Puasa dan Hidup Secukupnya

Jakarta

Sepulang kerja di hari pertama puasa, saya melintasi jalan yang biasa saya lewati. Suasana sore itu, khususnya di wilayah pasar, tidak seperti biasanya. Jika hari biasanya arus kendaraan berjalan lancar dan hening, saat ini semua kendaraan hanya bisa bergerak pelan sambil berkali-kali memekikkan suara klakson kendaraannya masing-masing.

Kemacetan ini tampaknya disebabkan oleh menjamurnya pedagang yang menjual makanan dan minuman untuk berbuka puasa. Tumpukan panganan dan berbagai jenis rupa minuman segar benar-benar berhasil memancing kerumunan manusia, baik itu yang berpuasa maupun tidak.

Melihat antusiasme para pembeli serta didorong oleh rasa lapar dan dahaga yang tinggi, saya pun tergoda untuk mampir. Penjelajahan yang berlangsung sekitar belasan menit itu berakhir dengan sekantong gorengan serta segelas es kopyor dan es buah di tangan. Tak lupa, saya menutup aktivitas berbelanja dengan memesan sebungkus nasi padang yang sudah disertai catatan khusus: “Nasinya agak dibanyakin ya!”

Sesampainya di rumah, saya pun merapikan belanjaan di atas meja. Meski hanya sendiri, saya yakin semua makanan dan minuman ini bakal ludes tak tersisa. Bahkan sempat terbersit dalam diri saya untuk menambah lagi persediaan yang ada. Namun, karena waktu berbuka sebentar lagi, niat itu akhirnya saya batalkan juga.

Ketika azan magrib berkumandang, saya pun berdoa seraya melakukan gerakan yang tangkas mengambil segelas es kopyor lalu mereguknya. Aliran es kelapa muda yang segar dan manis itu pun membasahi mulut serta kerongkongan. Setelah itu saya mengambil gorengan, mencocolnya ke sambal, lalu melumatnya dengan penuh kekhusyukan.

Anehnya, perkiraan saya yang yakin bahwa semua ini akan tandas ternyata keliru total. Setelah es kopyor dan beberapa biji gorengan masuk ke perut, saya sudah angkat tangan. Padahal, di hadapan saya masih tersisa beberapa gorengan, segelas es buah, dan nasi bungkus ekstra karbo yang siap menunggu giliran.

Asupan glukosa yang mulai menjalar ke tubuh mengaktifkan kembali daya pikir dan membuat saya merenung bahwa sebenarnya, saya hanya butuh sedikit makanan dan minuman. Adapun sisa makanan yang terbengkalai di hadapan saya menjadi bukti kekalahan saya dalam menahan hawa nafsu. Dan kekalahan ini lantas membuat saya menjadi orang yang berlebih-lebihan.

Latihan

Bulan puasa adalah bulan yang penuh dengan latihan dan pelajaran. Melalui berbagai ibadah dan aktivitas tambahan, kita dapat membangun kebiasaan baru yang positif dan menemukan hikmah yang inspiratif. Bagi saya pribadi, peristiwa berbuka puasa di hari pertama di atas merupakan pelajaran berharga.

Sebagai manusia yang hidup bersanding dengan hawa nafsu, kita sering kali gagal membedakan mana yang kebutuhan dan mana yang hanya sekadar keinginan. Kegagalan kita mengendalikan hawa nafsu yang mengarah pada pemuasan keinginan yang tiada habisnya inilah yang kerap berakhir pada permasalahan, baik itu untuk diri pribadi maupun lingkungan sekitar.

Contoh sederhana, jika saat berbuka puasa saya menutup mata terhadap apa yang sebenarnya saya butuhkan, barangkali saya akan menghabiskan semua makanan dan minuman yang ada di atas meja. Dan tentu saja, bisa ditebak akibat yang akan saya derita: perut mulas, sesak napas, dan rasa kantuk yang luar biasa. Akhirnya, saya pun pesimis bisa menjalankan ibadah selanjutnya.

