
Kisah Penyakit yang Bikin Hidup Jadi Dramatis

Jakarta – Judul Buku: Kanker: Biografi Suatu Penyakit; Penulis: Siddartha Mukherjee; Penerjemah: Rahmat Purwono; Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Mei 2020; Tebal: 658 + xi halaman
Lelaki itu tampak pucat dan ringkih. Tapi, saya dibuat terpesona saat melihat lelaki itu berbicara di sebuah podium dengan suara yang lantang dan intonasi jernih. Saya melihatnya pada Oktober tahun 2018, namanya Sutopo. Nama lengkapnya Sutopo Purwo Nugroho dan dialah Humas BNPB yang fenomenal dengan segudang prestasi.
Semula saya tak mengenal siapa lelaki itu, karena kala itu saya adalah wartawan junior baru. Sampai perlahan-lahan saya tahu bahwa Sutopo merupakan Kepala Humas BNPB yang sangat disegani para wartawan. Keramahannya kepada siapa pun sungguh memikat. Sutopo tak akan bosan mengulangi paparannya jika ada wartawan yang luput menyimak.
Selain itu, kisahnya sebagai penyintas kanker paru-paru Stadium Empat B yang selalu bersemangat benar-benar mengundang decak kagum. Kanker membuat segala mimpinya remuk, tetapi tidak untuk tekadnya.
Belakangan, karena kepopuleran Sutopo sebagai Humas BNPB dan penyintas kanker, ia diundang bertemu langsung empat mata dengan Presiden Jokowi. Di sana, Sutopo mengobrol banyak dengan salah satu idolanya itu. Dia juga mengaku sebagai penyintas kanker stadium empat.
“Istilahnya saya ini orang nunggu giliran naik bus di halte terakhir, Pak…tinggal nunggu giliran saja,” kata Sutopo saat menceritakan kisah pertemuannya dengan Jokowi dengan lugas kepada kami, awak media.
Meskipun Sutopo selalu bersemangat saat menjalani harinya, tetapi orang yang tahu apa itu kanker bisa melihat betapa ganasnya penyakit itu merampok harapan seseorang. Pada 7 Juli 2019, Sutopo wafat. Ketika mengetahui kabar wafatnya Sutopo, saya semakin bergidik saat mendengar kata “kanker” sembari terus berdoa agar saya dan keluarga dijauhkan dari segala penyakit.
Tetapi, kanker adalah penyakit yang terus mengundang horor. Sebab, kanker praktis membuat hidup pengidapnya langsung berubah menjadi dramatis. Hidup bagi seorang penyintas kanker hanya seperti perkara menunggu jadwal kematian.
***
Drama para penyintas kanker juga dialami oleh Carla Reed, seorang guru TK asal Massachusetts. Pada pagi 19 Mei 2004, Carla merasakan sakit kepala usai bangun tidur. Bukan sakit kepala biasa, tetapi sakit kepala yang mirip seperti rasa kebas di kepala.
Gejala lain pun muncul, gusi Carla mulai berubah warna menjadi putih. Sampai pada akhirnya guru TK yang biasanya lincah dan berenergi tak sanggup lagi menaiki tangga. Carla pergi ke klinik dan menjalani serangkaian tes. Hasil tesnya keluar. Carla didiagnosis mengidap leukimia akut alias kanker darah.
Carla adalah salah satu pasien Sidhharta Mukherjee. Saat itu, Mukherjee masih tercatat sebagai peserta pendidikan spesialis onkologi-program kedokteran yang mendalam selama dua tahun untuk mendidik dokter spesialis kanker. Dalam sepuluh bulan masa pendidikannya, Mukherjee telah tenggelam ke dalam titik terendah kesedihannya. Dia sudah banyak melihat pasiennya meninggal.
Namun, sesudah Mukherjee keluar dari beban kesedihan yang tak mengenakkan selama program pendidikan itu, pertanyaan-pernyataan tentang riwayat kanker berseliweran dalam benaknya: sejak kapan kanker ada? Apa akar dari perang melawan kanker? Akankah perang melawan kanker berakhir? Apakah umat manusia akan menang melawan kanker?
Mukherjee lantas menuliskan jawaban dari semua pertanyaan tersebut dalam bukunya, The Emperor of All Maladies yang versi terjemahan bahasa Indonesianya berjudul Kanker: Biografi Suatu Penyakit. Buku versi terjemahannya ini diterbitkan oleh Penerbit KPG.
