Nasib Asabri-Taspen Pascaputusan MK

Jakarta –
Rencana pengalihan PT Asabri (Persero) dan PT Taspen kepada BPJS Ketenagakerjaan kandas di Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai dengan Putusan yang dibacakan pada 30 September 2021. Pada awalnya, proses peleburan Asabri dan Taspen ke BPJS Ketenagakerjaan sudah masuk program peta jalan pemerintah. Pengalihan ini rencananya akan tuntas pada 2029 sesuai dengan amanat Pasal 65 Ayat (1) dan (2), UU Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Tetapi, rencana tersebut dibatalkan oleh MK melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XVIII/2020 dan Putusan MK No.72/PUU-XVII/2019 yang menyatakan: Pasal 57 huruf e dan Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan hak setiap orang atas jaminan sosial sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan amanat bagi negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan sebagaimana termaktub dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.
Mahkamah berpendapat, dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) Pasal 1 angka 6 menyatakan: “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.” Definisi demikian menurut Mahkamah menghendaki lembaga yang menyelenggarakan program jaminan sosial bukanlah satu badan hukum saja, melainkan bisa dua, tiga, empat, atau lebih. Hanya saja, badan-badan dimaksud mesti dibentuk dengan Pasal 5 UU SJSN. Kebijakan terkait desain kelembagaan penyelenggara jaminan sosial dimaksud juga sejalan dengan realitas beragamnya pekerjaan atau profesi yang dapat dipilih oleh setiap orang sesuai dengan kebebasannya untuk memilih pekerjaan.
Dalam kerangka inilah sesungguhnya UU SJSN memilih badan hukum penyelenggara jaminan sosial bukan merupakan lembaga/badan tunggal, melainkan jamak, bisa dua, tiga, empat, atau lebih. Oleh karena itu, konsep peralihan kelembagaan Taspen dan Asabri menjadi BPJS Ketenagakerjaan yang menyebabkan hilangnya entitas persero menyebabkan ketidakpastian hukum dalam transformasi beberapa badan penyelenggara jaminan sosial yang telah ada sebelumnya sesuai dengan karakter dan kekhususannya masing-masing.
Atas putusan MK tersebut di atas, apakah peluang Asabri dan Taspen untuk menggabungkan diri ke BPJS sudah tertutup?
Masih Memungkinkan
Putusan MK memiliki karakteristik bersifat final dan mengikat (final and binding), artinya tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Tetapi, sifat dari putusan MK yang final dan mengikat dalam praktiknya tidak implemetatif dan tidak dijalankan secara keseluruhan.
Direktur Eksekutif Indonesia Legal Roundtable (ILR) Firmansyah Arifin mengatakan bahwa putusan MK yang dikabulkan sebagian telah diimplementasikan; sebagian kecil putusan lain belum diketahui tindak lanjutnya. Dari implementasi putusan yang sudah diketahui tersebut di antaranya terdapat putusan yang non-implementatif yang seluruhnya seluruhnya berjumlah 65 putusan dalam rentan waktu 2013-2018.
Beberapa contoh dari Putusan MK yang tidak diimplementasikan oleh pemangku kepentingan dalam hal ini adalah eksekutif dan legislatif di antaranya Putusan Nomor 92/ PUU-X/2012. Dalam putusan ini, Mahkamah menyatakan bahwa seluruh ketentuan dalam UU No 27 Tahun 2009 serta UU No 12 Tahun 2011 yang telah mereduksi kewenangan Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana telah ditentukan oleh UUD 1945 atau setidaknya telah mengurangi fungsi, tugas, dan kewenangannya yang dikehendaki konstitusi harus dinyatakan inkonstitusional. Tetapi, secara substansial putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dimuat kembali dalam UU No Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Selain itu, terdapat putusan MK yang dimodifikasi penamaannya oleh pembuat undang-undang. Sebagai contoh dalam Putusan MK No.100/PUU-XI/2013 yang menyatakan “Frasa empat pilar berbangsa dan bernegara” yaitu dalam UU No 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi, pada 2014, frasa “Empat Pilar” kembali dimasukan dalam UU No 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Artinya, penerapan atas putusan MK tidak serta merta dapat diterapkan oleh pemangku kebijakan. Hal inilah yang membuka peluang rencana PT Asabri dan PT Taspen untuk menggabungkan diri ke BPJS masih memungkinkan. Terkait dengan bentuknya, dapat dilakukan dengan membuat norma atau materi muatan yang baru atau memodifikasi norma atau materi muatan yang sudah ada di dalam undang-undang yang baru.
