
Kilas Balik SMP di Blora yang Pernah Jadi Sekolah Pribumi Hit Era Kolonial

Blora –
Di era kolonial Belanda, di Kabupaten Blora pernah berdiri sekolah di luar kepemilikan Belanda, salah satunya yakni Institut Budi Oetomo (IBO). Gedung institut itu kini difungsikan sebagai SMPN 5 Blora.
Institut Budi Oetomo kala itu didirikan langsung oleh dr Soetomo. Kemudian dilanjutkan oleh Mastoer, ayah dari penulis Pramoedya Ananta Toer dan Soesilo Toer, pada 1922.
“Di era itu sekolah itu maju dan modern. Sekolahnya setingkat Sekolah Dasar (SD). Ada 7 kelas di dalam sekolah itu,” kata Soesilo Toer saat ditemui di rumahnya, Jalan Sumbawa, Jetis, Blora, Minggu (2/5/2021).
“Didirikan langsung oleh dr Soetomo sendiri di tahun 1917. Dia pernah tinggal di Blora selama setahun terus pindah ke Batu Raja terus ke luar negeri ke Belanda dan Jerman untuk ambil spesialisasi,” sambung pria yang akrab disapa Soes itu.
Soes mengatakan setelah dr Soetomo meninggalkan Blora pada 1918, sekolah itu tidak terkelola dengan baik. Akhirnya Bupati Blora saat itu, Tirtonegoro berinisiatif untuk mencari seseorang untuk mengelola sekolah itu.
“Diumumkan lewat koran D’Lokomotif di Semarang dan secara gethok tular (dari mulut ke mulut). Akhirnya berita itu terdengar oleh seorang anak penghulu dari Kediri yang menikahi anak penghulu dari Rembang bernama Mastoer, yaitu bapak saya dan bapaknya Pram,” kata Soes.
Kala itu, Mastoer merupakan seorang guru Hollandsch-Inlandsche School (HIS) atau sekolah Belanda untuk bumiputera di Rembang. Berbekal lowongan pekerjaan itu, Mastoer akhirnya memutuskan pindah ke Blora.
“Itu di tahun 1922. Waktu itu Mastoer sudah mengajar di HIS Rembang, dan tertarik dengan pengumuman itu akhirnya datang ke Blora,” tuturnya.
Sekolah yang mulanya hanya memiliki dua kelas itu, di tangan Mastoer berkembang menjadi tujuh kelas. Sekolah itu makin ramai muridnya yang berdampak pada meningkatnya keuangan Mastoer.
“Pas lagi enak enaknya itu si Pram (Pramedya Ananta Toer) lahir 6 Februari tahun 1925. Sekolah itu dulu muridnya banyak, karena bagi pribumi yang ingin bekerja di departemen pemerintah Belanda harus bersekolah dulu. Banyak duit dulu bapak saya,” jelasnya.
Seiring berjalannya waktu, pemerintah kolonial Belanda lalu mengeluarkan kebijakan yang membuat usaha mereka bangkrut. Soes mengatakan kala itu pemerintah Belanda di pusat mengalami kebangkrutan sehingga berdampak pada perekonomian di tanah jajahan, termasuk Indonesia. Belanda lalu menerbitkan undang-undang sekolah liar (Wilde Scholen Ordonantie) pada tahun 1932.
“Yang intinya, pemerintah kolonial Belanda tidak lagi menerima pegawai yang bersekolah di sekolah luar termasuk IBO,” tuturnya.
Hal tersebut berdampak pada menurunnya jumlah murid di Institut Budi Oetomo. Otomatis perekonomian Mastoer dan keluarganya ikut terdampak.
“Mumpung ini bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Maka sangat layak jika Mastoer didapuk sebagai bapak pendidikan Kabupaten Blora,” kata Soes sambil tertawa terkekeh.
Tak lagi berjaya, keluarga Mastoer makin terpuruk usai diterpa musibah pada 1942. Pada tahun itu, istri Mastoer meninggal dunia.
“Bapak saya sangat terpukul, kecewa. Itu bertepatan dengan Jepang masuk ke Indonesia. Untuk makan sehari hari saja sulit. Saya masih ingat, sampai-sampai ketika ada bangkai ayam hanyut di sungai itu saya bawa pulang untuk dimasak. Ada cicak saya makan. Pokoknya ditahun tahun itu serba sulit,” kenang Soes.
Pada tahun yang sama IBO akhirnya resmi ditutup karena terbebani biaya operasional. Kemudian pada 1950 Mastoer meninggal dunia.
Di tahun itu pula situasi politik dalam negeri juga memanas. Orang-orang yang dianggap berbeda haluan dengan pemerintah dijemput paksa. Hal ini pula yang membuat keluarga Mastoer tercerai-berai.
Selengkapnya soal sosok Mastoer dan kisah Institut Budi Oetomo yang kini menjadi SMPN 5 Blora…
Kilas Balik SMP di Blora yang Pernah Jadi Sekolah Pribumi Hit Era Kolonial
