Kemenangan Masoud Pezeshkian dan Tantangan Baru Iran

Jakarta –
Masoud Pezeshkian resmi dilantik sebagai Presiden Republik Islam Iran. Pelantikan yang dilaksanakan pada Sabtu (6/7) menandai era baru selepas tewasnya Ibrahim Raisi dalam kecelakaan helikopter di wilayah pegunungan Azerbaijan Timur. Unggul dari Saeed Jalili, Pezeshkian digadang-gadang membawa arah baru bagi Iran dengan penokohan sebagai reformis baru.
Diwarnai perdebatan sengit yang disiarkan televisi nasional Iran, Pezeshkian dan Jalili terlibat dalam konfrontasi yang menguras emosi rakyat Iran. Saat berdebat tentang keharusan pemakaian hijab dan filter terhadap internet, keduanya sibuk menyerang peran para presiden Iran yang dinilai tidak berdampak dan berperan signifikan. Saking alotnya mendebat dan berusaha melemahkan lawannya, keduanya bahkan lupa memberi tawaran solusi yang komprehensif terhadap substansi debat.
Tidak heran, kondisi ini menjadi salah satu faktor yang menumbuhkan apatisme di kalangan masyarakat Iran. Tercatat sebanyak 60 persen warga Iran menolak untuk memberikan suaranya, hal mana dengan sendirinya menghadirkan pertanyaan serius terhadap legitimasi presiden terpilih. Masyarakat yang tidak memberikan suaranya beralasan bahwa pemilu tidak akan membawa perubahan apapun baik dari kubu konservatif maupun reformis. Sebaliknya, mereka yang memberikan suaranya bisa saja dianggap tidak mencerminkan suara mayoritas rakyat Iran.
Pezeshkian memenangkan 53,7 persen suara (lebih dari 30 juta suara), unggul dari perolehan Jalili yang meraih 13,5 juta suara, menurut Kementerian Dalam Negeri Iran. Meski kecewa atas kekalahannya, Jalili mengakui kemenangan Pezeshkian seraya mengajak seluruh elemen masyarakat Iran untuk bersatu membantu Pezeshkian membawa tampuk kekuasaannya.
Lebih dari itu, setumpuk tantangan telah menanti Pezeshkian baik secara internal maupun eksternal. Ia dihadapkan pada tantangan serius dalam peta konsolidasi politik dalam negeri dan bagaimana Iran berperan pada tataran politik global. Baik konsolidasi internal maupun peran globalnya, secara umum Iran menderita karena berbagai blokade dan sanksi ekonomi oleh Uni Eropa dan terutama sekali Amerika Serikat dan para pendukungnya di Timur Tengah.
Kompromi dan Negosiasi Politik
Pezeshkian langsung dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak banyak, karena bukan mayoritas berdasar suara keseluruhan, suara yang mendukungnya. Pekerjaan rumah pertamanya adalah membentuk kabinet yang dapat mengambil hati rakyat Iran. Ia bertanggung jawab terhadap sekian banyak apatisme dalam diri rakyat Iran. Meski merupakan bagian dari kabinet sebelumnya, tugas ini terasa pelik karena meniscayakan negosiasi dan kompromi politik.
Dalam pidato kemenangannya, Presiden Republik Islam Iran kesembilan itu berulang menyebut pemimpin spiritual tertinggi di Iran Ayatollah Ali Khamenei. Ia berulang memuji Khamenei seraya menyebut kemenangannya adalah kemenangan rakyat Iran secara keseluruhan, bukan hanya bagi mereka yang memilihnya. Pernyataan ini menjadi penting mengingat Iran terbelah secara politik. Riak-riak perlawanan warga Iran terlihat dari protes masif terkait ekonomi Iran dan kewajiban memakai hijab pada 2022. Rakyat Iran terlihat memendam bara ketidaksukaan terhadap politisi Iran dan faktanya Pezeshkian adalah salah satunya.
