
Mencintai yang Serba Sementara

Jakarta –
Kau memandangi foto lama yang diingatkan oleh Facebook pada hari itu. Sebuah foto dari masa enam tahun yang lalu, dengan caption: udara bersih, burung dara, toko-toko roti yang bau buka, kesibukan orang berangkat kerja, sepeda-sepeda…sebuah kota yang bersahaja.
Foto itu memperlihatkan bagian depan sebuah stasiun, dengan bangunan tua khas Eropa. Ingatanmu segera melayang pada tahun itu. Saat itu kau berada di Frankfurt untuk sebuah undangan liputan selama seminggu.
Lalu, gambar-gambar berlompatan menyesaki benakmu: hotel kecil dengan sarapan ala Barat yang sangat lengkap; jembatan panjang yang melintang di atas sungai yang lebar, dengan area yang luas di sisi kanan-kirinya yang sangat nyaman untuk aktivitas warga; museum tua dengan kafe beratap tinggi; kereta yang melintasi tengah kota; siang yang lebih panjang dari malam.
Kau ingat, di sela-sela acara yang harus kau liput, bersama tiga orang wartawan lain dari Jakarta, kau menikmati apa yang bisa dinikmati.
Di tengah masa pandemi yang masih membatasi ruang gerak seperti saat ini, memori mendadak berubah menjadi melankoli. Rasanya ajaib, bahwa pada masa lalu yang belum lama berlalu, kau pernah begitu bebas bepergian tanpa syarat ini dan itu. Melankoli itu pula yang kemudian menuntunmu untuk mengunggah kembali foto memori itu di status WA, kali ini dengan caption: apa yang kita punya sekarang selain kenangan?
Ketika seorang teman mengomentari status itu, sekonyong-konyong kau baru tersadar, dan memikirkan kembali, apa yang kau tuliskan tadi. Kedengarannya mungkin agak mengandung semacam nada putus asa. Di sisi lain, seolah-olah mengecilkan arti kenangan itu sendiri.
Lalu, terjadilah perdebatan kecil. Tidak banyak lho orang yang dianugerahi kenangan. Lho, bukankah semua orang punya kenangan? Kenangan kan macam-macam. Kau pun menunggu penjelasan. Contohnya begini, misal sekeluarga naik mobil keluar Solo lewat tol…itu kan menghadap Merapi-Merbabu. Di keluargaku hanya aku yang bisa bilang aku pernah di puncak gunung itu lho.
Kau pun manggut-manggut tanda memahami. Tapi sesaat kemudian kau langsung tersadar, bukankah komunikasi ini berlangsung via tukar-menukar teks? Kau tersenyum sendiri dengan kekonyolanmu. Tapi, betul, kau segera setuju, bahwa seandainya memang yang kita punya sekarang tinggal kenangan, itu sudah sangat berharga. Itulah sebabnya manusia era digital sekarang keranjingan berfoto, bahkan sampai muncul istilah selfie –memfoto diri sendiri.
Orang tak ingin kehilangan apa yang pernah dialaminya. Kita pernah di sana, hari ini berada di sini, besok pergi ke mana, dan semua itu akan berlalu, tertimbun waktu. Tapi, kita tak ingin melupakannya. Kita akan menjadikannya cerita masa lalu. Kita akan mengenangnya, suatu saat nanti. Tidak ada yang abadi. Yang kemarin menjadi kenangan hari ini; hari ini menjadi kenangan esok hari; esok hari akan menjadi hari ini, yang kemudian lewat lagi, dan kita kenang esok harinya lagi.
Hidup menjadi bermakna sebagian justru karena kesilihbergantiannya. Hidup menjadi layak dijalani antara lain justru karena kesementaraannya. Yang lama berganti dan berubah. Yang tak ada menjadi ada, atau juga sebaliknya, yang pernah ada kemudian menjadi tidak ada. Kita dulu tidak punya apa-apa. Kini, mungkin kita punya segalanya, atau paling tidak, punya sedikit atau banyak atau apapun yang kita inginkan.
