Sunk Cost Bias dan Pengambilan Keputusan

Jakarta

Beberapa waktu lalu coffee maker di rumah kami rusak, lebih tepatnya rusak lagi. Kerusakan ini sudah yang kesekian kali terjadi dalam beberapa bulan terakhir ini. Entah apa lagi kali ini yang menjadi penyebab kerusakannya, tetapi yang pasti coffee maker ini sudah kami gunakan selama lebih dari 10 tahun, hampir setiap pagi dan sore hari bahkan sejak anak-anak kami masih kecil. Bisa dibayangkan bagaimana nilai historis dari mesin ini. Seolah harum aroma kopi yang dihasilkan mesin ini dapat membawa kami pada kenangan masa lalu. Itu pula sebabnya mengapa kami sangat ingin mempertahankan coffee maker ini walaupun secara sadar kami memahami bahwa total biaya untuk memperbaikinya selama ini setara dengan coffee maker yang baru dan pastinya lebih modern pula.

Bicara mengenai coffee maker, saya jadi teringat teman lama saya yang hobinya ngopi. Beberapa hari yang lalu ia menceritakan pengalamannya pergi nonton film di bioskop berdua dengan istrinya. Bioskop memang sudah mulai dibuka kembali untuk umum dengan prokes yang ketat sejak beberapa waktu lalu. Di tengah-tengah pertunjukan film diputar, teman saya rupanya menganggap jalan cerita film membosankan sehingga kemudian dia mengajak istrinya untuk meninggalkan ruang bioskop untuk pergi shopping di lantai bawah mall tersebut.

Tetapi, istri teman saya ini sama sekali tidak mau beranjak dari tempat duduknya dan bersikukuh untuk tetap melanjutkan menyaksikan film itu sampai selesai walaupun dia sendiri tidak terlalu tertarik dengan film itu. Alasannya sederhana saja, karena sudah membayar cukup mahal untuk dapat menonton film itu, agar tidak rugi.

Mengenai kerugian dan investasi pernah ada kisah menarik di dunia penerbangan. Tahun 70-an, dunia penerbangan pernah dikejutkan dengan munculnya pesawat terbang komersial super cepat yang dapat terbang melebihi kecepatan suara, sehingga jarak dari London ke New York yang biasanya ditempuh lebih dari 8 jam, oleh pesawat ini cukup ditempuh hanya dalam waktu 2 jam 50 menit saja. Concorde, namanya. Pesawat yang fenomenal ini adalah pesawat super sonik hasil kerja sama perusahaan penerbangan Prancis dan Inggris. Biaya produksi satu pesawat ini tidak kurang dari tiga ratus juta dollar Amerika Serikat, belum termasuk biaya perawatannya.

Dengan biaya produksi sefantastis itu, tetap tidak menghalangi manajemen Concorde untuk memproduksi dan mengoperasikan pesawat tersebut. Walaupun sejak awal produksi kedua belah pihak dari pemerintah Prancis dan Inggris sebenarnya sudah menyadari bahwa investasi ini tidak akan kembali. Setelah lebih dari 27 tahun mengudara, barulah penerbangan pesawat ini dihentikan alasannya sudah pasti, demi menghindari kerugian yang semakin besar. Tetapi butuh waktu yang lama sekali untuk akhirnya manajemen sampai pada keputusan untuk menghentikan operasi pesawat tersebut.

Cerita mengenai coffee maker, nonton bioskop atau pesawat Concorde di atas sebetulnya memiliki kemiripan ide cerita di dalamnya, yaitu mengenai bagaimana sulitnya menggunakan pemikiran yang rasional ketika emosi sudah begitu kuat mempengaruhi kejernihan berpikir kita. Keputusan yang dibuat sangat besar kemungkinannya untuk menjadi bias. Fenomena ini oleh teman-teman keuangan biasa disebut dengan istilah sunk cost bias atau juga Concorde Effect. Peristiwa ketika sumber daya yang kita miliki baik tenaga, biaya, upaya, passion, dan cinta kita, kita curahkan untuk sesuatu hal yang sebetulnya kita ketahui sudah tidak layak lagi untuk diteruskan karena investasi yang past event seperti ini tidak pernah terkait langsung dengan potensi manfaat yang akan kembali di masa depan (potential future benefit).

