan demikian penyebutan istilah ‘kluster’ sebenarnya juga berlebihan dan kurang tepat, karena angka 2,8 persen sekolah dari 46.500 sekolah yang melaporkan itu bukanlah data kluster, tetapi data sekolah yang melaporkan adanya warga sekolah yang pernah tertular COVID-19, meskipun penularannya belum tentu terjadi di sekolah. Berarti masih ada lebih dari 97 persen sekolah memiliki warga yang tidak pernah tertular COVID-19.
Juga terkait isu yang beredar mengenai 15.000 siswa dan 7.000 guru positif COVID-19 akibat pelaksanaan PTM Terbatas, sebenarnya data tersebut belum diverifikasi, sehingga masih mungkin ditemukan kesalahan. Sudahkah kita bijak dan tidak takut mengizinkan anak mengikuti PTM di sekolah, karena aman dari bahaya COVID-19?
FX. Wikan Indrarto dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Lektor FK UKDW
(mmu/mmu)