Kalaupun saya tidak menghabiskan makanan itu semua, saya sudah melakukan kesalahan yang tak kalah fatalnya dengan yang pertama, yaitu membeli sesuatu secara berlebihan. Makanan dan minuman yang berlebih itu lalu menjadi tumpukan sampah. Berakhir dengan penuh kesia-siaan bahkan berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan.

Seperlunya

Dalam menjalani hidup, sebagian dari kita sebenarnya telah menyadari betapa pentingnya membedakan mana yang “kebutuhan” dan mana yang sekadar “keinginan”. Minimalisme misalnya, gaya hidup yang sempat tren beberapa tahun belakangan, berupaya membebaskan pengikutnya dari kehidupan yang berlebihan.

Ada banyak amalan yang mesti dijalankan dalam gaya hidup ini. Beberapa di antaranya ialah belanja seperlunya dan menyingkirkan barang yang tidak dibutuhkan. Mereka yakin betul bahwa kebahagiaan tidak lahir dari tumpukan barang yang menggunung. Bagi mereka, tumpukan tersebut malah membuyarkan perhatian pada apa yang benar-benar penting dalam hidup. Dengan kata lain, kebahagiaan lahir dari kebutuhan yang tercukupi, bukan dari tumpukan keinginan yang berserakan di sana-sini.

Begitu pula dengan tren bisnis akhir-akhir ini yang visinya ialah konsisten untuk tetap kecil. Usaha kedai kopi bernama Klinik Kopi di Jogja salah satunya. Di tengah larisnya usaha yang dijalani, Mas Pepeng (pemilik kedai) merasa cukup berjualan di satu tempat dengan sedikit karyawan.

Prinsip yang demikian itulah yang menurutnya dapat membawa kebahagiaan. Seandainya bisnis tersebut terlampau besar, ia malah khawatir apa yang selama ini ia dapatkan –kebebasan, kebahagiaan, ketenangan, dan waktu luang bersama keluarga– hilang dari genggaman.

Hal ini bertolak belakang dengan orientasi bisnis konvensional yang berambisi tanpa ada kata “cukup” dalam memutar modal dan keuntungan. Bagi para pelaku bisnis ala kolonial ini, ekspansi besar-besaran merupakan sebuah keharusan.

Persis seperti peristiwa berbuka puasa yang berlebihan, pola hidup dan gaya bisnis yang demikian ini juga sering kali berakhir buruk. Jika tidak percaya, amati kerusakan yang terjadi di sekitar kita, lalu tarik sumber masalahnya sampai ke akar. Maka, kita akan mendapati di balik itu semua, ada raksasa besar yang beroperasi dengan penuh kerakusan.

Raksasa ini, entah itu berwujud individu ataupun perusahaan, tak pernah puas menghisap dan merusak tempat-tempat yang ia datangi. Pergerakan yang ekspansif ini juga sering kali menyebabkan masalah lingkungan hingga keutuhan sosial masyarakat sekitar. Singkatnya, semua kerakusan ini bermula dari ketidakmampuan mengelola keinginan.

Selama puasa, kita bisa belajar banyak hal. Salah satunya, selama sebulan, lewat aktivitas berbuka puasa ini kita diajak untuk merenungi bahwa kebutuhan kita sebenarnya tidak sebanyak apa yang dibayangkan hawa nafsu kita. Perut-perut kita ini sebenarnya hanya butuh sedikit makanan. Yang membuat kita merasa perlu banyak hanyalah ketakutan, keinginan, dan hawa nafsu yang berlebihan.

Semoga kesadaran terhadap mana yang “kebutuhan” dan mana yang sekadar “keinginan” tidak hanya sebatas muncul pada saat berbuka puasa saja. Namun juga pada bagaimana kita menjalankan kehidupan, usaha, dan pekerjaan.

Ahmad Yazid pengajar muda di IAIN Pontianak

(mmu/mmu)

Terima kasih telah membaca artikel

Puasa dan Hidup Secukupnya