Naruto, Blendrang, dan Kenangan

Jakarta

Kematian Kurama, seekor Kyuubi (monster rubah berekor sembilan) dalam serial anime Boruto: Naruto Next Generation episode 218 menjadi trending di media sosial dan membuat banyak para pembaca manga dan penonton anime ini menangis. Saya sendiri adalah aliran pengikut Naruto lawas yang mencukupkan diri tamat di serial Naruto Shippuden. Menurut saya tidak semua film atau serial bagus harus dibuatkan sekuel, dan Naruto termasuk salah satunya.

Saya tidak bisa menikmati jalan cerita Boruto karena banyak hal. Tapi melihat cuplikan episode Kurama mengucapkan selamat tinggal ke Naruto tetap membuat mbrebes mili. Teriakan Naruto ke Kurama sungguh memilukan hati. Ya bagaimana lagi, Kurama sudah bersama Naruto dari bayi hingga dewasa. Datang sebagai bencana, mati sebagai legenda.

Episode yang menyedihkan ini membuat beberapa orang membuat konten flashback ke masa-masa Naruto kecil, remaja, hingga dewasa. Salah satu konten yang membuat saya menangis sampai menghabiskan banyak tisu adalah kumpulan teriakan tokoh-tokoh anime ini ketika orang yang dicintainya meninggal dunia dalam pertarungan. Teriakan Naruto ketika ditinggal Kurama memang sakit, tapi buat saya pribadi lebih menyakitkan ketika mendengar teriakan Shikamaru Nara ke gurunya, Asuma Sarutobi, Ino Yamanaka ke gurunya, Asuma Sarutobi, Rock Lee ke rekan setimnya, Neji Hyuuga, Tsunade Senju ke kekasihnya, Dan Katou, dan Sasuke Uchiha ke kakaknya, Itachi Uchiha (meski Sasuke yang membunuh Itachi sendiri).

Ternyata saya tidak sendiri. Beberapa teman yang tentu saja banyak yang sudah menjadi bapak dan ibu muda juga menangis ketika Kurama mati dan diteruskan menonton konten flashback Naruto. Kalau dipikir kok kayaknya konyol ya, kalau yang tidak paham rasanya pasti berkomentar, “Halah cuma anime,” tapi entahlah, perasaan ini sungguh tidak dapat dibendung. Apalagi sambil mendengar instrumen musik yang mengiringinya, Sadness and Sorrow, semakin membuat banjir air mata.

Saya merasakan perbedaan emosi ketika membaca manga ini di majalah Shonen Jump ketika SMP, menonton animenya di masa dulu dan menontonnya lagi di masa sekarang. Dulu, saya hanya tahu kalau di dunia ini hanya hitam dan putih. Baik dan jahat. Saya hanya fokus ketika mereka bertarung dan saling adu jutsu. Tapi ketika sekarang menontonnya, saya malah lebih banyak menangis.

Ternyata cerita Naruto ini banyak mengandung bawang. Tokoh-tokohnya banyak yang mengalami konflik batin, termasuk tokoh antagonisnya. Bahkan tokoh Haku, dan Sasori Si Pasir Merah, yang menjadi musuh dalam kisah ini, ketika mereka mati, saya ikut menangis. Cara mereka mati dan masa lalu yang membuat mereka sampai menjadi jahat, berhasil membuat saya simpatik. Tidak ada yang ujugujug menjadi jahat, tapi pengalaman hidup yang pahit, mempertahankan keyakinan, melindungi orang yang dicintai lah yang membuat mereka menempuh jalan begitu.

Tanpa sadar ternyata kami masuk dalam fenomena mem-blendrang diri sendiri. Ini istilah yang saya ciptakan sendiri tentu saja. Dari kata blendrang yang berarti sayur yang dihangatkan. Saya mengenal istilah blendrang sendiri dari teman yang berasal dari Blitar, Jawa Timur. Di kampung saya, saya lebih mengenalnya sebagai oblok-oblok, tapi intinya sama saja, jangan nget-ngetan alias sayur yang dihangatkan.

Dalam kultur kuliner di kampung saya, memang ada sayur yang justru lebih enak kalau dihangatkan seperti lodheh tewel (nangka muda) atau sayur rebung. Rebung ketika baru matang malah terasa sepa, lebih enak ketika sudah dihangatkan 2-3 kali.

Ini kok dari Naruto sampai ke blendrang apa hubungannya? Haha. Di atas saya tulis bahwa kami sedang memutar masa lalu, kembali ke kenangan ketika menonton Naruto dari kecil sampai dewasa. Kami menikmati kenangan itu. Untuk saya sendiri pertama kali membaca manga Naruto karena dipinjami teman saya ketika SMP adalah sedikit kenangan menyenangkan pada masa sekolah saya yang suram.

Lalu menonton anime Naruto bersama teman-teman UKM ketika kuliah adalah salah satu masa-masa menyenangkan ketika saya merantau. Mengingat kenangan sungguh menyenangkan. Tanpa terasa saya terbuai dan sedikit melupakan kenyataan hidup yang ternyata semakin berat. Tapi terlalu tenggelam dalam kenangan masa lalu ternyata juga menyakitkan. Melihat lagi kumpulan flashback anime Naruto saja bisa membuat saya menangis seharian.

