Mitos Dukungan Pengembangan UMKM

Jakarta

Pagi itu saya berdua dengan suami olah raga tipis-tipis di stadion yang lagi viral di mana ratusan Aremania meregang nyawa. Seperti biasa setiap hari Minggu tempat itu ramai pengunjung karena jadi ajang penjual aneka produk lokal, terutama kuliner. Mereka buka lapak di situ atas niat dan biaya pribadi, tidak tergabung dalam komunitas UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) di bawah dinas atau instansi.

Di ujung putaran terakhir dekat tempat parkir ada berjajar tenda-tenda warna putih tua sedikit lusuh ditata dua baris saling berhadapan membentuk kluster dengan point of interest panggung berdekor salah satu lembaga swadaya masyarakat. Di depan pintu masuk ada salah satu stand yang buka bertuliskan tempat pendaftaran sertifikat halal gratis Kemenag. Di seberangnya stand UMKM Dinas Koperasi, di sebelahnya masih belum buka atas nama Diskranasda dan lain-lain.

Suasana sepi dan masih banyak yang tutup. Mungkin penjaganya masih terlelap. Mereka begadang jaga stand sampai larut malam, menunggu seremonial panggung utama selesai dan undangan pamit pulang. Biasanya seperti itu. Terlintas ingat dua puluh tahun yang lalu saat aktif di komunitas UMKM.

Kami sempatkan masuk dan ngobrol di dua stand yang kebetulan sudah buka. Terlihat UMKM dari kecamatan kami banyak yang menitipkan produknya di stand ini. Sepi pengunjung dan hanya kami berdua yang singgah sekadar ngobrol. Ternyata ini event untuk meramaikan acara salah satu lembaga swadaya masyarakat. “Ini mendadak, Bu, kami belum siap produk, jadi yang ada saja kita pajang,” jelas penjaga stand yang juga anggota komunitas UMKM.


Yang saya tahu, dari dua puluh tahun yang lalu sampai hari ini komunitas UMKM itu-itu saja kegiatannya. Membuat produk, mengurus berbagai macam perizinan, dan berlomba-lomba memperindah kemasan. Pelatihan-pelatihan di hotel berbintang bonus uang transpor sebagai program menghabiskan anggaran. Sedangkan pemasarannya dengan cara pameran dari bazar ke bazar hanya untuk memeriahkan suasana atau sebagai show off “UMKM binaan penyelenggara”. Artinya, produk yang dipajang hasil dari comot sana-sini.

Sudah beberapa kali petugas dari Dinas Kesehatan survei ke rumah sebagai persyaratan mendapatkan No. PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga). Kebetulan kami ada beberapa produk. Dan, beberapa kali itu juga kami harus menyiapkan satu tas bingkisan untuk tim mereka tiga sampai empat orang. “Matur nuwun…ada satu lagi nggak, Bu…buat sopir,” bilang ibu ketua rombongan tanpa malu-malu.

Belum lagi kalau ada acara yang menghadirkan pejabat, UMKM bagian disambati untuk meramaikan acara dengan alasan pemasaran produk dan diminta produknya untuk suvenir, bingkisan, atau oleh-oleh tamu pejabat. Bayarnya ucapan terima kasih dan pujian, “Produknya keren, Bu.” Sekadar menyemangati kaum mikro dan pejuang kecil menengah yang penuh harap agar suatu saat mereka beli produk kita. Sebuah harapan tak berujung. Yang dianggap kecil biasanya malah berjiwa besar!

Sedikit istimewa, UMKM selalu diiming-imingi dengan kesempatan dan kemudahan ekspor produk. Seperti yang disampaikan oleh pembicara dari Kantor Bea Cukai saat pertemuan Pengusaha Mikro Kecil Menengah (PMKM) di kota Batu bulan lalu. Gampang sekali sepertinya proses ekspor produk meski ujung-ujungnya berhenti di kurasi oleh instansi terkait. “Ayo, bapak-ibu semangat, kami siap membantu UMKM yang ingin ekspor produknya. Silakan datang ke kantor kami!” Bla bla bla.

Selang beberapa menit kemudian ada testimoni dari salah satu UMKM yang sudah sukses ekspor. Intinya untuk bisa ekspor tidak semudah seperti apa yang disampaikan ibu cantik dari Bea Cukai itu. Dia sukses atas bantuan mantan bosnya yang di luar negeri. Bukan karena komunitas UMKM yang puluhan tahun dia ikuti. Yang kecil memang gampang dan lucu untuk dimainkan!

Salah satu produk kami sambel kecombrang pernah lolos dalam satu kurasi oleh salah satu eksportir. Kebetulan ada pihak ketiga yang membawa. Dan, kebetulan lagi kami tidak mudah tergiur janji-janji. Pihak ketiga minta prosentase dengan cara kami diminta menambahkan sekian rupiah di harga jual per botolnya. Ini percaloan, kata saya dalam hati sambil tersenyum. Meski kecil sepertinya keringatnya manis, banyak yang melirik, terpikat bahkan meminang. Itulah UMKM.

Di satu sisi pemerintah sedang menganakemaskan UMKM dengan buaian bantuan anggaran (terima kasih, Pak Jokowi), di banyak pihak berusaha bagaimana caranya anggaran bisa keluar tanpa melihat azas manfaat untuk UMKM-nya sendiri. Seperti program matching fund (dana pendampingan) kampus merdeka dari Kemendikbudristek yang pernah kami terima lewat salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya (terima kasih, Pak Nadim Makarim).

Bersyukur dapat bantuan berupa seperangkat alat produksi dan kemasan keren. Sorry to say, kalau matching fund menyenangkan, tapi kurang membahagiakan. Ibarat anak, kami tidak melulu berharap materi, kami juga butuh diperhatikan dan dihargai.

Dua minggu lalu teman suami saya dari Sibolga, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara menelepon. Dia ikut komunitas UMKM. Yang tadinya menawarkan produk, jadi curhat tentang kurang sregnya ikut kegiatan UMKM. Demikian juga teman di Kudus. Tadinya saya salut, begitu maju kelompok UMKM di sana. By the way…ternyata mereka membuat grup dan secara swadaya membuat pasar sendiri juga dalam satu RW, satu kluster lingkungannya saja. Lumayan bisa bertahan tanpa pendampingan.

Namanya juga Usaha Mikro Kecil Menengah. Coba ganti nama Usaha Mikro Kecil Membesar, atau sekalian dibuat seperti sekolah atau tempat belajar membuat usaha alias kursus pengusaha mikro kecil menengah, jadi bisa ganti nama UMKM A atau UMKM B, menengah Atas atau menengah Bawah. Jenjangnya jelas dan punya kelas. Tidak perlu iming-iming naik kelas. Selain itu anggota biar tidak “baperan” dan H2C (harap-harap cemas). Minimal jadi tahu diri. Karena masih belajar, tidak akan berharap apa-apa, mau naik kelas, lulus atau malah tamat.

Baru mau menutup tulisan ini, ada yang kirim pesan WA dari salah satu pengurus PKK desa. “Bu, ada stok barangnya? Ini ada kunjungan dari PKK Kecamatan diminta memajang produk UMKM. Kalau ada bisa nggak pinjam untuk contoh, biar tahu kalau desa kita banyak UMKM.” Saya balas WA dengan emoticon senyum. Speechless.

Sadar Cahayani pelaku UMKM

(mmu/mmu)

Terima kasih telah membaca artikel

Mitos Dukungan Pengembangan UMKM