Di lain sisi, menarik untuk menunggu makna “uluran tangan” bagi Barat dari Pezeshkian. Iran adalah hot spot politik di Timur Tengah. Dalam konflik Palestina-Israel, Iran berada di garis terdepan dalam membela Palestina. Iran juga ditengarai berada di balik perlawanan Hizbollah dan Houthi di Yaman menghadapi Israel. Sempat barter serangan terbuka dengan Israel, Iran diyakini akan mengevaluasi diplomasinya dengan Israel pasca terpilihnya Pezeshkian.
Kebijakan Iran tentang Israel akan berpengaruh secara mendalam terhadap dukungan politik dalam negeri pada Pezeshkian. Iran sejauh ini adalah simbol perlawanan pada Israel di tengah apatisme negara-negara Arab akan nasib warga Palestina, khususnya Gaza.
Uluran Tangan
Uluran tangan bagi Barat dapat dimaknai tanda persahabatan bagi Barat dan Amerika. Persahabatan ini dinilai vital bagi ekonomi Iran yang terpuruk karena sanksi dan blokade ekonomi yang diterima. Semenjak Revolusi Iran pada 1979, Iran mengalami berbagai sanksi ekonomi terkait program pengayaan uranium yang dinilai Barat sebagai upaya Iran memiliki senjata nuklir.
Meski sanksi ini dinilai sewenang-wenang dan bentuk ketakutan Barat dan Amerika terhadap kekuatan Iran, sanksi terus berjalan bahkan dengan dukungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Terhadap tuduhan tersebut, Iran membantah dengan menyatakan bahwa upaya tersebut ditempuh untuk tujuan sipil.
Lebih lanjut, Iran dicap sebagai bagian “axis of evil“, dengan sikap Iran dalam the Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang dinilai Donald Trump gagal dipenuhi Iran. Situasi dan kondisi ini membawa Amerika untuk memberikan sanksi lebih jauh kepada Iran dengan memasukkannya sebagai negara yang di-black list dan masuk dalam kategori Financial Action Task Force (FATF). Negara yang masuk dalam FATF dilihat sebagai negara yang terlibat dalam money laundering dan terlibat dalam pendanaan terorisme.
Berbagai stempel diarahkan kepada Iran, kesemuanya dalam konteks melawan kebijakan global dan membantu terorisme. Oleh karenanya, menarik untuk menanti siapa yang akan berkuasa di Amerika, apakah Biden atau Trump dalam relasinya dengan perubahan politik di Iran. Jika Trump kembali menguasai Amerika, maka bisa jadi dia akan memperhatikan dengan saksama tindakannya dalam JCPOA, menimbang untuk menarik kembali kebijakannya atau malah sebaliknya.
Sanksi terhadap Iran juga dikenakan karena keterlibatan Iran dalam perang Ukraina-Rusia. Pemakaian drone-drone Shahed dan peralatan perang Iran lainnya oleh Rusia di medan pertempuran Ukraina menandakan pembelaan dan dukungan Iran terhadap Rusia. Jika kebijakan ini masih dilanjutkan Iran, sulit rasanya hal tersebut bisa diterima Barat dan Amerika. Oleh karenanya, makna uluran tangan bagi Barat dan Amerika patut ditunggu.
Pertimbangan krusial lainnya adalah keterlibatan Tiongkok. Lazim diketahui, Iran menjalin hubungan dan komunikasi intensif dengan Tiongkok di samping Rusia. Relasi ini mendorong Tiongkok berinvestasi besar-besaran di Iran. Berbagai proyek pembangunan digelar di Iran dan membantu Iran untuk tidak lebih jauh terjerembab dalam jurang ekonomi. Meninggalkan Tiongkok dan berpaling pada Barat dan Amerika akan membawa dampak yang tidak sederhana bagi Iran. Terdapat beragam relasi kompleks yag akan terganggu.
Bagaimanapun juga, kemenangan Pezeshkian masih terlalu dini untuk dinilai. Harapan menggunung dengan landasan menurunnya tensi politik Timur Tengah. Memberi kesempatan padanya untuk menata dan mengkonsolidasikan kekuatan politiknya adalah langkah paling rasional.
Saiful Maarif pegiat birokrat menulis, peminat isu politik internasional, bekerja di Kemenag
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(mmu/mmu)