Dalam buku ini, Mukherjee mengaku bahwa pada mulanya ia menganggap kanker hanya sebagai sebuah penyakit. Lama kelamaan Mukherjee sadar, ia tidak sedang menulis riwayat sebuah penyakit, tetapi justru seperti menulis riwayat seseorang, seperti sebuah biografi tokoh berpengaruh.
Apapun itu, Mukherjee sadar bahwa ia sedang menulis riwayat monster yang bisa melahap segalanya.
“Kanker adalah sesuatu yang melahap segala aspek kehidupan kita. Kanker menguasai imajinasi kita, kenangan kita, menyusup ke dalam setiap percakapan dan pemikiran,” tulisnya dengan nada murung.
***
Lalu, apakah benar pemahaman umum masyarakat yang mengatakan bahwa kanker adalah penyakit modern yang muncul karena perubahan gaya hidup?
Asumsi tersebut tak sepenuhnya benar. Kanker sebetulnya sudah terdengar sejak zaman dahulu. Mukherjee mencatat, ratu Persia bernama Atossa pernah menyembunyikan payudaranya yang terkena kanker payudara stadium tiga. Sialnya, karena ilmu kedokteran pada zaman tersebut tak bisa diharapkan, Atossa justru memerintahkan seorang budak untuk memotong payudaranya dengan pisau.
Dalam kepustakaan kedokteran, kata kanker sendiri muncul pertama kali pada zaman Hippokrates sekitar 400 sebelum Masehi. “Kanker” berasal dari karkinos, kata Yunani yang artinya kepiting. Kata ini dipakai karena tumor dengan jaringan pembuluh darah bengkak di sekitarnya tersebut mirip seperti kepiting yang menggali pasir dengan kaki yang merentang.
Beragam cara pun dilakukan umat manusia untuk melawan penyakit mengerikan ini. Pada abad ke-19, seorang ahli bedah bernama William Halsted pernah terkenal dengan obsesi gilanya lewat operasi bedah radikal untuk menyingkirkan kanker. Dia membedah dan memotong bagian organ yang dijangkiti kanker sampai ke akarnya. Halsted berasumsi bahwa penyakit itu bisa dibuang begitu saja dengan membuang seluruh bagian organ. Alih-alih sembuh, metode itu justru memakan banyak korban.
Semangat menyala para ilmuwan belum juga padam. Saat Wilhelm Rontgen baru saja menemukan Sinar X, pasangan ilmuwan Pierre dan Marie Curie lantas melakukan eksperimen untuk mengembangkan temuan tersebut. Marie Curie menyaring bijih uranium untuk mencari radioaktivitas yang semakin murni. Efeknya, Marie harus berkorban nyawa karena paparan radioaktif.
Sinar X yang dikembangkan Pierre dan Marie itulah yang kemudian menjadi cikal bakal dari metode kemoterapi yang belakangan dipopulerkan oleh Sidney Faber. Ia menjadi ilmuwan yang berjasa mengembangkan metode kemoterapi modern. Kemoterapi yang dikembangkan Faber mampu secara selektif mengobati sel-sel kanker, berbeda dengan metode radiasi Sinar X yang bisa merusak sel apa pun.
Selanjutnya, untuk terus mengembangkan risetnya, Faber bersekutu dengan sosialita dan filantropis asal Manhattan, Mary Woodard Lasker. Faber sadar, sains tanpa dukungan uang dan kekuasaan hanya sukar untuk berkembang. Dan benar saja, keduanya bak pasangan tangguh yang terus menyalakan genderang perang melawan kanker. Keduanya memiliki menorehkan jejak mendalam pada perkembangan pengobatan kanker modern.
***
Membaca buku setebal 600 halaman lebih ini, saya seperti diantar oleh Mukherjee untuk menonton perang kolosal umat manusia yang begitu dramatis. Terlalu banyak nyawa yang melayang, dan asa atas kemenangan masih belum tampak jelas.
Kanker masih menjadi penyakit menakutkan yang patut diwaspadai walaupun pemahaman kita tentangnya telah begitu matang. Sebab kanker telah membuat tempo hidup setiap korbannya mendadak jadi dramatis.
Biografi kanker yang ditulis oleh Mukherjee dengan ketekunan luar biasa ini seolah mengingatkan kita dengan kondisi dunia saat ini: saat pandemi Corona menghajar kita. Mestinya memang tak boleh ada yang sia-sia dalam peperangan umat manusia melawan penyakit. Setiap nyawa begitu berharga, dan sains telah menyediakan ruang untuk penghargaan itu.
Rakhmad Hidayatulloh Permana wartawan detikcom
(mmu/mmu)
Kisah Penyakit yang Bikin Hidup Jadi Dramatis
