Rampogan Macan di Blitar Dilarang pada 1910 Karena Bikin Harimau Makin Dikit

Blitar – Pada awal abad ke-19, tradisi Rampogan Macan dinilai menyebabkan populasi harimau Jawa terancam punah. Sebab, setiap hari ada puluhan harimau yang diburu dengan bengis.
Beberapa diawetkan lalu dijual pada saudagar. Beberapa lagi dikuliti karena motif rambutnya yang sangat unik. Harimau yang masih kecil atau belum dewasa biasanya dipelihara dan digunakan untuk Rampogan Macan.
Sekitar tahun 1910, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang-Undang Perlindungan bagi mamalia liar dan burung liar. Sehingga sejak saat itu tradisi Rampogan Macan ditiadakan.
Informasi ini didukung oleh arsip lama yang diabadikan circa 1877-1892 oleh H.G. Rimestadt dari Universiteit Leiden.
Namun pemerhati sejarah dan situs purbakala asli Blitar, Ferry Riyandika punya pendapat lain. Tradisi Rampogan Macan ternyata sarat pesan perlawanan dan perjuangan. Dalam budaya Jawa, macan merupakan simbol dari penguasa (Belanda). Sedangkan lembu, banteng atau kerbau, simbolisasi dari pekerja (pribumi atau rakyat Indonesia).
Di zaman Mataram, ada dua babak dalam tradisi ini. Babak pertama, banteng, kerbau atau lembu melawan harimau. Pada babak pertama ini, biasanya nyawa harimau berakhir di ujung tanduk lembu, banteng atau kerbau yang jadi lawannya.
Pada babak kedua, antara kerumunan manusia berhadapan dengan harimau. Namun pada masa selanjutnya, babak pertama dihilangkan dan langsung digelar babak kedua.
“Menurut saya, Belanda sudah mencium pesan yang tersirat di tradisi itu. Sehingga pada masa selanjutnya, adegan pada babak pertama dihilangkan. Kemudian baru tahun 1910 Belanda melarang digelarnya Rampogan Macan dengan membuat undang-undang perlindungan hewan itu,” ujar Ferry, Minggu (14/3/2021).
Dengan ditiadakannya Rampogan Macan, bagaimana dengan mitos tolak balak bagi Blitar? Menurut Ferry, sepertinya itu memang sebatas mitos, yang tidak layak diyakini kebenarannya.