Saya menyimpulkan sendiri tentang filosofi blendrang. Sayur yang sudah tidak baru lagi, sesuatu yang dihangatkan lagi yang dianggap enak. Saya teringat cerita ibu dan simbah saya dulu. Katanya, keadaan paceklik waktu itu membuanya terpaksa ngirit kalau makan. Apalagi dulu banyak orangtua yang anaknya banyak. Ibu saya sendiri 9 bersaudara. Jadi untuk mencukupi kebutuhan makan, masak sayur satu wajan tidak dihabiskan hari itu juga, bisa untuk dua atau tiga hari setelahnya.

Rasa bumbu yang sudah mengendap dan lebih asin, untuk sekali makan tidak butuh banyak, cukup 1-2 sendok untuk setiap orang, untuk teman nasi. Makanya sayur bisa awet, bisa untuk 3 hari. Saya juga mengalami ketika bapak saya pulang dari berbagai macam undangan kenduri, semua sayur dan lauk dicampur menjadi oblokoblok atau blendrang. Jadi berbagai macam jenis dan warna sayur dan lauk. Tumplek blek campur bawur, sudah tidak teringat lagi apa saja yang tercampur dan rasa aslinya. Tapi karena makannya pas lapar dan hangat ya enak. Dalam hati saya membatin, ini seperti kenangan dikamuflase.

Saya pernah dikomentari seorang teman kelahiran Sumatera. Katanya penyuka blendrang seperti saya memang jenis orang penyuka kenangan. Di kampungnya sana tidak mengenal blendrang. Di sana masakan dimasak untuk dimakan hari itu juga, tidak untuk esok harinya. Kecuali untuk beberapa masakan yang memang sengaja diawetkan seperti rendang. Jadi masak memang untuk sehari itu. Karena itu katanya dia adalah orang tipe gampang move on, tidak seperti saya.

Tentu saja ini hanya othak-athik gathuk alias cocoklogi. Meski katanya penikmat blendrang ini tipe orang yang susah move on, tapi bagi saya, penikmat blendrang dan kenangan ini orang-orang yang hidupnya penuh dimensi, warna-warna, bercita rasa. Mereka suka menghubung-hubungkan cuilancuilan masa lalu menjadi bongkahan masa kini. Tapi juga punya potensi menjadi orang-orang yang menderita.

Orang-orang yang hidupnya berwarna-warni bisa jadi lebih banyak cengengnya. Tapi karena sering apes, akhirnya bisa berteman dengan keadaan. Pada akhirnya menjalani hidup apa adanya, syukur-syukur masih bisa mewujudkan impian yang sebatas cuilan itu tadi.

Mengenang masa lalu memang terkadang menyenangkan. Tapi ketika berlebihan akan menyiksa diri sendiri. Bahkan untuk hal yang sepertinya sederhana yaitu menonton tontonan masa kecil seperti anime. Jujur saya ketika di umur sekarang menonton Naruto itu lebih mudah membuat menangis. Ternyata di dalamnya banyak permasalahan yang baru saya paham ketika dewasa. Cerita tentang kesepian, hubungan keluarga yang bermasalah, kehilangan, dan pilihan-pilihan yang sulit banyak diceritakan di sana.

Menjadi dewasa memang menyakitkan. Saya baru paham ucapan Shikamaru Nara ke Kurenai Yuhi ketika mereka berziarah ke makam Asuma Sarutobi, “Dunia tidak akan membiarkan aku menjadi anak kecil selamanya, jadi aku tidak bisa berbohong bahwa aku menangis.”

Mengenang masa lalu tidak selalu karena kita terlalu menyesal atau ingin mengubahnya. Terkadang hanya ingin mengenang saja seperlunya. Seperti dalam dua tweet dari akun @fajarbo yang tidak sengaja melintas di lini masa Twitter saya.

“Perihal masa lalu, kita pun sadar, kadang beberapa orang kerap masih mengingat-ingat jalan ceritanya, namun bukan berarti ia ingin kembali dengannya. Bukan sebuah bentuk kesalahan jika masih menyimpan ingatan, karena mungkin ada beberapa hal yang belum sempat tersampaikan. Sebuah kenangan hanya berupa ingatan tentang beberapa hal yang memiliki akhir. Dan apapun yang berakhiran, semua memiliki alasan untuk dikenang.”

Kata penulis Mesir favorit saya, Naguib Mahfouz, orang yang tetap memikul masa lalunya, maka langkah perjalanannya akan tersandung. Memang blendrang itu seperti kenangan, sisa-sisa masa lalu yang selalu menggoda untuk diisap, dikunyah, dan ditelan. Tapi seperti blendrang, kenangan bukan sesuatu yang segar dan terjamin gizinya. Jadi lebih cocok untuk selingan saja. karena kalau makannya kebanyakan, tidak akan menyegarkan hidup kita di masa sekarang.

Mendungan, 09 Oktober 2021

Impian Nopitasari penulis, tinggal di Solo

(mmu/mmu)

Terima kasih telah membaca artikel

Naruto, Blendrang, dan Kenangan