Sebagai lembaga yang mempunyai kekuasaan yudikatif, tentu sifat dari putusan MK yang bersifat final dan mengikat merupakan sebuah kewajiban bagi pemangku kebijakan untuk melaksanakannya. Hal ini termaktub dalam Pasal 57 UU No 7 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan: “Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”
Hal ini secara tegas mengartikan materi muatan Pasal 57 huruf e dan Pasal 65 ayat (1) UU BPJS tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan apabila rencana penggabungan tersebut tetap dipaksakan untuk dilakukan oleh pemerintah, maka berdampak pada tindakan tersebut tidak memiliki dasar hukum sehingga pemerintah dinilai akan melanggar hukum apabila penggabungan ini tetap dilaksanakan.
Tetapi, persoalan yang timbul dari pengaturan ini muatan pasal yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 hanya sebatas pengaturan yang termuat dalam suatu undang-undang yang dimohonkan judicial review saja. Masih ada kemungkinan dan peluang bagi pemerintah untuk memasukan norma atau materi muatan pasal yang sama dengan apa yang telah dibatalkan oleh MK di dalam undang-undang yang baru seperti halnya contoh putusan MK Nomor 92/ PUU-X/2012 dan Putusan MK No.100/PUU-XI/2013 tersebut di atas. Hal ini jelas menimbulkan ketidakpastian hukum.
Karena dimungkinkan apabila Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang BPJS dicabut dan dibuat undang-undang baru, maka masih ada peluang untuk memasukkan muatan materi pasal yang sama atau modifikasi materi muatan pasal terkait dengan penggabungan Taspen dan Asabri kepada BPJS Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Baru
Status putusan MK yang wajib dijalankan juga termuat dalam Pasal 10 UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyebutkan: “Materi muatan yang harus di atur dengan undang-undang berisi salah satunya adalah tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi.” Selanjutnya, dalam UU yang sama, Pasal 23 menyebutkan di dalam prolegnaS, dibuat daftar kumulatif terbuka yang salah satunya terdiri atas akibat Putusan Mahkamah Konstitusi.
Artinya, apabila nanti pemerintah akan membuat undang-undang baru pengganti UU Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS harus mengikuti putusan dan patuh terhadap putusan MK untuk tidak memasukkan materi muatan pasal atau ayat yang menyatakan penggabungan PT Taspen dan PT Asabri kepada BPJS Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini karena putusan MK mempunyai karakteristik yang spesial dalam pembuatan UU yang baru untuk diperhatikan dalam prolegnas.
Tetapi, hal ini tentunya kembali kepada pemerintah dan praktik pelaksanaan di lapangan, karena memang tidak adanya peraturan yang mengatur mekanisme apakah materi muatan dari suatu pasal atau ayat dalam undang-undang akan selamanya tidak boleh digunakan dalam UU yang baru atau tidak.
Oleh sebab itu, rencana penggabungan PT Asabri dan PT Taspen apabila dilihat dari segi peraturan perundang-undangan memang sudah tidak mungkin dilakukan, tetapi peluang penggabungan tersebut tetap masih ada berdasarkan praktik penerapan atas pelaksanaan putusan MK yang dalam praktiknya ada yang tidak dapat diimplementasikan.
(mmu/mmu)