
Non-Muslim Sebagai The Inner Circle

Jakarta –
Menjadikan orang-orang non-muslim sebagai orang dalam keluarga dan struktur pemerintahan (The inner circle) bukan sesuatu yang asing. Semenjak Nabi Muhammad Saw disusul para sahabat dan terus dilanjutkan oleh khilafah berikutnya, baik Mu’awiyah, Abbasiyah, maupun khilafah kecil semuanya sering melibatkan orang-orang non-muslim sebagai bagian yang tak terpisahkan di dalam pembangunan dan pembinaan masyarakat.
Ketika Salman al-Farisi, seorang yang berketurunan Persia, belum muslim, ia sudah akrab dengan Nabi. Ia sering memberikan shadaqah dan hadiah kepada Nabi dan para sahabat Nabi. Salman al-Farisi diperlakukan segaimana layaknya seorang muslim. Ia dikenal salahseorang arsitek perang yang handal. Ia juga yang merancang banteng Nabi di Madinah berupa penggalian parit (khandaq). Pada akhirnya ia masuk Islam dan ua tetap mendapatkan kepercayaan terhadap Nabi dalam banyak hal.
Kehadiran non-muslim di lingkungan Nabi adalah biasa. Keluarga dari salah seorang Isterinya, Maria binti Syam’un Al-Qibthiyyah al-Mishriyyah, dari kelompok Kristen Koptik Mesir. Demikian pula keluarga isteri Nabi bernama Shafiyah binti Hayy, ayahnya masih aktif sebagai salah seorang pemimpin Yahudi. Keluarga mantan suami putrinya, Zainab binti Muhammad juga ada yang beragama non-muslim. Yang tak bisa dilupakan ialah sepupu Khadijah, Waraqah bin Naufal ibn Asad ibn Abdul ‘Uzzah, tokoh Kristen, yang menenangkan Nabi setelah mendapatkan wahyu pertama dari Goa Hira. Sahabat-sahabat karib Nabi juga banyak non-muslim, terutama relasi bisnisnya ketika masih aktif sebagai saudagar di Mekkah.
Kepercayaan dan kedekatan Nabi dengan orang-orang non-muslim, diikuti juga oleh sahabat-sahabatnya yang lain. Periode Khulafaur Rasyidin, Umar bin Khaththab banyak melibatkan non-muslim sebagai the inner circle di dalam pemerintahannya. Umar pernah mengangkat staf khususnya dari bangsa Romawi non-muslim. Demikian pula Utsman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, dan sejumlah raja dari kerajaan Bani Umayyah dan Bani Abbas, juga melibatkan orang-orang non-muslim di dalam pemerintahan mereka. Kebanyakan di antara mereka para dokter, ahli bahasa dan penerjemah.
Banyak nama besar non-muslim pernah berkibar di dalam pemerintahan dunia Islam, terutama dalam pemerintahan Bani Abbas. Di antara nama-nama tersebut ialah Hunain bin Ishaq (Kristen), Sabit bin Qurra (animisme), dan Abu Bisr Matta bin Yunus (Kristen). Pemerintahan Bani Umayyah juga ada sejumlah nama non-muslim memegang peran penting, terutama di dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan kedokteran.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa kehadiran orang-orang non-muslim di dalam pemerintahan dunia Islam, baik di dalam struktur keluarga maupun dalam struktur pemerintahan merupakan sesuatu yang biasa. Mulai dari periode Nabi Muhammad Saw, khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbas, sampai Bani Utsman, tidak ada masalah dalam kehadiran orang-orang non-muslim. Justru kehadiran mereka sering dimanfaatkan untuk mendekatkan dan menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat. Bagaimanapun juga persatuan dan kesatuan merupakan prasyarat untuk
membangun masyarakat dan Negara ideal.
Merangkul yang berserakan, menghimpun yang berbeda, dan mendekatkan yang jauh adalah strategi yang selalu digunakan Rasulullah Saw dalam meraih sukses. Salah satu rahasia Nabi melakukan poligami yang oleh kondisi saat itu ialah merangkul kabilah-kabilah yang jauh dengan mengawini janda pimpinan kabilahnya. Ada beberapa isteri Nabi mantan pimpinan kabilah yang gugur di medan perang bersama Nabi. Inilah antara lain faktor yang menyebabkan isteri-isteri Nabi semuanya janda keculi Aisyah ra.
Prof. Nasaruddin Umar
Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis
(erd/erd)
Non-Muslim Sebagai The Inner Circle