Semakin besar perhatian kita tercurah ke masa lalu, semakin sulit kita menghentikannya dan menjadi sulit untuk dapat mengambil keputusan dengan jernih. Alih-alih memusatkan perhatian pada future project investment dan kaitannya dengan potential future benefitnya, kita terjebak pada biaya masa lalu yang tidak ada kaitannya dengan keuntungan di masa depan. Bagaimana kita dapat menghindar dari jebakan sunk cost bias ini?

Sebenarnya secara teori, hanya satu hal yang harus selalu kita ingat, yaitu dengan menempatkan emosi kita berdampingan secara seimbang dengan pemikiran rasional kita. Masalahnya dalam praktik hal ini tidaklah mudah, baik saat kita membuat keputusan pribadi maupun dalam tim. Beberapa tips di bawah mudah-mudahan dapat digunakan untuk mencegah kita terperangkap dalam fenomena ini:

Pertama, selalu melihat kembali ke big picture dari setiap aktivitas/inisiatif/action plan/proyek/investasi yang dibuat. Untuk ini memang diperlukan adanya visioner leader yang dengan legowo menangkap isu ini kemudian dengan responsible dan accountable mengambil posisi dari keputusan yang dibuat. Ada buku yang ditulis oleh Simon Sinek, Leaders Eat Last dapat menjadi salah satu referensi yang bagus untuk hal ini

Kedua, mengembangkan budaya learning organization, organisasi pembelajar; setiap orang dengan keunikan dan keahlian dalam kompetensi dan kapabilitas masing-masing dengan leluasa mendiskusikan ide-idenya. Buku A Learning Organization, The 5th Disciplines yang ditulis oleh Peter M Senge bisa menjadi referensi menarik untuk hal ini

Ketiga, mencari dan mengembangkan terus ide-ide kreatif, biasanya dengan mengundang fresh eyes atau fresh blood dalam meeting. Ide kreatif ini bisa datang dari mana dan dari siapa saja. Dalam film Imitation Game diceritakan bagaimana Alan Turing sang penemu cikal bakal komputer menemukan ide kreatif pemecahan kode mesin instruksi pengirim bom Jerman ke pasukan sekutu yang dikenal dengan “enigma machine” justru berasal dari orang yang sama sekali di luar perkiraannya.

Sometimes it is the people no one can imagine anything of who do the things no one can imagine.”

Nah, akan halnya coffee maker saya di atas, akhirnya beberapa hari sebelum tulisan ini dibuat, saya mencoba berpikir rasional dan akhirnya memberikan coffee maker itu ke tukang listrik yang biasa datang ke rumah dan kebetulan penyuka kopi juga. Senyum dan matanya yang berbinar bahagia Ketika menerima coffee maker itu sangat menggembirakan hati saya, walaupun keesokan harinya istri dan anak saya komplain karena tidak ada mesin kopi kesayangan mereka lagi.

Setidaknya dari kejadian ini, saya sudah mencoba untuk belajar kembali berpikir jernih dan perlahan mengabaikan ikatan emosi yang tidak ada manfaatnya lagi dengan keuntungan di masa depan. Selain itu dengan berpikir jernih seperti ini secara tidak disengaja membawa hal positif yang bermanfaat bagi orang di sekitar kita. Sambil berharap agar di masa yang akan datang saya tidak lagi mudah terperangkap perangkap sunk cost bias ini.

Hans Manoe The Controller

(mmu/mmu)

Terima kasih telah membaca artikel

Sunk Cost Bias dan Pengambilan Keputusan