Kurva Laffer dan Cukai Rokok

Jakarta

Profesor Haryo Kuncoro dalam tulisannya berjudul Paradoks (Anjloknya) Penerimaan Cukai (detikcom, 29/8) menulis tentang paradoks turunnya penerimaan dari cukai pemerintah pada realisasi APBN 2023 dibanding periode sebelumnya. Turunnya penerimaan cukai rokok tersebut, menurut dia, disebabkan oleh turunnya produksi dan konsumsi rokok akibat terus dinaikkannya cukai dan PPN atas rokok atau hasil tembakau.

Kemudian Professor Haryo Kuncoro menyoroti bahwa sampai saat ini ada sikap ambigu pemerintah terhadap cukai rokok yaitu antara penerimaan dengan pajak untuk mengendalikan konsumsi (menurut istilahnya sebagai “pajak dosa”). Tulisan ini mencoba melengkapi apa yang sudah diuraikan oleh Profesor Haryo Kuncoro.

Pertama, saya setuju bahwa sampai saat ini pemerintah masih memandang cukai sebagai sumber penerimaan negara sehingga ketika turun, maka segala upaya dilakukan oleh pemerintah untuk menaikkannya dengan menaikkan tarif cukai dan sekaligus PPN-nya. Padahal sebenarnya cukai lebih sebagai pajak untuk mengendalikan konsumsi (excise tax) karena efek kecanduan yang membahayakan kesehatan sehingga kalau produksi dan konsumsi rokok turun akibat kenaikan cukai dan PPN malah sesuatu yang baik.

Kedua, tentang kenaikan cukai dan PPN atas rokok menyebabkan penerimaan negara dari cukai rokok turun akibat produksi turun memang benar. Dalam hal ini tarif cukai rokok dan PPN yang terus dinaikkan telah menyebabkan produsen rokok mengurangi produksinya dan mungkin konsumen rokok juga mengurangi konsumsinya karena harus membayar pajak yang tinggi yang akan meningkatkan biayaa produksi tanpa diimbangi oleh kenaikan penerimaan pengusahanya..

Namun hal itu hanyalah salah satu sebab mengapa penerimaan dari cukai rokok turun. Tetapi kita semua harus ingat apa yang digambarkan oleh Kurva Laffer yang menghubungkan antara penerimaan pajak pemerintah dengan tarif pajak. Profesor Arthur Laffer adalah staf ahli Presiden Reagan yang terkenal dengan konsep Reagonomics yaitu konsep ekonomi yang berpihak di sisi suplai atau produsen.

Menurut Laffer, dalam menetapkan tarif pajak untuk memaksimalkan penerimaan pemerintah dari pajak maka pemerintah harus hati-hati menetapkan tarif pajak khususnya pajak penghasilan (PPh). Ada satu tarif pajak yang akan memaksimalkan penerimaan pemerintah dari pajak. Namun setelah tarif itu kalau pemerintah nekat menaikkan tarif pajak tersebut untuk meningkatkan penerimaannnya, maka justru penerimaan pemerintah dari pajak akan turun.

Ada dua sebab yang dikemukakan oleh Laffer. Pertama, wajib pajak akan cenderung mengurangi produktivitasnya. Kalau pekerja akan mengurangi jam kerjanya dan kalau pengusaha akan mengurangi produksinya. Ini yang barangkali sudah disebutkan oleh Prof Haryo Kuncoro. Namun ada faktor kedua yang kurang diulas oleh Prof Haryo yaitu adanya kecenderungan menggelapkan pajak.

Tarif pajak yang terlalu tinggi membuat wajib pajak akan tidak membayar pajak atau membayar pajak kurang dari yang seharusnya. Dalam kasus cukai rokok, pengusaha rokok akan menggelapkan pajak dengan cara tidak membayar cukai (jadi memproduksi rokok ilegal) atau menggunakan cukai yang tidak sesuai peruntukkannya (misalnya pabrik rokok besar tetapi memakai cukai rokok untuk pabrik skala menengah atau kecil).

Yang berbahaya adalah rokok yang tak bercukai yang tak diawasi pemerintah karena bisa memakai bahan-bahan yang lebih berbahaya. Jadi jika data menunjukkan produksi rokok turun, itu adalah rokok yang legal yang terdaftar dan diawasi pemerintah. Kemungkinan justru rokok ilegal yang produksinya bertambah dan demikian juga mungkin konsumsi rokok ilegal juga akan bertambah. Implikasinya memang perlu kajian berapa tarif cukai yang optimal yang bisa memaksimalkan penerimaan pemerintah dari cukai rokok.

Kompensasi

Ketiga, meskipun dengan cukai seolah-olah pemerintah mengizinkan perokok “berbuat dosa” dengan efek negatif bagi kesehatan dirinya dan orang di sekitarnya namun sebenarnya lewat Peraturan Menteri Keuangan nomor 222/PMK.07/2017 tentang Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) telah diberikan “kompensasi” bagi perokok dan orang yang terkena dampak negatif asap rokok.

Penggunaan DBH CHT tersebut untuk lima program sesuai UU nomor 39 tahun 2007 minimal 50% untuk bidang kesehatan yang mendukung program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tetapi memang kesulitannya secara pembukuan baik APBD maupun APBN menggunakan cara single entry, artinya semua pemasukan dijadikan satu, kemudian akan dialokasikan pengeluarannya per bidang atau sektor. Jadi tidak akan kelihatan apakah DBH CHT tersebut memang digunakan untuk pengeluaran bidang kesehatan sebagai kompensasi bagi perokok dan mereka yang bukan perokok tetapi terkena dampak negatif asap rokok.

Nugroho Sumarjiyanto BM Guru Besar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang


(mmu/mmu)

Terima kasih telah membaca artikel

Kurva Laffer dan Cukai Rokok