
Presidential Threshold 20% Dinilai Belum Efektif Perkuat Presidensiil

Jakarta –
Sejumlah pengamat dan para ahli menilai Presidential Threshold 20 Persen belum dapat memperkuat sistem presidensiil. Secara prinsip, mereka juga sependapat Presidential Threshold 20 persen tak relevan untuk diimplementasikan. Terlebih saat ini, sudah ada banyak gelombang judicial review Presidential Threshold 20 persen ke MK.
Hal itu terungkap dalam acara Executive Brief ‘Masukan Ilmiah-Akademik Terkait Presidential Threshold’. Beberapa yang hadir di antaranya Refly Harun, Prof Chusnul Mar’iyah, Rocky Gerung, Haris Azhar, Bivitri Susanti, Ferry Joko Yuliantono dan Radian Salman.
“Senator ada dua gelombang yang mengajukan judicial review. Ada juga dari Diaspora Indonesia dari 11 negara dan 27 pemohon. Ada dari Amerika, Inggris, Perancis, Belanda, Hong Kong, Taiwan, Australia, Jepang, Singapura dan beberapa negara lainnya,” kata Refly dalam keterangan tertulis, Sabtu (8/1/2021).
Terkait hal ini, Senator Tamsil Linrung menjelaskan DPD akan terus menyuarakan Presidential Threshold 0 persen.
“Baru ada dua gelombang yang mengajukan judicial review dari anggota DPD RI. Masih akan ada gelombang berikutnya yang akan mengajukan judicial review. Melalui forum ini tentu ini menjadi penguatan bagi perbaikan demokrasi kita,” katanya.
Di sisi lain, pengamat politik Rocky Gerung mengatakan Presidential Threshold 20 persen tidak menghasilkan kecerdasan junto untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
“Maka harus ada kompetisi bebas. Dalil MK gagal membuktikan bahwa sistem presidensial itu menjadi efektif. Padahal tak efektif,” katanya.
Menurutnya, argumentasi open legal policy memberikan diskresi kepada kekuasaan. Oleh karena itu, ia berharap para pakar hukum tata negara dapa berpihak pada kepentingan rakyat.
“Demokrasi itu intinya adalah kebebasan manusia. Kalau MK menghalangi kebebasan manusia, artinya MK hendak mengembalikan kepada absolutisme. Mari kita bongkar dengan basis akademik dan argumentasi yang kuat. Siapapun berhak mempersoalkan dalik buruk dari MK itu,” ujarnya.
Sedangkan Akademisi UGM, Zainal Arifin Muchtar menyebut open legal policy, yang didalilkan oleh MK dalam kasus ini, dapat diimplementasikan sepanjang hal tersebut tidak melampaui kewenangan.
“Lalu juga sepanjang tidak menimbulkan persoalan kelembagaan dan tidak membuat deadlock yang merugikan masyarakat, serta tidak melanggar rasionalitas dan moralitas,” kata Zainal.
Aktivis lainnya, Bivitri Susanti menilai open legal policy merupakan konsep yang tak jelas, namun kerap dibuat sebagai wadah saat MK tak mau membahas yang semestinya dibahas.
“Yang harus ditekankan, MK belum pernah menjawab secara konstitusional dari 21 perkara yang sudah digugurkannya itu. Pertanyaannya, apakah ambang batas itu bersesuaian dengan pencalonan presiden? Itu belum dijawab. Apakah open legal policy itu melanggar konstitusi atau tidak? Itu juga belum dijawab,” ungkapnya.
Di banyak negara, kata Bivitri, ambang batas pencalonan presiden menjadi hal yang jarang digunakan. Adapun mereka pada umumnya sering memakai ambang batas keterpilihan.
“Tentu presidential threshold akan membuat diskriminasi. MK keliru kalau menyebut Presidential Threshold akan memperkuat presidensiil. Padahal presidensiil tak membutuhkan seleksi awal untuk pencalonan,” tuturnya.
Di sisi lain, aktivis HAM Haris Azhar pun meninjau Presidential Threshold dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Menurutnya, dalam hal ini partai politik mewakili kepentingan rakyat.
“Tapi faktanya, produknya justru berhadap-hadapan dengan rakyat. Mari kita bawakan laporan yang sudah dilaporkan ke Komnas HAM, Ombudsman, Walhi, Kontras, YLBHI ke MK. Itu bukti bahwa warga tercederai oleh pemerintah dan DPR,” katanya.
“Presidential Threshold ini apa, untuk menggolkan presiden saja atau untuk menjaga hak rakyat. Nyatanya 20 persen menciptakan emperium kekuasaan. Ini tentang relasi partai yang gagal memperjuangkan kepentingan rakyat,” tambahnya.
Sementara itu, Akademisi UNAIR, Radian Salman menyampaikan MK menggunakan pertimbangan mengenai desain penguatan sistem presidensiil dengan cara pandang dan asumsi MK, khususnya mengenai PT dihubungkan dengan stabilitas, governability dan penyederhanaan parpol.
“Kecenderungan yang terjadi, presiden terpilih akan menempuh cara-cara kompromi atau tawar-menawar politik (political bargaining) dengan partai-partai pemilik kursi di DPR,” ujarnya.
“Cara yang paling sering dilakukan adalah dengan memberikan ‘jatah’ menteri kepada partai-partai yang memiliki kursi di DPR, sehingga yang terjadi kemudian adalah corak pemerintahan yang serupa dengan pemerintahan koalisi dalam sistem parlementer,” imbuhnya.
Terkait hal ini, Prof Chusnul Mar’iyah menilai MK sepertinya membutuhkan ahli politik selain ahli hukum.
“Kita jangan dipaksa-paksa 20 persen. Tujuan kita bernegara apa? Presiden itu kepala negara dan kepala pemerintahan. Melindungi, mensejahterakan dan mencerdaskan. Kalau teori kepartaian, fungsinya kaderisasi. Partai tak ada yang 20 persen. Kok melegalkan 20 persen. Anda mau merentalkan partai atau memaksakan koalisi brutal?” tanya Prof Chusnul.
Melihat hal tersebut, Prof Chusnul pun menilai bahwa teori kepartaian masih belum dapat berjalan sesuai fungsinya.
“Mestinya dia mengusung kader sendiri,” pungkasnya.
Sebagai informasi, hadir dalam kegiatan tersebut antara lain, Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Senator Tamsil Linrung (Sulsel), Habib Abdulrrahman Bahasyim (Kalsel), Bustami Zainuddin (Lampung), Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin dan Togar M Nero, serta Sekretaris Jenderal DPD RI Rahman Hadi.
(akn/ega)
Presidential Threshold 20% Dinilai Belum Efektif Perkuat Presidensiil