Kita pernah bahagia. Tapi kita juga pernah bersedih. Kita pernah bersama-sama. Tapi ada saat ketika kita tak bisa menolak untuk menjalani hidup sendiri-sendiri, kesepian, dan menangis. Tidak ada yang baru, semuanya serba lazim dan berumur pendek, kata Marcus Aurelius Sang Kaisar Romawi dalam catatan hariannya yang menjadi warisan kita sebagai sebuah buku berjudul Meditations
Kalau dipikir-pikir lebih jauh lagi, hidup pada dasarnya memang serba paradoks. Aurelius Augustinus, sang orang suci dan disucikan, pengarang buku Confessiones, ketika memuji dan mengagungkan Tuhan, juga menggunakan ungkapan-ungkapan yang “mendua”: Kau yang mantap, tapi tak terjangkau; yang tak berubah, tapi mengubah segalanya; tak pernah baru, tak pernah tua, tapi memperbarui segalanya dan menjadikannya tua….
…Kau yang senantiasa giat, tapi senantiasa istirahat
yang menimbun tanpa mempunyai kebutuhan
Kau mencintai, tapi tidak berkobar
Kau cemburu tapi sentosa
Kau menyesal tapi tak menderita
Kau marah tapi tetap tenang
Kau berganti karya tanpa berganti rencana
tak pernah Kau kekurangan, tapi Kau nikmati keuntungan
Kau melunasi utang tanpa berutang kepada siapa-siapa
Kau menghapus utang tanpa kehilangan apa-apa
Dari sifat-sifat Tuhan yang digambarkan oleh Santo Augustinus, kiranya kita bisa belajar bahwa menjalani hidup ini tak ubahnya meniti jalan di antara dua keadaan. Selalu ada “tapi” di antara dua hal. Selalu ada “tanpa” dalam satu kondisi. Kita selalu berhati-hati, tapi tetap saja khawatir. Itu lumrah. Manusiawi.
Kita melakukan kesalahan, tersesat, gagal, tapi tak kehilangan harapan. Kita kadang-kadang sembrono, tapi pada saat yang lain juga bisa bijaksana. Kita patah hati, kecewa, dan frustrasi tanpa perlu kehilangan senyum.
Di kalangan para sufi, kaum mistik Islam, dikenal kata “zuhud”. Banyak yang mengartikan, atau menyalahartikan, zuhud berkaitan dengan laku hidup sederhana. Tapi, jauh lebih luas dan dalam daripada itu, arti kata zuhud sebenarnya bisa menjadi pegangan kita dalam menjalani kehidupan pada zaman yang serba memburu, menekan, menuntut, dan membingungkan ini.
Dalam kata-kata mutiara Sayyidina Ali: semua makna zuhud terangkum dalam dua kalimat ayat Al Quran yang berbunyi: agar kalian tak berduka atas apa yang luput dan tak terlalu gembira atas apa yang Allah beri. Barangsiapa yang tak berduka atas apa yang berlalu dan tak terlalu bergembira atas apa yang menuju, ia sesungguhnya telah memegang dua sisi zuhud.
Tak ada yang perlu kau dekap erat. Sebab, yang akan lepas selalu punya jalan untuk terlepas dan yang kau cari bisa kau temui secara tak disangka-sangka. Tataplah sekali lagi foto kenanganmu. Tataplah lekat-lekat. Kau pernah ada di suatu tempat, pada suatu masa, tersenyum, berjalan, gembira. Biarlah itu berlalu –semua masih milikmu. Hari ini kau berada di sini, saat ini, dalam kekinianmu. Utuh, penuh, tak ada yang kurang. Itulah yang kau punya, dan itu adalah segalanya –bukan yang tersisa.
Mumu Aloha wartawan, penulis, editor
(mmu/mmu)
Mencintai yang Serba Sementara
