Merintis Kesetaraan Gender

Jakarta –
Nabi berhasil mengangkat martabat perempuan menjadi manusia yang setara dengan kaum laki-laki. Sebelumnya nasib kaum perempuan masih dianggap tidak pantas disetarakan dengan kaum laki-laki. Perempuan masih dimitoskan sebagai separuh iblis dan laki-laki dimitoskan separuh Tuhan. Ada tiga konsep teologi yang mencitranegatifkan perempuan perlu ditinjau kembali, yaitu perempuan tercipta dari tulang rusuk, perempuan diciptakan untuk melengkapi hasrat laki-laki, dan perempuan penyebab jatuhnya Adam dari langit kebahagiaan ke bumi penderitaan. Sesungguhnya asumsi ini tidak ditemukan dasarnya yang kuat di dalam Al-Qur’an dan hadis, tetapi lebih banyak berasal dari kitab-kitab suci lain. Bahkan dengan tegas Syekh Muhammad Abduh menjelaskan, seandainya tidak pernah ada cerita-cerita Baibel tentang asal-usul penciptaan perempuan maka tidak muncul pencitraan negatif terhadap perempuan.
Di dalam Alkitab keberadaan perempuan secara tegas dinyatakan bahwa maksud penciptaan perempuan (Hawa) adalah untuk melengkapi salah satu hasrat keinginan Adam. Penegasan ini dapat dilihat di dalam Kitab Kejadian/2:18: “Tuhan Allah berfirman: ‘Tidak baik kalau seorang laki-laki sendirian dan karenanya Eva (Hawa) diciptakan sebagai pelayan yang tepat untuk Adam (a helper suitable for him). Dalam literatur Islam, baik Al-Qur’an maupun Hadis, cerita seperti ini tidak dikenal. Dalam Hadis hanya dikenal nama Hawa sebagai satu-satunya isteri Adam. Dari pasangan Adam dan Hawa lahir beberapa putra-putri yang kemudian dikawinkan secara silang. Dari pasangan-pasangan baru inilah populasi manusia menjadi berkembang.
Tentang tujuan penciptaan perempuan dalam al-Qur’an, tidak terdapat perbedaan penciptaan laki-laki, yaitu sebagai khalifah (Q.S.Q.S. al-An’am/6:165) dan sebagai hamba (Q.S.Al-Dzariya/51:56). Kedua fungsi ini diemban manusia semenjak awal penciptaannya, terutama yang tercermin di dalam perjanjian primordial manusia dengan Tuhannya (Q.S. al-A’raf/7:172). Dalam ayat lain ditegaskan bahwa tujuan penciptaan perempuan sebagai manifestasi dari komitmen Tuhan yang menciptakan hambanya dalam keadaan berpasang-pasangan (Q.S. al-Dzariyat/51/49).
Pernyataan teologis yang menyebutkan perempuan (Hawa) berasal dari tulang rusuk, paling bawah, bengkok, sebelah kiri Adam paling banyak disoroti kaum feminis, karena itu artinya memberikan pembenaran perempuan sebagai subordinasi laki-laki. Isu tulang rusuk ini seolah menjadi isu universal pada hampir semua agama dan kepercayaan di berbagai tempat di belahan bumi ini, tidak terkecuali di dalam dunia Islam. Menarik sekali untuk dikaji karena di dalam Al-Qur’an tidak pernah diceritakan isu tulang rusuk ini.Bahkan kata tulang rusuk (dlil’) tidak pernah ditemukan dalam Al-Qur’an, bahkan kata Hawa yang sering dipersepsikan dengan isteri Adam juga tidak pernah disebutkan secara eksplisit di dalam Al-Qur’an.
Pencitraan lain yang sulit diubah di dalam tradisi masyarakat ialah perempuan sebagai penggoda. Ini sulit diubah karena pernah termaktub secara eksplisi dalam Kitab Kejadian 3:12: “Manusia itu menjawab: “Perempuan yang Kau tempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan”. Sebagai sanksi terhadap kesalahan perempuan itu maka kepadanya dijatuhkan semacam sanksi sebagaimana disebutkan dalam Kitab Kejadian 3:16: “FirmanNya kepada perempuan itu: “Susah payahmu waktu mengandung akan kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu”. Mitos perempuan sebagai penggoda hingga kini masih melekat dan masih menjadi stigma negative di dalam berbagai masyarakat, terutama di dalam dunia politik.Perempuan seringkali menjadi korban karena isu ini. Seolah perempuan dilahirkan sebagai makhluk penggoda (temtator).
Padahal, sesungguhnya perempuan adalah manusia biasa seperti halnya laki-laki. Bahkan dunia laki-laki mungkin lebih sering menjadi faktor dalam persoalan kemanusiaan dan kemasyarakatan dalam lintasan sejarah. Menurut Prof Ivon Haddad, gurubesar di Georgetown University, Washington DC, seharusnya kaum perempuanlah yang harus paling banyak berterima kasih atas kehadiran Nabi Muhammad, karena dialah yang pertama kali mengangkat martabat kaum perempuan.
Prof. Nasaruddin Umar
Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)
(erd/erd)