
Sekolah Anak Pemulung di Pinggir Kuburan, Itu Manusia Bukan?

Jakarta –
Sayu-sayu terdengar suara anak kecil di satu sudut Tempat Pemakaman Umum (TPU) Pondok Kelapa Jakarta Timur. Sejak 2016, pada jam-jam tertentu, bunyi anak-anak kecil bersahutan mengeja kata dengan terbata-bata, bisa tertangkap oleh telinga.
Tempat itu Bernama Saung Baca garpu. Sebuah wahana belajar bagi pemulung-pemulung cilik yang tingal di sekitar kuburan yang digagas oleh Nurida dan rekan-rekannya. Nurida mendidik anak-anak tanpa batasan umur. Baginya, siapapun yang butuh Pendidikan bisa datang ke Saung Baca Garpu kapan pun mereka mau.
“Saat ini (muridnya) umur 2 hingga 17 tahun. Jadi awalnya kami hanya menerima umur 6 tahun. Tapi, karena dia punya adik dan orang tuanya meminta, ya kita yaudah aja sekalian. Kalau dulu Cuma ikut-ikutan, kalau sekarang udah mau belajar. Udah bisa pegang pensil, udah pinter nulis,” terang Nurida dalam program Sosok.
Lokasi yang berdampingan dengan pemakaman adalah pilihan satu-satunya bagi Nurida. Selain harga yang terjangkau, lokasi itu dekat dengan permukiman para pemulung yang makin lama makin menjamur.
“Kebetulan banget ada yang bangun rumah di sini. Kalau dulu menghadapnya persis ke kuburan. Sampai ojek online pun tidak ada yang mau ke sini untuk jemput. ‘Mba serius di dalam TPU? Itu manusia bukan?’ Serius, sempat kita digituin,” kenang Nurida.
Sebagai seorang pengajar, Nurida tidak bisa menutup mata saat melihat anak-anak pemulung mengais sampah untuk membantu orang tua mereka. Apalagi berlatar belakang sebagai bekas anak seorang pemulung, Nurida bisa memastikan masa depan mereka tidak akan membaik tanpa akses pendidikan.
Maka, dengan sedikit uang yang ia sisihkan, Nurida mulai membangun ruang belajar. Dengan adanya tempat untuk belajar, setidaknya ada atmosfer lain yang mendukung proses belajar -mengajar.
“Ketika dia (anak-anak pemulung) tidak memiliki Pendidikan ya dia tidak bisa kemana-mana. Jatuhnya akan sama, dia akan ke bawah-bawah juga. Tapi dengan Pendidikan, minimal dia SD, dia akan punya keterampilan. Kakak-kakak di sini selain material bisa bantu. Mau belajar apa, keterampilan apa, ayo sini kita bantu,” ungkap Nurida.
Bukan hanya mengajari membaca, Nurida membentuk stigma di kalangan orang tua. Baginya, inilah tantangan terbesar dalam mendampingi anak-anak didiknya.
“Ada kasus, anaknya mau belajar di saung, ibunya nggak boleh karena di rumah masih punya 2 atau 3 adik lagi, dia suruh jagain. Susah banget, kita mau ajak dia. Orang tuanya nggak mau. Ngapain? Buat apa keuntungannya apa? dia ditarik sama ibunya sambal marah-marah. Kita nggak bisa ngapa-ngapain dong,” kenang Nurida.
Saksikan Juga Sosok: Sungai Ciliwung Bersih di Tangan Mat Peci
(vys/fuf)
Sekolah Anak Pemulung di Pinggir Kuburan, Itu Manusia Bukan?
