
Mahfud Md Nilai Penundaan Pilkada 2020 Sulit Diwujudkan

Jakarta –
Muncul pendapat soal Pilkada 2020 agar kembali ditunda karena kian tingginya angka penyebaran COVID-19. Menko Polhukam Mahfud Md menilai penundaan Pilkada 2020 sulit diwujudkan karena berbagai alasan.
“Masalah COVID-19 ini kalau kita disiplin selesai. Tapi kan banyak yang lalai, tidak disiplin sehingga diusulkan Pilkada ditunda tahun depan. Kalau ditunda itu prosedurnya kalau mau ubah UU dalam waktu dekat itu nggak mungkin, sudah kurang dari 2-3 bulan, itu harus masuk Prolegnas, itu hanya bisa dengan Perppu, Perppu tergantung KPU mau usulkan nggak,” kata Mahfud dalam diskusi daring Kelompok Studi Demokrasi Indonesia (KSDI) bertajuk ‘Evaluasi 6 Bulan dan Proyeksi 1 Tahun Penanganan COVID-19 di Indonesia’, Sabtu (12/9/2020).
Mahfud menilai, usulan soal Pilkada Serentak kembali ditunda sulit diwujudkan karena perubahan UU membutuhkan waktu. Selain itu, penerbitan Perppu juga perlu persetujuan DPR dan belum tentu disetujui.
“Kemarin kan KPU dan DPR sepakat tunda, lalu presiden keluarkan Perppu-nya sehingga ketika dibahas lagi di DPR selesai, tidak ribut. Kalau presiden mengeluarkan sepihak juga kalau DPR menolak celaka itu, sudah telanjur batal, ditolak,” ungkap Mahfud.
Selain itu, Mahfud menyebut penundaan Pilkada Serentak pada 9 Desember 2020 nanti bisa mengakibatkan munculnya banyak pejabat pelaksana tugas (Plt) di beberapa pemerintahan daerah.
“Tapi alasannya kita sampaikan, ya itu tadi, pertama, dulu kita tidak ingin adanya pemerintahan yang Plt, itu sampai 270 kalau ditunda. Tidak mungkin satu negara Plt-nya 270. Lalu alasan kedua, kalau tunggu COVID kapan tunggunya, itu alasan kemarin di DPR-KPU,” jelas Mahfud.
Selain itu, Mahfud turut membahas soal Perppu Corona yang disebut terlalu berorientasi pada ekonomi ketimbang kesehatan. Dia menjelaskan soal perlunya dasar hukum dalam mengeluarkan dana untuk penanganan COVID-19.
“Tadi Faisal Basri mengatakan pemerintah mengeluarkan Perppu tapi bukan untuk COVID, itu untuk penyelamatan ekonomi. Ya mungkin begitu praktisnya, tapi begini, saya mengikuti sidang-sidang itu pemerintah pada waktu itu menghitung perlunya uang itu sudah di awal-awal Maret itu, perlunya uang tidak kurang dari Rp 600 triliun untuk menghadapi COVID ini itu maksudnya untuk COVID tapi kan kontroversinya yang muncul, dan itu tidak bisa dikeluarkan tanpa ada dasar hukum karena di APBN tidak ada,” jelas Mahfud.
Dana tersebut, sebut Mahfud, digunakan untuk membantu masyarakat yang terdampak COVID-19. Mahfud bahkan menjelaskan sedikit rinciannya. Perppu Corona menjadi dasar hukum untuk menganggarkan dana sehingga pengeluaran uang dalam jumlah besar tersebut tidak dianggap sebagai tindak pidana korupsi.
“Maksudnya memang untuk menolong, satu, untuk memberi bantalan sosial karena banyak pengangguran yang menjadi… . Jadi begini nih, ada anggaran untuk perlindungan harapan kita untuk 10 juta keluarga Rp 37 triliun, kartu sembako Rp 43,6 triliun untuk 20 juta keluarga, ada bansos sembako untuk 1,3 orang di DKI saja Rp 600.000, bansos bantuan sosial Jabodetabek Rp 9.600.000, dan seterusnya. Begitu itu sudah dihitung, itu maksudnya untuk menolong tetapi ketika menolong ini ada alasannya karena kalau tidak ada alasan yang memberi wewenang untuk mengeluarkan uang untuk belanja menolong orang COVID itu kok tidak ada Perppu-nya, kalau pakai APBN tidak ada, kalau tidak ada lalu kita mengeluarkan uang sebanyak itu berarti tindak pidana korupsi,” ungkap Mahfud.
“Lalu kita juga undang KPK silakan ditangkap kalau ada yang menyalahgunakan itu sampai sekarang pun KPK akan melakukan itu pengajaran-pengajaran. Itu sejarahnya,” imbuhnya.
(isa/isa)
Mahfud Md Nilai Penundaan Pilkada 2020 Sulit Diwujudkan
